Demokrasi Digital dan Bayang-bayang Politik Dinasti dan Oligarki

285 kali dibaca

Selama hampir 10 tahun belakangan demokrasi Indonesia mengalami kemunduran yang signifikan, baik kemunduran dari aspek pola pikir apalagi perilaku para elitenya. Pola pikir kacau para elite ini akhirnya malah ikut menjerumuskan rakyat dalam jurang demokrasi hampa.

Berbagai penyebabnya yang nyata terlihat di antaranya pembungkaman kebebasan berpendapat, cawe-cawe politik yang kian telanjang, keadilan dan kepastian hukum yang masih gelap, pelemahan KPK, dan banyaknya undang-undang yang merugikan rakyat hingga melebarkan ‘jalan tol’ politik dinasti.

Advertisements

Publik semakin bertanya-tanya apa sebenarnya yang salah dengan demokrasi di negeri ini? Kenapa Indeks Demokrasi Indonesia buruk di mata dunia Internasional?

Berdasarkan laporan dari Freedom House tahun 2023, Indonesia hanya memperoleh skor indeks demokrasi 58 dari total 100 dengan rincian 30 dari aspek hak politik dan 28 dari aspek kebebasan sipil. Akibatnya, Indonesia menyandang status sebagai negara setengah demokratis (partly free). Ya, setengahnya memang demokratis, namun setengahnya lagi liberal bercampur otoriarian.

Sementara itu, laporan Economist Intelligence Unit (EIU) 2023 menyebut Indonesia meraih posisi 56 dari 167 negara dengan skor 6,53 dari 10 atau turun dua peringkat (0,18 poin) dari tahun sebelumnya.

Skor ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan status flawed democracy alias demokrasi cacat. Bahkan negara selevel Timor Leste yang tipe pemerintahannya republik semi-presidensial dan Malaysia dengan sistem monarkinya malah lebih baik dari Indonesia yang katanya pemilik demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Indikator-indikator ini menegaskan bahwa demokrasi di tanah air masih jauh panggang daripada api alias meraih rapor merah.

Entah kenapa akal pikiran dan hati nurani penulis menolak untuk mengatakan bahwa demokrasi negara ini baik-baik saja. Secara tersurat sistemnya memang demokrasi, namun secara tersirat serasa penuh politik dinasti dan oligarki.

Sejumlah fakta dan realita di masyarakat tentang harapan demokrasi itu kini hanyalah utopia belaka. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah slogan kosong. Siapa yang kuat, siapa yang berkuasa, maka dialah sang raja. Tak ada lagi asas hukum equality before the law, yang ada hanyalah capitality before the law. Siapa yang punya modal dan kuasa dialah yang merajai hukum. Perasaan publik yang terkoyak-koyak mencapai puncaknya ketika putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023 yang meloloskan sang putra mahkota hingga berhasil meraih posisi RI-2 dalam pemilu yang baru lalu.

Insiden yang telah lalu harus dijadikan sebagai hikmah dan pelajaran untuk menata esok yang lebih cerah. Sekarang mari menunggu bagaimana kiprah para pemimpin ke depan. Apakah memberikan perubahan yang berarti atau sekadar mencari sensasi.

Saluran Demokrasi Digital

Transformasi digital semakin menggila kala pandemi Covid-19 melanda. Seluruh aktivitas publik berubah drastis dari aktivitas fisik menjadi aktivitas digital. Mulai dari pendidikan, perdagangan, hingga perpolitikan semua beralih ke dunia maya. Proses ini memunculkan tren baru dalam gerakan politik yang disebut dengan digital democracy alias e-democracy. Suatu aktivitas politik yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam berekspresi serta mengeluarkan pendapat.

Platform media sosial seperti Facebook, X (Twitter), Instagram, TikTok, Zoom, hingga YouTube menjadi tren bagi anak muda dalam mengekspresikan nalar dan pikirannnya tentang konsep bernegara.

Jika sebagian mahasiswa memilih trotoar jalan dan halaman kampus untuk menyuarakan pendapatnya, sebagiannya lagi netizen budiman mengungkapkan keresahan politiknya dengan membuat akun-akun yang membahas isu politik, podcast politik, atau FGD (focus group discussion) politik secara virtual. Hal ini menjadi paradigma baru masyarakat bahwa demokrasi bukan hanya soal turun ke jalan dan membakar ban, melainkan membanjiri sosial media tentang isu aktual soal sosial politik yang meresahkan nasib rakyat. Ujungnya tentu menyadarkan masyarakat tentang pentingnya melek politik (political awereness) baik di ruang publik maupun ruang elektronik (digital).

Beberapa poin akan pentingnya demokrasi digital di antaranya membantu mengakselerasi literasi politik (political literacy) masyarakat, memperluas jangkauan atau target yang ingin dicapai, mendukung komunikasi yang lebih kolaboratif dan interaktif, hingga efektif dan efisien dari segi biaya.

Namun demikian, banyak tantangan dalam demokrasi digital yang akan dihadapi, yaitu memunculkan adanya disparitas antara onliners dan offliners terutama bagi kaum tua, memunculkan pelanggaran seperti penghinaan personal di medsos, manipulasi data, ancaman keamanan siber seperti virus, doxing, dan lainnya.

Demokrasi digital atau e-demokrasi membantu rakyat untuk bertumbuh dan bernalar dalam memahami situasi politik dalam negeri, namun itu semua bisa runtuh jika berhadapan dengan penguasa yang oligarki.

Ancaman Polisik Dinasti dan Oligarki

E-demokrasi membantu masyarakat untuk lebih proaktif mengawal dan mengawasi kebijakan pemerintah. Penerapan aplikasi seperti e-procurement, e-government, e-katalog, e-lhkpn, dan aplikasi lainnya yang melibatkan masyarakat di dalamnya menjadi bentuk kontrol masyarakat terhadap kebijakan pemerintah demi menciptakan check & balances.

Lewat demokrasi digital, peran partisipatif masyarakat membantu meningkatkan pengawasan dan meminimalisasi kejahatan sehingga menciptakan transparansi yang lebih berkeadilan. Namun yang paling penting adalah bagaimana melindungi kebebasan berpendapat netizen di ruang digital.

Berapa banyak korban yang terjerat UU ITE yang pada dasarnya bukan bertujuan untuk pihak yang berseberangan pendapat? Hanya pemerintahan oligarkis yang menghalangi perbedaan pikiran karena oligarki tak menginginkan adanya oposisi.

Pemerintah yang oligarkis akan menggunakan segala cara demi mencapai kekuasaan absolut, menggunakan semua instrumen yang ada kalau perlu melakukan abuse of power untuk mendominasi dan membungkam lawan politiknya.

Bukan hanya itu, politik dinasti menjadi salah satu rencana jahat untuk dapat meneruskan kekuasaannya lewat keluarga yang dijadikan sebagai tameng politik. Ah, mau apapun yang dikatakan orang masa bodo, yang penting tetap berkuasa. Lewat jalur keluarga baik anak, istri, menantu hingga kolega kalau perlu anak pungut dijadikan sebagai boneka atau alat untuk melanjutkan hegemoni.

Hanya kejernihan nalar dan moral yang akan mampu melawan itu semua, dan itu hanya bisa didapat dari rakyat yang mengedepankan cara berdemokrasi yang sehat dan paham akan amanat UUD 1945 Pasal 2 Ayat 1 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan di bawah ketiak para elite dan pejabat.

Terakhir sebagai penutup, bukan uang apalagi modal tampang nyohor dan good looking yang dijadikan sebagai alat untuk memenangkan kontestasi pemilu, melainkan hanya kompetensi, nalar, dan moral yang menjadi tools terpenting dalam kehidupan berdemokrasi.

Ilustrasi: The Columnist.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan