Senin, 11 April 2022, bertepatan dengan Bulan Suci Ramadan, telah terjadi jejak sejarah adanya aksi demonstrasi atau unjuk rasa oleh mahasiswa di berbagai daerah. Sebagai pengulangan dari aksi mahasiswa 19 Mei 1998 yang hingga merobohkan tembok kokoh Orde Baru yang bercokol selama 32 tahun lamanya. Demonstrasi adalah sebuah aksi damai (seharusnya) untuk menyampaikan aspirasi terkait dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau otoritas pengambil kebijakan.
Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan pendukungnya tidak boleh dianggap sebagai sebelah mata. Karena di berbagai tempat dan kejadian, unjuk rasa atau demonstrasi dapat menjadi tonggak sejarah untuk mengambil jalan lain dari kebijakan sebelumnya. Hanya, tidak jarang dalam sebuah aksi demo ditunggangi oleh oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab hingga terjadi sikap anarkhis dan hal-hal lain yang tidak diinginkan.
Menyampaikan aspirasi dengan cara damai dan dibenarkan akan melahirkan nilai-nilai moral yang baik dan berafiliasi positif. Akan tetapi, sebagaimana disampaikan oleh Kapolri Listyo Sigit terkait dengan demonstrasi, bahwa para demonstran harus berhati-hati terhadap penyusup yang akan melakukan tindak kriminal dan anarkis. Sehingga marwah demonstransi akan tercoreng oleh sekelompok orang yang berniat jahat, tidak bermoral, dan tidak memiliki etika berbangsa-bernegara.
Dalam demonstrasi kali ini, para demonstran (mahasiswa) membawa tiga tuntutan. Pertama, menolak penundaan pemilu 2024. Kedua, mencari solusi kelangkaan minyak goreng. Dan, ketiga, menuntut stabilnya harga bahan pokok.
Problematika ini benar-benar dirasakan oleh rakyat kebanyakan, karena termasuk dalam bahan strategi hidup keseharian. Isu penundaan pemilu atau jabatan presiden hingga tiga periode juga menjadi tren-centre yang menjadi catatan para demonstran.
Demonstrasi Menurut Islam
Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo dari Majlis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa dan juga sebagai Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), menjelaskan bahwa demonstrasi secara tekstual tidak ada dalam Al-Quran dan Hadis. “Terapi, menyampaikan aspirasi dengan cara baik dan tidak anarkis merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar,” demikian manurut Huzaemah dalam sebuah kesempatan.
Namun kita tidak abai terhadap jejak sejarah, terutama setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia. Maka mulailah benih-benih perbedaan dan bahkan penolakan terhadap keputusan Khalifah. Kemudian muncul kubu-kubu yang berseberangan dan memberontak terhadap pemerintahan yang sah pada saat itu. Munculnya golongan Khawarij merupakan bagian dari unjuk rasa karena merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa.
Ada kubu Ali bin Abi Thalib, ada kelompok Aisyah yang saling bertentangan. Kedua kelompok ini bahkan saling membunuh, berperang untuk meneguhkan sebagai yang benar dan terbaik. Kejadian ini dikenal dengan Perang Jamal (unta) karena pada saat memimpin perang, Siti Aisyah, mengendarai seekor unta. Tentu ini menjadi sejarah kelam Islam yang tidak ada dasar hukumnya dalam Al-Quran maupun Hadis.
Jadi jelas, dalam jejak historika Islam, unjuk rasa dan menyampaikan aspirasi telah termaktub dalam lembaran sejarah. Tentu saja, jejak peninggalan yang kita harapkan dari sebuah aksi demo adalah lahirnya kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Sehingga rakyat merasa terlindungi dengan kebijakan yang menguntungkan bukan yang merugikan.
Al-haqqu bi-Nidzam
Sebuah pepatah Arab mengatakan bahwa Kebenaran yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi (Alhaqqu bila nidzamin yaghlibuhul bathil binidzamin). Hal ini sejalan dengan amanat demonstrasi bahwa yang menjadi tuntutan adalah kebijakan yang memihak kepada masyarakat secara umum. Bukan sebuah keputusan yang hanya menguntungkan kepada dirinya sendiri atau kelompoknya.
Kebenaran yang dikebiri oleh hawa nafsu akan menjadi bumerang dalam sebuah pemerintahan. Karena tidak akan benar sebuah kebenaran jika ditunggangi oleh nafsu serakah. Dan tidak akan terkebiri sebuah kebatilan jika para otoritas kebijakan menjadikannya sebagai asas kebanggaan. Oleh karena itu kebenaran akan benar jika ada di bawah orang-orang yang benar. Dan kebatilan akan sirna jika kebenaran itu sendiri dijadikan sebagai muara kebijakan.
Begitu juga dengan demonstrasi, orang-orang (mahasiswa) yang menuntut revolusi (perubahan) harus dilakukan dengan cara yang benar. Karena tidak akan benar sebuah kesalahan jika proses dalam demo dilakukan dengan cara anarkis dan tindakan brutal. Turun ke jalan dengan cara damai, menyampaikan aspirasi dengan penuh tanggung jawab merupakan tindakan yang bernilai amanah.
Solusi yang Hakiki
Hakikatnya dalam sebuah aksi demonstrasi kita mencari solusi yang hakiki. Ketika dalam sebuah pemerintahan dirasa ada yang tidak benar, bukan sejalan dengan amanat UUD 45 (kesejahteraan rakyat), maka hal tersebut perlu diluruskan. Aksi turun ke jalan dan menyampaikan aspirasi dijamin oleh Undang-Undang. Oleh karena itu tidak ada lasan bagi otoritas keamanan untuk menghalang-halangi aksi demonstrasi selama aksi tersebut tidak melanggar aturan umum dan keamanan.
Mahasiswa (demonstran) sebagai penyampai aspirasi harus bersikap amanah dan memiliki tanggung jawab untuk jalannya demonstrasi yang damai dan bersesuaian. Karena sikap anarkis dan kriminal tidak akan menjawab persoalan. Harus ada kesadaran dari seluruh peserta demonstran bahwa tujuan aksi unjuk rasa adalah adanya perubahan sesuai kehendak rakyat. Para demonstran membawa mandat dari rakyat untuk kehidupan yang lebih baik. Wallahu A’lam!