Berangkatlah engkau, baik dengan rasa ringan ataupun berat, dan berjuanglah (jihad) dengan aapa yang engkau miliki baik dlahir dan batin di jalan Allah. Karena yang demikian adalah lebih baik bagimu, jika engkau mengetahuinya. (Qs. At-Taubah: 41)
Sebagai manusia kita tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai, bahkan sudah menjadi sebuah kemutlakan yang terpatri di dalam diri kita. Tidak jarang di antara kita yang menunjukkan bagaimana giat dan kokohnya semangat untuk mencapai tujuan itu.
Siapa yang tidak menginginkan kekayaan, kehormatan, jabatan, dan segala kepemilikan duniawi yang seakan-akan memberikan fasilitas luar biasa dalam hidup kita?
Dan sebaliknya, siapa yang ingin sengsara kekurangan hidupnya di dunia? Tentu tidak ada. Karena manusia memiliki orientasi kenyamanan seperti apa yang dipikirkan.
Demonstrasi di berbagai daerah pada Senin, 11 April 2022 adalah bentuk upaya dan pejuangan mencapai cita-cita. Entah bersifat kepuasan pribadi atau kepuasan kelompok. Mahasiswa menjadi ujung tombak sebuah praktik demokrasi.
Mereka berkorban jiwa dan raga, harta dan benda, untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Yang sesuai dengan apa yang mereka pikirkan.
Begitu juga pemerintah, sebagai objek kritik dan demonstrasi. Mereka juga sebagai “pelayan rakyat” memiliki sistem pertahanan dalam menerima aspirasi mahasiswa sebagai penyambung lidah.
Tentu tuaian kritik, pro dan kontra, bahkan kericuhan dengan diwarnainya tindak kekerasan pada Ade Armando juga menjadi sebuah dampak dan percikan-percikan situasi yang sedang terjadi. Perkara nanti menjadi kasus baru, itu sudah urusannya yang berwajib.
Namun dari rentetan aksi unjuk rasa dengan berbagai isu yang diambil, saya teringat sebuah kejadian di mana sang rahib yang sedang membaca sebuah kitab dan menyimpulkan bahwa akan ada kelahiran yang membawa perdamaian, menjadi pamungkas dari “utusan” yaitu Nabi Muhammad Saw.
Di katakana dalam Syair Burdah bahwa “Kaannahum harrabaan abthalu abrahatin, au ‘asykarun bil hashiy min rahiyatu ramiy.” Bahwa mereka lari tunggang-langgang, seperti pasukan Abrahah atau seperti pasukan yang dihujani bebatuan kerikil.
Artinya setiap kelahiran pasti membawa atau mengiringi sebuah fenomena yang memaksakan untuk menjadi tanda atas kelahiran tersebut.
Kalau konteksnya politik saat ini, maka adanya pergerakan aksi besar-besaran tentu munculnya respons dan kebijakan baru,. Begitu juga, situasi yang dialami Ade Armando, menjadi sebuah insiden kemanusiaan yang jatuh seperti kerikil-kerikil yang dilemparkan.
Ketika banyak orang bersimpati dengan aksi mahasiswa, merindukan demonstrasi sebagai upaya menjaga stabilitas, banyak juga yang menyayangkan, mengutuk aksi kekerasan yang dialami pihak di luar objek aspirasi itu sendiri.
Dengan kata lain, tujuan sebuah perjuangan adalah keridaan dan membangun kebaikan bersama, melalui pendekatan demontrasi terhadap sebuah kepemimpinan. Juga dalam menuju sebuah kebaikan yang dimaksud, justru diwarnai dengan insiden kemanusiaan yang jauh dari kata kebaikan, moral dan integritas.
Allah berpesan dengan sangat jelas, bahwa jika ingin berjuang maka yang total, serahkan segala harta yang dimiliki, baik dlohir maupun batin. Di mana harta itu bisa berupa gagasan, ide pemikiran, kesehatan, dan penyambung lidah rakyat.
Maka tidak ada salahnya jika kita coba merenung sejenak, bahwa aksi yang digelar untuk melahirkan kebijakan prorakyat, tidak harus diwarnai dengan ragam egoisme dan egosentris tertentu.
Ini bukan masalah benar dan salah, wong kita juga sama-sama nggak jelas, mana yang salah dan mana yang benar. Sehingga yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita berjuang dalam kondisi yang berat atau ringan, degan menjaga keistiqamahan kita, introspeksi diri kita dan lain sebagainya.
Di satu sisi, menjadi manusia yang manusia juga harus ditanamkan dalam tubuh organisasi apapun, baik dalam instansi pemerintahan, pun dalam ruang-ruang publik lainnya.
Dengan demikian, apa yang disampaikan di dalam Surat At-Taubah ayat 41 di atas menunjukkan bahwa kondisi manusia yang sedang berjuang perlu ada dorongan moril dan kesadaran yang luas.
Agar tidak mudah kecele, tidak mudah dibohongi dan memiliki kemandirian yang tegas dan cakrawala berpikir yang luas dan menembus masa mendatang.
Maka dari itu, demo mahasiswa memiliki nilai perjuangan yang panjang dan diharaapkan. Sedangkan insiden yang dialami Ade Armando menjadi bukti, bahwa kemajemukan berpikir itu ada dan perlu dipahami dan dicintai.
Karea apapun yang ada dan tenjadi di dunia ini tidak lepas dari proses cinta itu sendiri. Maka dari itu Allahul jamil, yuhibbul jamal. Bahwa Tuhan memiliki kemahaan atas sebuah keindahan (cinta) dan Tuhan menyukai sesuatu yang indah pula.
Oleh sebab itu, untuk memahami keberagaman baik suku, ras, agama dan budaya adalah produk dari cinta yang dituangkan oleh Allah kepada semua makhluk hidupnya. Tidak mungkin, mahasiswa akan bergerak bersama di berbagai titik jika tidak ada instruksi dan cinta itu sendiri.
Apa yang dialami Ade Armando, sebagai manusia tentu memiliki keinginan dan perjuangan untuk mencapai keinginan tersebut. Walaupun konsekuensinya adalah berhadapan langsung dengan kondisi yang diciptakan olehnya terkait respona atas agama, sikap humanis, dan pergerakan-pergerakan bermuatan agama.
Hal ini perlu direnungkan, karena ego saja tidak cukup. Begitu juga dengan cinta, ia bukan objek yang bisa diukur, tetapi bisa dirasakan dan dipahami secara mendalam.