Terpencil. Itulah satu kata yang pas untuk menggambarkan Desa Kalirejo. Meski sudah tersedia fasilitas listrik, untuk bisa mendapat sinyal telepon dengan akses H+ kita harus menaiki pohon setinggi dua meter. Meskipun, SD juga SMP sudah terbangun lima tahun lalu, desan ini tetap terpencil.
Ya, Desa Kalirejo memang terpencil, begitu juga dengan syiar Islamnya. Meski juga terdapat satu masjid raya, meski terdapat TPQ, meski sudah ada yang pernah berhaji, dan meskipun juga ada segelintir orang tua yang mengirimkan anaknya ke pesantren luar daerah, dan aku menjadi satu di antaranya. Dan dari beberapa meski tadi, Desa Kalirejo tetap erat dengan adat Timur-nya: memercayai kultur, mitos, mistis, gaib, rasionalis, dan perihal orang sakti; paranormal; dukun.
Tersebutlah Mbah Dul Saman. Dia terkenal sebagai tetua paranormal Desa Kalirejo. Mbah Dul sering menjadi jujukan, tidak hanya lingkupnya tapi juga sering terlihat orang dari desa bahkan kota lain sliwar-sliwer ke rumahnya. Mbah Dul popular sebagai dukun umum, dari diminta menyembuhkan penyakit, nomor togel, konsultasi barang hilang, pemberi ajian, azimat, susuk penglaris, pelet, pengusir setan, mencabut santet, “pagar” agar tidak diganggu makhluk gaib, dan sebagainya. Pendek kata, Mbah Dul adalah montir dunia kegaiban, petapa nan mandraguna, ikonik masalah klenik.
Nama “Dul” ternyata bukan kependekan dari abdul yang berarti hamba dalam bahasa Arab. Dul disematkan orang tuanya, yang konon menerima wangsit bahwa anaknya kelak tidak akan memunyai rambut, alias gundul seumur hidup. Jadilah ia dipanggil “Ndul” atau “Dul”. Memang, sepengetahuanku, Mbah Dul selalu gundul, menambah aura kental mistisisnya hanya dengan melihat sosoknya.
Mbah Dul memunyai asisten, staf khusus, sekaligus jubir, yang tugasnya mengurusi “pasien-pasiennya”, mengurusi tentang ubo rampe yang dibutuhkan, dan menceritakan perihal kesaktiannya di masyarakat agar viral dan diperbincangkan. Beliau adalah Pak Kadir, Paklikku.
Aku yang dipulangkan dari pesantren harus kembali merasakan suasana desa seperti itu. Terkadang miris melihat semua bentuk keganjilan dan kejanggalan tentang urusan permistisan. Tapi apa daya, tangan tak berkuasa, bibir tak mampu bersuara, hanya menggumam dalam hati, meski sadar bahwa itu selemahnya iman.
Selepas maghrib dan berbuka sembari menunggu azan isya, aku bercengkrama dengan ponakanku di teras Pak Lik Maryoto, stafsus Mbah Dul. “Situasi Ramadan dengan Corona gini, ngefek nggak ya bagi para dedemit?” aku mulai berkelakar.
“Hush! Jangan bawa lelembut. Kalau mereka sampai dengar, diganggu nanti?” Irul kawanku menanggapi.
“Ini Ramadan, Rul! Kasihan mereka. Di sini sudah tidak bisa mengganggu manusia karena Ramadan, mau transit ke negara yang tidak ada Ramadan, eh… terkena lockdown, ha-ha-ha.”
“Iya, benar juga kamu, Rip! Jadi bukan manusia saja yang diisolasi dan lockdown wilayah, mereka juga.”
Kami pun tertawa. Pak Likku Maryoto yang mendengar menegur kami. “Dasar kencur! Hati-hati kalau bicara. Kalian tahu, Mbah Dul itu bisa mengobati segala macam penyakit, termasuk orang yang kena virus Corona ini.”
Aku menimpali, “Tapi agama melarang percaya itu, Lik!”
Pak Lik tidak terima jawabanku, “Simpan ceramahmu! Mbah Dul lebih tahu dari kiai pesantrenmu. Kita ini Jawa, Le… Agama harus menghormatinya.”
Naluri santriku keluar. “Ya, pasti dihormati, Lik! Tapi kalau percaya apalagi membenarkan dan mengimani namanya thagut. Sirik Lik, dosa besar.”
Nada tinggi Pak Lik Maryoto menjawabku, “Kamu tahu apa? Ngerti apa? Baru saja mondok saja sudah sok ngerti. Mbah Dul itu sudang manunggaling kawula gusti, tingkatannya sudah beda dengan kita.”
Karena tidak ingin mendengar kisruh lagi, Irul mengajakku beranjak. “Sudah, Rip! Ayo ke masjid sebentar lagi azan isya.”
“Jangan ikut-ikut kamu Rul! Bapak bisa menyekolahkanmu rezekinya ya dari Mbah Dul itu,” Pak Lik memeringatkan Irul.
Sampai di teras masjid, aku dan Irul melanjutkan mengobrol. Irul bertanya padaku, “Thagut tadi apa, Rip?”
“Thagut adalah segala sesuatu yang dijadikan sembahan selain Allah. Maka, kita sebagai orang beriman harus kuat tauhidnya, harus berpegang teguh. Kalau tidak, timbullah sirik.”
“La, biasanya seperti Mbah Dul itu mengetahui nasib seseorang, tahu barang hilang, mampu sembuhkan orang. Gimana itu, Rip?”
“Wallahua’lam. Kalimat yang benar itu dari setan yang mencuri berita dari langit. Lalu memasukkan ke telinga teman dekatnya, yaitu dukun dan tukang sihir, kemudian dicampur aduk dengan seratus kedustaan.”
“Gitu ya, nyesal aku tidak ke pesantren seperti kamu. Bapakku melarang.”
“Sudah, yang penting jaga imanmu, Rul! Ngomong-ngomong paling genderuwo apalagi tuyul pasti banyak yang nganggur, Rul.”
“Ko bisa, Rip?”
“La sekarang banyak yang nyimpen uang di ATM, semua pakai nontunai, uang elektronik. La tuyulnya belum dapat training pelatihan nyuri di ATM.”
“Iya, ya. Bisa, bisa. Ha-ha-ha….”
“Sekarang kuburan, tempat-tempat sepi sudah ada lampunya. Jadi orang banyak yang tidak takut. Kuburan apa lagi, masih Corona begini. Manusia masih takut lewat kuburan, tapi lebih takut dengan jenazah yang dikira korban Corona. Bahkan ada yang ditolak lo saking takutnya itu,” aku membikin anekdot.
“Ha-ha, guyon saja kamu, Rip. Tuyul, babi ngepet, sekarang pasti kemana-mana pakai masker, bawa hand sanitizer, takut duit yang dicuri ada Coronanya. Kalau missal ada, juragannya kena, bisa di PHK mereka,” Irul menambahkan jokenya.
Aku pun terkekeh. “Ha-ha… benar kamu, Rul!Satu lagi, karena masih Ramadan, para dedemit kan terisolasi, mereka sekarang lagi rapat pakai aplikasi zoom, pesan dupa-sesajen lewat jasa ojol, ikut-ikutan work from home, ha-ha-ha….”
Azan Isya berkumandang, mengingatkan kami untuk berhenti tertawa. Kami pun bersama jemaah lain segera mengikuti tarawih berjamaah. Selesai tarawih, dengan tergopoh Pak Lik Maryoto mendekati kami yang mau pulang.
“Mbah Dul meninggal… Mbah Dul… meee…,” ucapan Pak Lik terpotong karena napasnya yang terputus-putus.
“Innalillahi… Ko bisa, Lik. Gimana ceritanya?”
“Kamu tahu sendiri kan. Sudah seminggu aku tidak ke Mbah Dul. Pak Lik panen padi. Ketika itu Mbah Dul menerima pasien sakit. Ternyata pasiennya adalah PDP Corona.”
“Aduh, bisa gawat itu Lik. Bisa-bisa desa kita diisolasi ini,” aku terperangah.
“Semoga saja tidak, Rip. Lalu Mbah Dul bersedia mengobati. Katanya Mbah Dul punya jin yang bisa nyerot, menyedot virus itu dari dalam tubuh kemudian mengeluarkannya.”
“Setelah itu, Pak?” Irul penasaran.
“Ternyata pasien itu tidak sembuh. Beberapa hari kemudian Mbah Dul dijemput paksa polisi dengan tenaga medis, karena terlacak di rekam interaksi pasien tadi,” Pak Lik menambah keterangannya.
“Jadi, Mbah Dul sempat dibawa ke rumah sakit, Lik?” tanyaku
“Iya, dirawat dua hari. Karena positif terinfeksi. Kemudian meninggal. Selain karena Corona, Mbah Dul yang perokok, usia lanjut, gula kadar tinggi, memicu Coronanya hingga Mbah Dul meninggal.”
“Kapan dimakamkan, Lik?”
“Nah itu dia masalahnya. Pihak rumah sakit menyuruh Lik-mu ini untuk bertangung jawab mengurusi. Waduh, runyam nanti. Bisa tertular aku.”
Aku mencoba menenangkan, “Jangan panik, Lik! Semua sudah ada prosedur. Jenazah diberi plastik agar tidak menular. Sudah ada protokol medisnya. Nanti saya bantu.”
Begitulah, lalu muncul diberita, tweeter, Ig, menjadi trending topics. “Dukun versus Corona. Seorang dukun desa mengaku bisa menyembuhkan pasien Corona dengan metode jin penyedot virus, akhirnya tertular dan meninggal, tragis!”
Perlahan, mistisime yang dulu dikedepankan semakin terkikis dan pudar. Masyarakat semakin sadar, dengan banyaknya santri-santri dari anak-anak yang kembali ke desanya. Mereka memeroleh pemahaman, betapa thagut bisa merusak akidah keimanan seorang hamba. Iyyakana’budu wa iyya kanas’taiin. Hanya kepada Allah kami menyembah dan memohon pertolongan.