Setiap akhir pekan, Ali selalu ingin pergi keluar dari pesantren. Hal itu sudah ia coba selama dua tahun sejak pertama masuk pesantren di kampung Babakan. Namun, niatnya tidak pernah terwujud karena terhalang tembok yang sangat besar dan tangguh.
Sulit bagi Ali untuk bisa menembus tembok itu, apalagi menghancurkannya. Meskipun usianya masih 16 tahun, tapi pikirannya sudah bertamasya jauh ke depan. Mungkin teman-teman seusianya tidak pernah memikirkan bagaimana jika suatu saat pesatren akan hilang seperti yang Ali pikirkan.
Pada suatu sore yang menjengkelkan, terdengar suara bising knalpot di balik tembok pesantren. Semua santri di tempat itu keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mereka berlari ke gerbang utama dari asrama sejauh 500 meter. Ada yang baru selesai mandi, ada yang baru bangun tidur, bahkan ada yang bertelanjang dada. Saking kesalnya, mereka tak sadar telah melewati batas peraturan pesantren.
“Seperti dugaanku, hari ini akan ada keributan,” gumam Ali yang melihat kejadian tersebut dari teras masjid. “Bagaimanapun, orang-orang di sini masih senang dengan sesuatu yang mereka rasa itu adalah kesalahan.”
Suara bising kenalpot itu tak membuat Ali tertarik. Ia lebih memilih pergi ke belakang masjid sambil menunggu matahari tenggelam. Barangkali, dia ingin belajar mencari Tuhan seperti metode yang digunakan Nabi Ibrahim. Sayang, dia bukan seorang nabi, hanya seorang santri.
Di teras belakang masjid setelah petang, azan maghrib berkumandang dan suara bising itu masih belum hilang. Masih menjadi tontonan para santri dari bilik tembok pesantren. Tapi mereka menjaga jarak, sebab bisa saja hal buruk terjadi. Salah seorang santri malah berpikir kalau orang di atas motor tersebut dengan knalpot bobokan yang sangat bising sedang membawa bom dan ingin memusnahakan seluruh santri yang ada di pesantren itu.
“Seperti di tivi-tivi ya, jangan-janagn dia itu teroris.”
“Huss, jangan ngaco, mana ada teroris botak, sepertinya dia geng motor.”
“Halah, kalian ini, bisa lihat tidak? Jelas dia itu pemabuk, lihat saja stiker di motor bututnya itu, ada gambar bintang.”
Perdebatan para santri itu semakin memanas saat pria di atas motor tersebut mengeluarkan sebuah cerulit, dengan tatapan tajam mengarah ke semua santri yang menonton.
“Tuh lihat, dia membawa cerulit, dia pasti teroris.”
“Ah, mana mungkin, dia pasti geng motor.”
“Tidak, dia pasti seorang ustaz!”
Seketika semua santri di tempat itu terdiam mendengar perkataan Ali. Dengan wajah yang tegang dan semrawut, Ali memaksakan diri menghampiri kerumunan itu. Sambil menyaksikan apa yang akan terjadi. Tepat seperti dugaannya, santri lain akan berdebat soal siapa sebenarnya lelaki botak tua yang menjengkelkan itu. Semua orang kaget, Ali yang tidak pernah mau mencampuri sesuatu yang menurutnya tidak penting, justru kini ia harus berhadapan dengan suara knalpot bising.
Motor itu melaju ke arah gerbang pesantren, dengan cerulit panjang diacungkan menantang langit. Para santri terkaget dan perlahan berhamburan tak keruan seperti laron berterbangan. Cerulit itu bisa mencabut nyawa seseorang dengan radius jangkauan sejauh setengah meter. Sekali ayun, dua tiga santri bisa tumbang. Sangat mengejutkan, Ali malah datang berlari keluar tembok pesantren menuju pengendara motor tersebut.
“Hey, kembalilah, cerulit itu akan merobek ususmu!” teriak seorang santri.
“Apa kau bosan tinggal di pesantren, sampai berani keluar gerbang menghadapi seorang berandalan?”
Saat itu, semua pengurus dan orang berwenang di pesantren memang ada kegiatan di luar pondok sejak tiga hari yang lalu. Tinggal beberapa santri senior dan didominasi santri-santri junior. Sayangnya, kejadian ini baru pertama kali terjadi sehingga ada kebingungan untuk mengatasi masalah seperti ini. Kaget bukan kepalang, saat Ali sudah berjarak satu meter dengan pengendara motor itu, tiba-tiba cerulit yang dibawa itu dilempar jauh ke sebelah kanan. Dan mereka saling berhadapan dengan tangan tangan kosong.
“Apa yang kau inginkan dari kami, he, botak?” tanya Ali.
Dengan cepat, pengendara itu turun dari motornya dan mematikan mesin. Lalu menghampiri Ali dengan tatapan yang memilukan. “Apakah kau tidak tahu apa yang terjadi?”
Jelas Ali kebingungan dengan pertanyaan tersebut. Ia tidak pernah kenal dengan lelaki itu.
“Maksudnya apa?”
“Kamu, dan mereka semua, tidak pernah tahu apa yang terjadi!”
“Soal apa? Kami tahu apa yang terjadi di masa lalu. Bagaimana Al-Quran diturunkan, kitab-kitab kuning dibuat, bagaimana pergolakan politik pada saat peristiwa tahkim, Bani Umayyah, Bani Abbasyiah. Kami tahu semua soal agama!” bentak Ali dengan nada yang cukup emosi.
“Hah, sangat menyedihkan. Apakah kamu tahu cara hidup di bulan atau membuat matahari buatan?”
“Tentu saja tidak. Itu hal yang mustahil.”
“Tidak, kamu memang tidak tahu apa yang terjadi di luar tembok ini.”
“Maksudnya apa?”
“Keluarlah, lihat apa yang sudah terjadi.”
“Tidak, kami akan tetap di sini, bersama cahaya.”
“Apakah cahayamu itu tidak akan menerangi tempat yang gelap?”
“Cahaya akan terang di mana saja.”
“Begitulah seharusnya anak muda, cahaya harus mampu keluar dari pusat sinarnya, menuju ruang-ruang kecil yang tak pernah terjamah, seperti di bulan mungkin.”
Ali masih terdiam dengan perkataan lelaki itu, yang tiba-tiba pergi meninggalkannya, menjauh dari tembok pesantren. Orang-orang kini menghampiri Ali dan bertanya apa yang mereka bicarakan. Tetapi, begitu saja dilupakan, yang terpenting pengganggu itu sudah pergi jauh. Namun, Ali masih tetap kebingungan.
Selesai sepertiga malam, menunggu fajar, di dalam kesendiriannya Ali memikirkan kata-kata lelaki itu. Apakah hari ini ilmu agama saja sudah cukup? Apakah kita para santri harus tahu perekembangan teknologi dan dunia luar? Seketika, Ali teringat sejarah pada zaman Hhalifah Harun Ar-Rasyid, di mana ilmu pengatuhan dan peradaban Islam sedang maju begitu pesat. Apakah zaman itu akan terjadi lagi jika dirinya sebagai penurus bangsa dan agama tidak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan?
Sebelum sempat ayam berkokok, Ali berusaha untuk membangungan semua temannya yang tertidur lelap dari peradaban.