Hari-hari yang ditunggu pun akhirnya tiba. Gaun putih yang indah nan mewah melekat di tubuh Dara. Hijab yang dikenakan menambah kesan cantiknya. Tak lupa pernak-pernik bunga juga menghiasi kepalanya. Senyumnya tak pernah padam, secerah matahari bulan Juli yang bersinar pagi ini.
Di depan cermin Dara menatap dalam-dalam dirinya. Tiba-tiba ia tersenyum mengingat semua kenangan bersama Elang sebelum mencapai puncak bahagia ini. Suka, duka, tawa, tangis semua telah dilaluinya bersama lelaki yang kini akan menjadi sosok pendamping hidupnya, menjadi imamnya, dan menjaganya nanti. Bahagia bercampur haru dirasakannya kini.
Masih teringat d imana hari kebahagiaan itu dimulai. Sang kakak Dara yang memperkenalkan keduanya. Elang Putra merupakan rekan kerja kakaknya di sebuah rumah sakit ternama di kotanya. Semula keduanya ragu karena memang tidak pernah bertemu. Belum lagi Dara yang saat itu masih mahasiswa tadris matematika tingkat dua. Perbedaan usia yang terpaut sepuluh tahun jelas kendala tersendiri bagi keduanya di era milenial kini. Namun Elang dengan setia menunggu Dara hingga lulus pendidikan sarjananya sembari menyelesaikan pula pendidikan magisternya.
“Bapak, Ibu. Tujuan saya ke mari ingin meminta restu Bapak Ibu untuk meminang Dara Asyifa,” kenang Dara waktu itu.
“Bapak dan Ibu hanya mendoakan saja. Tapi segala sesuatunya tentu tergantung dari yang akan menjalaninya. Tentu saja Bapak dan Ibu harus bertanya kepada Dara,” jawaban diplomatis bapak waktu itu.
Setelah itu waktu begitu cepat berlalu. Peristiwa demi peristiwa tersambung begitu rupa. Dara pun memberikan jawaban yang sesuai dengan permohonan Elang. Elang pun juga memenuhi permintaan Dara untuk menyelesaikan pendidikannya.
***
Setelah semua yang sudah dilaluinya Dara merasa sangat bersyukur Tuhan telah mempertemukannya dengan lelaki yang baik dan saleh. Butiran demi butiran air mata jatuh. Tangan lembut sang ibunda merangkul dirinya dengan penuh kasih sayang.
”Dara, ada apa denganmu, anakku?” ucap ibunya dengan halus.
“Ibu, bisakah aku nanti menjadi wanita yang salehah? Bisakah aku merawat dan menjaga diri sebagai istri yang baik?” tanya Dara seraya memeluk ibunya.
Ibunya tersenyum, tangannya membelai halus kepala Dara. “Tentu saja bisa sayang. Semua akan baik-baik saja, tidak perlu khawatir.”
“Bagaimana jika aku lalai dan gagal? Bagaimana jika semua tidak berjalan dengan baik?” seolah tak puas dengan semua jawaban dari ibunya.
“Putriku, hilangkanlah semua keraguanmu, percayalah pada Elang. Dia pasti akan membimbingmu dan menjagamu sayang. Jangan pernah takut untuk belajar menjadi istri yang baik. Ibumu dulu juga pernah merasakan apa yang aku pikirkan,” bisiknya lembut.
“Bagaimana dengan Bapak dan Ibu saat aku tidak lagi ada di sisi kalian?” tambah Dara khawatir.
“Tugas Ayah dan Ibu adalah menjaga kamu Dara. Bukan sebaliknya, tentu saja Bapak dan Ibu bisa menjaga diri,” tegasnya dengan lembut seraya memeluk Dara yang semakin larut dalam tangisannya.
“Bapak Ibu sudah setuju jika itu sudah menjadi pilihanmu. Kelak amanah itu akan menjadi tanggung jawab suamimu,” sang bapak menghampiri keduanya.
“Bapak, Ibu terima kasih telah menjaga dan menghantarkanku hingga detik dimana aku akan meninggalkan kalian. Aku akan memulai hidup baru.” Dara mengenggam tangan kedua orang tuanya.
“Oh… sayang kamu tidak perlu berterima kasih. Ini memang kewajiban kami untuk menjagamu.”
Mendengar ucapan kedua orang tuanya, Dara semakin terharu. Dara memeluk Bapak dan Ibunya dengan tangis dan senyum bahagia.
“Lalu, bagaimana dengan penyakit leukimiaku? Apakah Mas Elang bisa menerimaku apa adanya?” tetiba terlontar pertanyaannya.
“Tenang saja. Kakakmu tentu sudah memberitahukannya. Lagian, Elang kan juga seorang dokter,” bujuk sang ibu.
***
Dalam ruangan lain. Elang juga mempersiapkan diri, gelisah, bahagia, haru juga dirasakannya. Setelan jas putih terlihat begitu cocok dengan Elang. Di depan cermin ia berlatih mengucapkan sumpah suci nan sakral akad. Hingga pandangan Elang tertuju ke luar jendela. Seolah melihat masa-masa sulit yang dilaluinya bersama Dara, ia tersenyum tipis. Semuanya berlalu dengan cepat, berganti bahagia yang berlimpah ruah.
Sebenarnya pernikahan ini rencana digelar tiga bulan yang lalu. Tetapi, Dara dan Elang tetap sabar menanti hingga pandemi ini sedikit mereda. Dan inilah mungkin waktu yang tepat untuk keduanya, meski hanya resepsi sederhana dengan mengundang saudara terdekat saja.
“Wah, sepertinya pengantin kita sangat bahagia,” goda ibunya yang membuat lamunannya terpecah.
“Ibu…,” Elang berjalan menghampiri ibunya, dia memeluk ibunya dengan erat. Melihat tingkah Elang yang manja ibunya mengusap lembut rambut Elang.
“Ibu, apakah aku bisa menjaga Dara nanti? Apa aku bisa membimbingnya?” Elang mengungkapkan semua kerguannya.
“Tentu saja kamu bisa Elang,” ibunya mencoba meyakinkannya.
“Terima kasih ibu dan ayah. Elang mohon doa restunya.”
Menit berganti detik. Waktu yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Sumpah suci akan diucapkan. Pintu menuju hidup baru sudah di depan mata. Pelaminan sederhana namun penuh makna untuk menuju hidup baru telah disiapkan. Elang sudah duduk manis di bawah pelaminan. Menunggu kehadiran sosok pujaan yang didambakan. Jantungnya berdetak kencang. Cukup lama Elang menunggu di pelaminan, dia mulai khawatir.
“Apa yang terjadi dengan Dara?” hatinya berbisik gelisah.
Ibu Dara menuju ke pelaminan. Namun tak bersama Dara. Semua heran dan bingung melihat wajahnya memerah dan berlinang air mata di pipinya. Elang semakin heran. Tak mengerti apa yang sedang terjadi.
“Ada apa Ibu? Dimana Dara?” tanya Elang khawatir.
“Dara sedang diperiksa kakaknya di kamar. Segeralah kamu menyusulnya ke sana,” ucap Ibu Dara dengan air mata yang tak hentinya mengalir.
Elang langsung bergegas menuju ke kamar. Tampak Mas Danu, kakak Dara, sedang memeriksa Dara yang masih belum tersadar. Ia mulai kebingungan sembari turut melakukan pemeriksaan awal kepada Dara.
“Elang, sebaiknya Dara kita bawa ke rumah sakit saja. Penyakit lamanya sudah mulai menyerang Dara,” kata sang kakak.
“Iya, Mas Danu. Kita harus secepatnya membawa Dara,” jawab Elang.
Suasana berubah menjadi haru. Seluruh keluarga tampak kebingungan dengan apa yang terjadi. Mobil putih melaju ke rumah sakit dengan membawa Dara, Elang, dan Mas Danu. Menyusul berikutnya mobil kedua orang tuanya.
“Elang, kamu tentu sudah tahu kondisi sebenarnya adikku. Sebelum melangkah lebih jauh, akankah kamu ingin berhenti cukup sampai di sini?” tanya Mas Danu kepada Elang secara rahasia.
“Insya Allah saya siap. Siap menerima Dara dengan segala kelebihan dan kekurangannya.”
“Kamu sudah tahu risikonya kan tentang riwayat penyakitnya Dara. Bisa saja maut yang akan menjemputnya tiba-tiba.,” tatap Mas Danu dengan nyalang.
“Iya Mas Danu. Saya siap. Saya sudah yakin untuk hidup bersama Dara. Lillahi taala,” jawab Elang dengan yakin.
Dara sudah mulai tersadar. Ia mulai membuka matanya. Gaun pengantin masih ia kenakan. Semua yang di dekatnya tampak bahagia.
“Bapak Ibu Dara dan semuanya, izinkan saya mengajukan permintaan,” pinta Elang.
“Elang ingin segera mengucapkan akad dan memperistri Dara,” pintanya.
Semuanya tampak kebingungan sejenak. Tak tahu apa yang harus dilaksanakan. Sejenak bapak dan ibu Dara saling menatap dan memberikan isyarat. Demikian pula dengan kedua orang tua Elang.
“Sedari awal Bapak sudah mengatakan. Semua bergantung yang menjalaninya. Bapak dan Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua.”
Mas Danu kemudian menelepon penghulu. Beberapa jam kemudian, penghulu yang tadi pagi sudah siap akhirnya datang ke rumah sakit. Semua di luar skenario pada lazimnya dalam membangun mahligai rumah tangga. Elang tampak sibuk mempersiapkan kalimat akadnya. Ia berusaha keluar ruangan, memfokuskan diri untuk menghafal. Di benaknya bermunculan pula makna dari kalimat itu. Makna untuk memulai hidup baru. Makna untuk adanya hak, kewajiban, sekaligus visi kehidupan antara keduanya sebagai suami dan istri.
“Apakah kamu sudah siap, Elang?” tanya penghulu.
“Insya Allah siap.”
Akad pun dimulai. Elang dan Dara tampak gugup dengan apa yang ada. Tapi keduanya terlihat bahagia. Kalimat pertama, Elang kurang konsentrasi sehingga harus diulangi. Kalimat kedua, Elang mengucapkan kalimat akad dengan tersendat-sendat.
“Kamu harus fokus dan yakin Elang. Tenangkan pikiranmu. Bulatkan tekadmu!” petuah sang penghulu.
Kalimat ketiganya pun akhirnya lancar dan jelas terdengar. Semuanya tampak bahagia. Peristiwa itu pun akhirnya dilanjutkan dengan doa. Tak lupa foto dengan cincin melingkar di jari kedua mempelai.
“Ada apa kamu istriku?” tiba-tiba Dara terjatuh. Tak sadarkan diri lagi.
Semuanya terkejut. Dokter dan perawat rumah sakit mengecek lagi kondisinya. Semua keluarga pun menunggu di luar ruangan dengan penuh kekhawatiran.
“Bagaimana keadaan istri saya, Dokter Fahri?” tanya Elang kepada rekan kerja seniornya yang baru saja memeriksa kondisi Dara.
“Bisakah kita berbicara sebentar di ruangan saya?” tanya Dokter Fahri.
Keduanya diikuti perawat menuju ruangan khusus yang ditunjuk Dokter Fahri. Tampak ada sesuatu hal yang penting dan rahasia yang harus diputuskan saat itu juga.
“Bapak, Ibu, Mas Danu, dan semuanya. Mohon doa untuk kelancaran dan kesembuhan untuk Dara. Setelah ini tim dokter akan melakukan tindakan medis untuk Dara,” kata Elang begitu ke luar ruangan.
“Kita juga butuh donor darah AB rhesus negatif yang sangat langka. Semoga semuanya baik-baik saja,” kata Elang sembari terduduk lesu.
“Kamu tenangkan pikiranmu. Akan kucarikan dan kuhubungi semua rekan dan kolega,” Mas Danu menenangkan keadaan.
Hening menyelimuti mereka yang duduk berjejer di kursi tunggu. Mereka semua tak beranjak pergi meski kemungkinan dokter butuh waktu lebih lama lagi. Lantunan dzikir dan doa terdengar di antara mereka.
Elang masih duduk termenung di tepian yang langsung menghadap taman dan kolam. Sesekali disekanya air mata lelakinya yang jarang menetes. Sesekali pula diamatinya pintu ruang operasi Dara. Tampak ia terus menegarkan diri untuk mengawali lembaran barunya sebagai seorang suami dan kepala keluarga. Ditatapnya pula langit senja yang mulai kehilangan warna cerahnya.