Akhir-akhir ini saya agak sering terlihat seperti orang gila. Suka senyum-senyum sendiri. Senyum kecut lagi. Itu terjadi ketika saya, misalnya, bertemu atau berpapasan dengan orang yang ada tanda hitam di dahinya.
Itu tanda ahli ibadah, kata seorang teman.
Ah, yang boneng…
Hal itu juga mengingatakan akan mata kaki saya. Entah kapan persisnya, tanpa terasa, dalam beberapa tahun terakhir kapalan (callous) di mata kaki saya sudah hilang. Kembali halus dan mulus.
Kapalan di mata kaki itu saya peroleh ketika saya mondok dulu. Dulu sekali. Seperti pernah saya ceritakan, pesantren tempat saya mondok itu adalah pengamal tarekat Syekh Abdul Qadir Jaelani. Karena itu, selain ngaji-ngaji kitab, santri diwajibkan mengikuti wirid dan dzikir-dzikir rutin sesuai ajaran dan tutunan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Rutin mengikuti wirid dan dzikir-dzikir itulah yang membuat mata kaki saya kapalan.
Kok bisa?
Bisa.
Bayangkan, dalam sehari alias 24 jam, setidaknya kami, para santri, dua kali mengikuti wirid-dzikir khusus itu. Biasanya siang sehabis salat dzuhur dan tengah malam sehabis salat tahajud. Yang siang hari relatif ringan karena yang diamalkan wirid-dzikir “versi pendek”. Paling, kurang dari satu jam sudah kelar. Nah, yang berat adalah dzikir malamnya. Selain dibebani mata yang suka terkantuk-kantuk, wirid-dzikirnya versi yang panjang, dan tawasulnya hingga ke negeri-negeri seberang. Dua jam selesai sudah terbilang cepat.
Ditambah dengan berbagai kegiatan ngaji-ngaji kitab, praktis posisi tubuh para santri saban hari lebih banyak duduk bersila jika dibandingkan dengan tiduran, berdiri, selonjoran, atau yang lainnya. Sebab, berbagai kegiatan tersebut hanya pas diikuti dengan cara duduk bersila, terutama untuk dzikirannya. Duduknya harus bersila dengan sempurna: badan tegak lurus, permukaan paha harus rata saat bersila. Semua beban itu kemudian bertumpu pada punggung kaki yang terbalik dan menempel di lantai. Maka, dalam posisi demikian, yang menjadi “korban” adalah mata kaki.