Merebaknya wabah Covid-19 ini memaksa manusia untuk survive dan melakukan banyak hal untuk mengatasi permasalahan kehidupan. Covid-19 menjadikan adaptasi dan transformasi secara masif dan signifikan dalam dunia pendidikan. Beberapa di antaranya adalah proses pembelajaran, penilaian pendidikan, dan agenda kegiatan. Khusus sekolah umum berbasis pesantren, para stakeholders harus berpikir keras untuk meramu kurikulum pendidikan umum dengan kurikulum ciri khas pesantren serta tradisi kesantrian.
Kita sudah tahu jika akhirnya penyelenggaraan ujian nasional ditiadakan. Demikian pula dengan kegiatan tahunan seperti pelepasan siswa tingkat akhir, kegiatan akhir sekolah, lomba-lomba, upacara bendera, dan kegiatan sejenisnya juga telah dihapuskan. Sedangkan agenda kegiatan lain, seperti rapat, pengumuman kelulusan, penilaian akhir tahun, dan PPDB bisa dilakukan secara daring.
Pada 24 Maret 2020, Kemedikbud mengeluarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Kemudian dipertegas lagi pada 15 Juni 2020, diumumkan keputusan penyelenggaraan pembelajaran oleh Menko PMK, Kepala BNPB/Ketua Gugus Tugas, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, Mendikbud, Menteri Dalam Negeri, dan Ketua Komisi X DPR RI. Tampaknya, kebijakan daring ini juga bakal dipermanenkan atau minimal hingga akhir 2020.
Akan tetapi, pembelajaran daring ini tentu menimbulkan problematika tersendiri dari berbagai sisi. Dari sisi materi pembelajaran, tentu materi-materi yang telah dipelajari pada semester genap masih menyisakan setengahnya. Materi yang tersisa ini harus dituntaskan sesuai target kurikulum pendidikan. Meski diakui, pembelajaran daring tidak seefektif dan seoptimal pembelajaran tatap muka. Belum lagi, pembelajaran ini merupakan hal dan pengalaman baru bagi kebanyakan guru dan siswa.
Pembelajaran harus terjadwal dan sistematis untuk memenuhi hak anak-anak dalam memperoleh pendidikan yang layak. Tentunya, kata terjadwal tidak sama alokasi waktu dan jumlah jamnya seperti pada pembelajaran tatap muka. Misalnya, biasanya siswa jenjang SMA/MA setiap hari menerima 5 mata pelajaran dengan durasi waktu 8 jam, maka pada pembelajaran daring bisa cukup 2 sampai 3 mata pelajaran saja. Durasi penyelesaian dan pengiriman tugas bisa lebih variatif dan adaptif; misalnya sesuai jam, pada hari yang sama, atau pada waktu tertentu bergantung pada tingkat materi dan situasi kondisi.
Yang kedua, pembelajaran terjadwal memungkinkan anak memiliki rutinitas yang teratur, termonitor, dan meminimalkan melakukan aktivitas negatif atau tidak bermanfaat. Dari sini, bisa terjadi kolaborasi antara guru mata pelajaran dalam menyampaikan materi, wali kelas untuk memantau aktivitas dan penyelesaian tugas para siswa, serta ikhtiar wali murid dalam memfasilitasi kegiatan belajar siswa.
Pembelajaran daring ini juga menimbulkan problematika dari aspek manusianya; mulai siswa, orang tua, maupun guru. Tidak semua guru memiliki kecakapan literasi digital dan keterampilan berkomunikasi daring yang mumpuni. Yang lebih parah lagi, persepsi guru bahwa “belajar dari rumah” hanya berupa pemberian tugas semata secara daring kepada siswa. Tugas-tugas itu memiliki bobot dan target penyelesaian yang sama dengan pembelajaran tatap muka. Sedangkan siswa tidak dibekali dengan materi pembelajaran yang memadai.
Oleh karena itu, semestinya guru tidak sekadar memberikan tugas, tetapi juga materi sekaligus adaptif terhadap situasi kondisi. Materi bisa melalui presentasi power point, penjelasan langsung guru melalui video daring, tautan materi serta ruang diskusi dari sumber lain (youtube, website, aplikasi pendidikan, google classroom, dll.).
Yang kedua dari sisi siswa. Masalah klasik yang terjadi ialah keterbatasan sinyal jaringan, kuota paket data, hingga ketiadaan gawai. Masalah lainnya adalah siswa yang merasa keberatan dan mengeluh karena beban tugas yang terlalu berat, kurang paham terhadap materi yang dipelajari, atau belum terjalinnya komunikasi tanya jawab guru siswa dalam penyelesaian tugas. Meski beberapa siswa juga mengakui nilai lebih pembelajaran daring ini bahwa siswa tidak perlu berangkat pagi dengan seabrek persiapannya dan bisa mengakses Internet secara langsung dalam penyelesaian tugasnya.
Yang ketiga dari sisi orang tua. Orang tua harus mampu mengawasi, memfasilitasi, menilai, dan menjadi guru bagi anak-anaknya di rumah. Padahal, latar belakang sosial pendidikan tiap orang tua berbeda-beda. Jika diambil hikmahnya, keadaan ini menumbuhkan hubungan kedekatan anak dan orang tua. Saat di rumah, anak juga akhirnya bisa mempelajari banyak hal, berbagi informasi, dan tugas masalah domestik (memasak, mencuci, menyetrika, menyapu, dll.).
Permasalahan muncul pada keluarga yang kurang mampu memberikan pendampingan dan pengawasan kepada anak-anaknya. Misalnya saja anak banyak menghabiskan waktunya untuk bermain game online, keluyuran, bermain tanpa batasan, dan kegiatan lain di luar rumah yang tentu saja bertentangan dengan protokol pencegahan Covid-19. Oleh karena itu, jadwal pelajaran yang sistematis, penugasan, pemantauan, dan pengawasan harus dilakukan secara bersama-sama oleh sekolah, guru, dan orang tua.
Bagaimana dengan santri yang sekaligus pelajar? Tentunya kita berharap kebijakan untuk kemaslahatan bersama. Bagaimana struktur kurikulum, bentuk tugas, dan lain-lainya tidak disamaratakan dengan siswa pada pendidikan reguler mengingat para santri juga tetap ditugasi dari pesantrennya.
Pada akhirnya, kita sama-sama berdoa agar pandemi ini segera usai. Kebijakan pemerintah untuk mengizinkan santri beberapa pondok pesantren untuk kembali ke pesantren tentu sebuah kebijakan yang patut kita apresiasi. Tentunya, para pengelola pun harus memastikan bahwa keseluruhannya telah memenuhi standar protokol kesehatan, mulai dari teknis kedatangan, penerimaan, pengecekan, isolasi, hingga pembiasaan hidup bersih beserta ketersediaan segala kelengkapan pendukungnya. Insyaallah, Allah SWT meridloi langkah kita semua untuk kemajuan pendidikan dan peradaban Islam di Indonesia.