Dikaji, Fikih dan Ekologi Tambang

503 kali dibaca

Tambang, menambang, dan pertambangan merupakan kegiatan eksplorasi alam yang akan bersinggungan dengan ekologi. Dalam Islam, proses pertambangan memang tidak dibatasi, sejauh proses tersebut memberikan efek kemanfaatan bagi orang banyak. Namun, tidak boleh berlogika hanya sebatas jalbul masholih (memperoleh manfaat). Karena itu, sesuai kaidah fikih, dar’ul mafasid (menolak mudharat) harus dikedepankan.

Hal tersebut mengemuka dalam halakah bertema “Menimbang Tambang Perspektif Fiqih dan Sosial-Ekologi” yang dilaksanakan di Aula Mini Universitas Annuqayah Sumenep, Madura, Jawa Timur. Halakah ini terselenggara berkat kerja sama Yayasan Sataretanan Sumenep Berdaya dan Forum Nahdliyin Hijau (FNH) Sumenep.

Advertisements

Halakah atau diskusi ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi terhadap proses pertambangan serta dampaknya. Melalui kajian fikih dan sosial-ekologi, diharapkan bahwa pertambangan yang akhir-akhir ini viral akan dipahami sebagai bentuk maslahah alarro’iyah (bermanfaat buat orang bayak; rakyat). Namun, jika yang terjadi sebaliknya, ekploitasi alam harus ditinggalkan.

Halakah dihadiri empat pembicara yang dikenal sebagai aktivis dan pemerhati ekologi. Mereka  adalah Muhammad Affan, Gusdurian Sumenep sekaligus jajaran pengasuh Pondok Pesantren (PP) Annuqayah Guluk-Guluk; KH A Dardiri Zubairi, pengasuh PP Nasy’atul Muta’allimin Gapura; Muhammad Shohibuddin, dosen Bogor Agricultural University; dan Eko Cahyono, peneliti di Sajogyo Institut.

KH Muhammad Sholahuddin atau yang biasa disapa Ra Mamak, pendiri Yayasan Sataretanan Sumenep Berdaya, dalam sambutannya mengatakan bahwa akhir-akhir ini masalah pertambangan menjadi isu utama. “Oleh karena itu harus ada logika keabsahan dari grass roots (masyarakat arus bawah) agar menjadi pertimbangan yang berkeadilan bagi bangsa,” demikian Ra Mamak menyampaikan dalam sambutannya.

Masih menurut Ra Mamak, bahwa halakah kali ini sangat penting karena merupakan bagian dari pengelolaan bangsa. Pertambangan tidak lepas dari masalah ekologi. Eksplorasi bumi yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Tidak mudah, tetapi harus tetap diupayakan agar kebumian tetap pada karakternya; hijau.

Sementara itu, Eko Cahyono menyampaikan presentasi dengan judul “Oligarki Rezim Keruk (Tambang) dan Penciptaan Multi Krisis Agraria di Indonesia.” Menurut alumni Komisi Pemberantasan Korupsi ini, “Terciptanya multikrisis agraria karena adanya persekongkolan antara pejabat dan pelaku tambang.”

Masih menurut Eko Cahyono, melalui sebuah tanya retoris, apakah kelimpahan alam di Indonesia merupakan rahmat atau bencana? Tentu dalam hal ini bagaimana individu memandang hal tersebut. Tetapi yang pasti, bahwa kelimpahan sumber daya alam (SDA) harus diolah untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat.

“Potret wajah masyarakat di sekitar tambang sangat pilu, ngenes, dan memprihatinkan,” Eko Cahyono meyakinkan bahwa pertambangan tidak memberikan kebahagiaan kepada rakyat. Oleh karena itu harus ada upaya untuk membangun paradigma ketambangan yang pasti akan melahirkan ketimpangan dan kerusakan.

Moh Shohibuddin, dosen Bogor Agricultural University, mengatakan, bahwa konsesi eksplorasi tambang memiliki maslahah dan mafsadat. Ada untung dan ruginya. Namun, menurutnya, kerusakan yang ditimbulkan selalu lebih besar dari manfaatnya. Oleh karena itu, maka jauh lebih baik jika pertambangan dihentikan di Indonesia.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa SDA dapat menjadi anugerah. Tetapi akan menjadi bencana, malapetaka, jika SDA tersebut dikelola dengan teknis melahirkan bencana lain. Menurutnya, SDA secara zatnya tidak haram. Tetapi, akan menjadi haram jika pengelolaannya berdampak buruk terhadap sosial ekologi.

Senada dengan para nara sumber, KH A Dardiri Zubairi juga menekankan bahwa eksplorasi pertambangan akan berdampak buruk bagi sosial ekologi. Oleh karena itu perlu adanya pemikiran berulang terhadap organisasi masyarakat yang akan melakukan kegiatan pertambangan. Bukan saja tentang masalah manfaat dari tambang, tetapi banyak hal negatif yang akan lahir dari eksplorasi pertambangan. “Dari kerusakan alam, hilangnya nilai-nilai kearifan lokal, diskresi antarsesama, dan lain sebagainya,” ujarnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan