Komplek santri putra Pondok Pesantren Nibrosul ‘Ulum tengah diliputi kehebohan. Hal ini dipicu oleh apa yang menimpa Mudrikah. Santri kelas ibtida’ itu menderita demam setelah mencuci baju di wangan atau saluran air yang berada di belakang komplek asrama.
Kabar sakitnya Mudrikah dan apa yang diduga sebagai penyebabnya tersebar setelah Arsyad, teman sebangku Mudrikah mengabarkannya di kelas ngaji malam. Kang Mahmud yang malam itu mengampu mata pelajaran Nahu di kelas Mudrikah hanya bisa mengangguk-angguk ketika mendengarkan apa yang dipaparkan Arsyad. Tanpa dikomando, teman-teman sekelas Mudrikah menyebarkan penuturan spekulatif tersebut. Tuku jere adol ndean.
Kabar sakitnya Mudrikah menyebar begitu cepat bak api melahap klaras. Hanya dalam hitungan jam, hampir seluruh penghuni komplek putra tahu. Pelbagai pendapat mengenai sakitnya Mudrikah muncul bak jamur di musim hujan.
Di tongkrongan Mudrikah sendiri seseorang berspekulasi bahwa Mudrikah sakit demam karena rindu rumah, homesick. Pendapat ini masuk akal mengingat Mudrikah adalah santri baru yang kerap mengeluh tak kerasan di pondok. Hal ini dipicu oleh barang-barang pribadinya yang sering hilang.
Di circle santri kelas akhir, beredar pendapat bahwa Mudrikah sakit karena ketemper atau diganggu makhluk halus penunggu wangan di belakang asrama. Daerah sekitar wangan memang terkesan ngrengkem. Letaknya terpencil karena berada di ujung desa. Sinar matahari juga tak sepenuhnya menyinari area di sekitar aliran wangan karena banyak pohon rindang tumbuh di kanan-kiri.
Namun, karena harga tanah di situ murah, beberapa warga desa memutuskan untuk membuat blumbang, sejenis kolam ikan tradisional, di situ. Para pengrajin gula kelapa juga tak mau kalah berinvestasi di sana. Mereka membeli tanah di sekitar wangan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Mereka memanfaatkan sari pohon kelapa atau badheg sebagai bahan utama pembuatan gula kelapa. Para pemanen sari kelapa dan pengelola blumbang inilah yang kadang lewat di sekitar wangan. Itupun terjadi di siang hari. Di kala sore, apalagi malam, area sekitar wangan praktis sangat sepi.
Para pengurus komplek tak ketinggalan dalam membahas sakitnya Mudrikah. Mereka yang telah lama menghuni pondok tak mau kalah dalam berteori apa yang membuat Mudrikah jatuh sakit.
“Saya rasa, saya tahu apa yang menyebabkan santri baru itu sakit. Kita lupa untuk mengumumkan peraturan ini kepada santri baru. Kasihan, dia,” ucap Kang Amad membuka obrolan di kantor pengurus.
“Kenapa tuh, Kang? Saya akan segera memerintahkan bagian kemanan untuk mengumumkannya,” respons Basri dengan ekspresi wajah yang begitu serius.
Kang Amad adalah salah satu santri paling senior yang masih tinggal di pondok. Ia juga diketahui dekat dengan keluarga pengasuh karena pernah menjadi abdi dalem. Basri malam itu merasa beruntung karena akan mendapat informasi dari ring 1 mengenai topik yang tengah in ini.
Sholeh dan Husen yang dari tadi sibuk merekapitulasi data santri yang sakit seketika berhenti. Mereka langsung memindahkan kursi mereka ke dekat Basri dan Kang Amad. Mereka tak ingin ketinggalan untuk menyimak informasi terkini dan terakurat dari Kang Amad, sumber A1!
“Saya teringat dawuh Abah Kholid dulu sewaktu saya masih santri baru,” sambung Kang Amad dengan nada yang terdengar begitu serius.
“Dawuh apa, Kang? Apa ada hubungannya dengan apa yang dialami Mudrikah?” cecar Sholeh. Ia tak kuat didera rasa penasaran yang membuncah.
“Kurang lebih begitu,” jawab Kang Amad pendek. Jawabannya yang singkat menambah rasa penasaran tiga adik kelasnya itu.
“Sebelum wafat dan kepemimpinannya dilanjutkan Abah Toha, Abah Kholid ngendhika bahwa seluruh santri Nibrosul ‘Ulum dilarang mencuci baju dan mandi di wangan belakang komplek kita ini,” tutur Kang Amad.
“Bukankah larangan tersebut datang dari pengurus, Kang?” tanya Basri karena penasaran. Ia terlihat lebih bisa menguasai rasa penasarannya daripada Sholeh.
“Tidak. Itu peraturan yang langsung diumumkan oleh Abah Kholid,” jawab Kang Amad.
“Oh, ya. Saya juga baru ingat peraturan ini. Jujur saja, saya juga baru tahu kalau larangan tersebut berasal dari Al-Maghfur-lah,” respons Sholeh.
“Jangan-jangan santri baru itu kualat karena tidak mematuhi dawuh Abah Kholid,” sergah Husen yang sedari tadi diam. Ia tak kuasa lagi menahan diri untuk tidak berkomentar.
“Nah, itu,” sahut Kang Amad sambil menganggukkan kepala tanda setuju.
“Tapi, saya sendiri tak tahu menahu alasan pelarangan tersebut,” lanjut Kang Ahmad. Ekspresinya kini menunjukkan kebingungan dan keraguan.
“Mungkin Abah Kholid paham bahwa dedemit perkayangan akan marah besar jika tempat persemayamannya diganggu. Di situ kan ngrengkem, Kang! Angker!” sahut Sholeh. Intonasi suaranya terdengar begitu meyakinkan.
“Assalamu’alaikum…” ucap seseorang dari arah pintu masuk kantor. Suaranya yang berwibawa langsung bisa dikenali oleh semua yang ada di dalam kantor.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Kang Amad, Basri, Sholeh, dan Husen serempak. Mereka langsung berdiri dan menghambur ke arah sosok paro baya yang uluk salam tadi. Mereka mengantre untuk bersalaman dengan lelaki tersebut. Ia yang datang adalah Abah Toha.
“Permisi, Mad. Saya mau tanya, apakah kamu tahu siapa santri yang katanya sakit demam selepas mencuci baju di wangan belakang pondok?” tanya Abah Toha pada Kang Amad.
Kang Amad yang tak tahu nama santri yang dimaksud dan di mana kamarnya hanya bisa menatap Husein dan Sholeh. Tatapannya seakan berarti, “tolong!”
“Mudrikah Zakaria, Bah,” jawab Sholeh dengan sopan.
“Kamar Bukhara,” tambah Husein.
“Terima kasih. Saya akan ke sana untuk menjenguknya.” tukas Abah Toha singkat.
“Mari saya antar, Bah,” tawar Kang Amad.
“Terima kasih, Mad” jawab Abah Toha.
“Wassalamu’alaikum,” pamit Abah Toha dan Kang Amad.
Setelah menjawab salam Abah Toha dan Kang Amad, tiga pengurus komplek putra yang tinggal, saling pandang. Meski tak satu katapun muncul dari mulut, mereka punya pikiran yang sama. Mereka begitu yakin apa yang mereka bicarakan sebelum Abah Toha datang adalah suatu kebenaran.
Kamar Bukhara sama sekali tak siap dengan kedatangan Abah Toha. Sesaat sebelum pengasuh Nibrosul ‘Ulum itu uluk salam, banyak penghuninya yang tengah bertelanjang dada. Mereka berpencar di sudut-sudut kamar. Sebagian besar sedang khusyuk mengobrol. Beberapa sedang asyik membaca novel. Sebagian kecil sedang mendiskusikan materi pelajaran yang diajarkan di madrasah diniyah tadi.
Yang pertama akan menyambut kedatangan Abah Toha adalah galon air yang tersungkur. Sisa air di dalamnya tumpah dan menimbulkan genangan kecil. Kasur lantai tumpang tindih tak karuan di tengah. Hanya kasur Mudrikah yang tergelar. Pemiliknya berbaring di atasnya. Ia hanya diam meski terjaga. Matanya menatap langit-langit. Pandangannya tampak kosong. Teman dekatnya, Ilyas, duduk di sampingnya. Ilyas tengah asik mengisi teka-teki silang yang ia dapat dari bungkus nasi uduk, menu makan malamnya tadi.
Situasi panik sejenak mendera penghuni Kamar Bukhara kala Abah Toha masuk. Ucapan salamnya seakan menjadi tiupan sangka kala Israfil yang mengalutkan. Mereka yang bertelanjang dada langsung kocar-kacir mencari baju. Setelah menemukan baju, mereka langsung berbaris rapi untuk bersalaman dengan Abah Toha. Mudrikah berusaha berdiri untuk ikut bersalaman juga, namun dengan isyarat tangan, Abah Toha mencegahnya.
“Bagaimana kondisimu, Nak?” tanya Abah Toha.
“Baik, Bah. Alhamdulillah. Sudah mendingan,” jawab Mudrikah lirih.
“Maaf, Bah,” tambah Mudrikah. Kali ini suaranya terdengar lebih keras.
“Maaf untuk apa, Nak?”
***
Masjid Manba’utstsaqafah dipadati santri Nibrosul ‘Ulum pagi itu. Mereka menjalanankan rutinitas tahlilan setiap Jumat pagi dengan khusyuk. Beberapa santri terkantuk-kantuk setelah semalam begadang menikmati akhir pekan, termasuk Mudrikah. Mudrikah begadang hingga jam tiga untuk membaca novel yang ia pinjam dari tetangga kamar. Karena pinjamannya jatuh tempo pada Jumat siang, ia memutuskan untuk begadang demi menamatkan novel rilisan terbaru itu.
Ia ikut mengangguk-angguk ketika bacaan tahlil dirapalkan oleh santri seisi masjid, namun dengan mata terpejam. Ia tak kuasa membuka kelopak matanya yang terasa begitu berat. Ajaibnya, matanya mendadak segar kala Abah Toha merapal doa sapu jagat sebagai bacaan pamungkas tahlil.
Matanya boleh saja langsung siap siaga, tetapi tidak dengan kakinya. Kakinya kram karena Mudrikah tidur dengan posisi bersila. Mudrikah meluruskan kakinya dan bersantai sejenak. Setelah beberapa saat, kakinya pulih.
Ia langsung tancap gas pulang ke komplek dan berganti baju. Setelah itu, ia buru-buru pergi ke belakang kamar. Ia mengambil sebuah ember bekas cat kiloan. Ember tersebut sarat akan baju kotor. Ada baju seragam sekolah, beberapa kain sarung, selimut, dan celana dalam.
Setelah memastikan baju kotornya lengkap dan semua alat cuci terbawa, ia langsung pergi ke tempat pencucian baju yang terletak di dekat kamar mandi. Tempat itu berupa bak air panjang yang di kanan-kirinya terdapat sebidang tanah yang dikeramik.
Kendati telah buru-buru pulang dari masjid selepas tahlilan, nyatanya Mudrikah tidak mendapatkan tempat untuk mencuci. Tempat pencucian baju telah penuh sesak dipadati santri. Di belakang dan kanan-kiri santri yang sedang mencuci juga sudah terparkir banyak ember yang sarat akan baju kotor. Ember-ember tersebut adalah perwakilan pemiliknya yang sedang mengantre tempat untuk mencuci.
“Masa aku harus mengantre sebelum Subuh, sih?!” gerutu Mudrikah di samping kamar mandi.
Ia kesal bukan main karena mendapati antrean panjang untuk mencuci baju. Ia juga menyesal karena tidak mencicil untuk mencuci baju kotornya setiap hari. Padahal ia sudah tahu betul bahwa hari Jumat yang merupakan hari libur adalah waktu favorit bagi santri untuk mencuci. Namun, ia masih nekat mencuci pada hari tersebut.
Ia mengantre dengan pikiran yang gondok dan mata yang perih. Ia kurang tidur tadi malam. Keadaan juga diperparah dengan perutnya yang kosong melompong. Mudrikah yang sudah senewen, meninggalkan antrean dan berjalan menyusuri koridor kamar mandi yang panjang. Ia tak tahu apa yang hendak ia perbuat.
Tak terasa, ia telah selesai menyusuri koridor kamar mandi dan sampai di area jemuran. Jemuran pagi itu masih kosong karena para santri masih sibuk mencuci baju-baju kotor hasil tabungan mereka selama seminggu.
Pemandangan di samping jemuran begitu indah. Ada jalan setapak yang menurun. Di kanan-kirinya terdapat rumpun bambu yang begitu lebat. Jalan tersebut terlihat seperti terowongan berwarna hijau.
Setelah beberapa bulan mondok, Mudrikah baru menyadari adanya jalan setapak itu. Pemandangan ini biasa tertutupi oleh jemuran yang penuh sesak. Mudrikah yang penasaran menyusuri jalan tapak tersebut. Semakin disusuri, jalan semakin menurun. Jalan setapak berganti menjadi anak tangga terbuat dari tanah yang diselimuti lumut. Suasana di dalamnya temaram namun menyejukkan.
Setelah menuruni puluhan anak tangga, Mudrikah menemui jembatan kecil yang terbuat dari batang pohon kelapa. Di bawahnya terdapat wangan yang dialiri air yang begitu jernih. Dasar wangan yang dangkal terlihat dengan jelas. Di sebalah kiri-kanan aliran wangan, terdapat beberapa batu besar. Meski matahari sudah mulai terik, keadaan di sekitar wangan tak terasa panas. Banyak pohon berdaun rindang yang tumbuh di tepi wangan.
Tanpa pikir panjang, Mudrikah langsung naik lagi ke atas dan mengambil embernya yang sarat akan baju kotor. Ia kembali ke wangan dan mencuci di sana dengan nyaman. Ia juga mandi di air wangan yang begitu segar.
***
“Tidak apa-apa, Nak. Itu bukan kesalahan yang fatal. Tapi jangan diulangi lagi,” jawab Abah Toha disertai seulas senyum. Ia tampak bak seorang bapak yang melihat anak kecilnya terjatuh saat belajar berjalan.
“Tapi, gara-gara itu, saya sakit begini, Bah. Pasti itu kesalahan besar. Kata kakang-kakang pengurus saya kualat karena melanggar larangan Abah Kholid. Mohon maaf, Bah. Saya tidak tahu,” jawab Mudrikah lirih. Di setiap kata yang terucap, terasa nada penyesalan yang mendalam.
“Orang yang belum tahu berarti belum mukallaf, belum dibebani larangan dan perintah,” hibur Abah Toha.
“Atau mungkin saya ketemper penghuni wangan, Bah? Saya telah lancang mengganggu kerajaannya,” tutur Mudrikah. Kali ini wajahnya terbersit rasa takut. Keringat dingin bercucuran dari dahinya.
“He-he-he…,” Abah Toha hanya terkekeh.
“Saya takut, Bah,” timpal Mudrikah.
“Jadi, begini. Kamu sakit bukan karena jin atau apa. Sekarang, saya tanya, apakah di malam sebelum mencuci di wangan, Kamu begadang, Nak?” ucap Abah Toha.
”Iya, Bah. Saya lembur untuk membaca novel,” jawab Mudrikah sambil tersenyum kecut.
“Nah itu, kamu masuk angin karena mencuci dan mandi di wangan setelah begadang. Kamu kemasukan angin, bukan kemasukan roh halus,” jelas Abah Toha sambil menahan tawa.
Kang Amad yang duduk di belakang Abah Toha ikut mengangguk-angguk. Sejak awal mereka menyimak dengan seksama dialog antara Mudrikah dan Abah Toha.
Mendengar apa yang dikatakan Abah Toha, Mudrikah hanya menggaruk-garuk rambut meski tak gatal. Ia malu karena ketahuan begadang hanya untuk membaca novel.
“Punten, Bah. Maaf saya lancang. Saya izin bertanya,” ujar Kang Amad tiba-tiba.
Abah Toha yang awalnya membelakangi Kang Amad, berbalik arah.
“Silakan,” jawab singkat Abah Toha.
“Apakah benar Almaghfurlah Abah Kholid melarang santri Nibrosul ‘Ulum mencuci baju dan mandi di lebak sana?” tanya Kang Amad.
“Ini yang saya ingin sampaikan. Abah memang melarang santri untuk mandi atau mencuci di wangan lebak sana. Alasannya bukan karena di sana ada dedemit atau apa, tapi karena air wangan mengalir ke blumbang-blumbang warga. Jika air wangan tercemari sabun, ikan-ikan blumbang akan mati,” jelas Abah Toha.
*Satu dari Tiga Cerpen Pilihan Lomba Penulisan Ekologi Kaum Santri.
Ilustrasi gambar: I Ni Ar(t)chive.