Harus diakui, sikap dan prosedur-prosedur sekular adalah sebuah kenyataan penting dari realitas politik di dunia Muslim kontemporer. Kerja-kerja aktual lembaga-lembaga pemerintahan di seluruh negara Muslim adalah sekular baik itu di Republik Islam Pakistan yang menyatakan diri sebagai islami, Republik Turki yang menegaskan sebagai model negara berpenduduk Muslim tapi sekular, ataupun Republik Indonesia yang tidak jelas identitasnya, entah islami ataukah sekular. Boleh dikata, dunia Islam di mana-mana mengalami proses sekularisasi baik disadari ataupun tidak.
Menghadapi modernisasi politik d inegara-negara Muslim, maka Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat pada akhirnya tidak menjadi faktor yang signifikan dalam sistem ketatanegaraan. Konsekuensinya, dalam proses politik pun, misalnya pengambilan kebijakan politik, Islam tidak lagi menjadi pertimbangan pokok. Syariat Islam berfungsi signifikan hanya dalam soal keyakinan (sistem kepercayaan atau aqidah dan ibadah) yang sifatnya privat. Kalau diberi tempat dalam masalah hukum pun, syariat hanya berfungsi dalam masalah kekeluargaan.
Dalam kerangka inilah, timbul perdebatan di kalangan pemikir-pemikir Islam, tentang Islam sebagai cita ideal (Islam normatif) dengan Islam sebagaimana kenyataan (Islam historis). Walau bagaimanapun, Islam tetap dipandang syumul dan yang terbaik. Keinginan dan harapan-harapan untuk mengembalikan kejayaan Islam atas bangsa Barat selalu ada. Gerakan-gerakan pun selalu muncul, sebagai venture, tidak pernah berhenti berkembang.
Tidaklah aneh kalau kemudian muncul tuntutan-tuntutan untuk kembali kepada sistem politik yang dianggap Islam par-excellence atau setidak-tidaknya lebih islami dibandingkan dengan ideologi politik sekular.
Menjelang akhir abad ke-20, dunia Islam diramaikan dengan isu revitalisasi politik Islam. Di Persia-Iran, misalnya, gerakan revolusioner yang dipimpin Imam Khomaeni berhasil menumbangkan rezim sekular Shah Reza Pahlevi pada 1979. Keberhasilan ini yang dijadikan simbol perjuangan umat Islam mendorong perubahan sistem politik di negeri tersebut, dan memiliki pengaruh kuat di negeri-negeri Islam lainnya. Gerakan Imam Khomaeni ini disebut oleh Daniel Bell sebagai salah satu model “a revolt againts modernism” dari “the dessiccation of older ideology”.
Penyebaran gerakan al-Ikhwan al-Muslimun (IM), sebuah organisasi jama’ah yang didirikan oleh Hassan Al-Bana di Mesir pada 1928, juga turut mensponsori tumbuhnya gerakan revitalisasi politik Islam. Gerakan ini dalam waktu cepat berkembang, tidak hanya di Mesir tapi juga negara-negara Muslim lainnya. Tentunya, dengan berbagai modifikasi gerakan sesuai aspek kultural masing-masing negeri. Namun, ide dan doktrin politik tetap berasal dari elit-elit sentral IM, terutama Hassan al-Bana dan Sayyid Qutb. Muncullah model Hamas di Palestina ataupun National Islamic Front (NIF) di Sudan, dengan tokohnya Hasan al-Turabi. Keduanya berhasil meraih simpati massa Islam dalam proses politik di negaranya.
Di Malaysia, revitalisasi politik Islam muncul seiring dengan berdirinya berbagai gerakan dakwah. Setidak-tidaknya ada tiga kelompok besar yang masing-masing mempunyai model gerakan dan titik-tekan tersendiri; Darul Arqam (sebelum diberangus pemerintah), ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), serta PAS (Partai Islam se-Malaysia). Ada yang menekankan ketaatan individu pada syariah, ada juga yang menuntut pembentukan pemberlakuan syariat Islam dalam negara.
Di Indonesia gelombang revivalisme Islam muncul setidak-tidaknya sejak dekade 1970-an atau 1980-an. Dekade ini dipenuhi membanjirnya buku-buku terjemahan dari Timur Tengah, seperti karya Ali Syariati, Murtdha Muthahhari, Bani Shadr, atau Imam Khomaeni dari Iran. Sementara dari warna IM Mesir banyak diterjemahkan buku-buku karya Hassan Al-Bana, Sayyid Qutb, atau Said Hawa. Buku-buku karya tokoh dari Pakistan juga mendapat perhatian, seperti karya Maududi atau Muhammad Iqbal.
Keberhasilan dan gagasan-gagasan mereka sangat menarik perhatian kaum muda terdidik di Indonesia. Pasca-Reformasi 1998 muncul berbagai kelompok yang disebut Bachtiar Efendy sebagai Islam militan dengan variasi gerakannya masing-masing. Dari mulai partai politik baru semacam PBB (Partai Bulan Bintang sebagai pewaris Masyumi) atau PKS (model IM-nya Indonesia), sampai Ormas baru, misalnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), ataupun Front Pembela Islam (FPI). Oleh Martin van Bruinessen, fenomena ini disebutnya sebagai conservative turn.
Mengapa bisa timbul fenomena begitu di dunia Islam? Setidak-tidaknya ada tiga faktor utama yang mendukung tumbuh-menjamurnya gerakan revitalisasi Islam. Pertama, pemaksaan diri untuk mengikuti pola dan sistem sekular Barat ternyata tidak lantas membuat negara-negara Muslim yang mengadopsinya itu berkembang maju menyamai negara-negara Barat. Kondisi ekonomi politik justru semakin memprihatinkan. Jurang yang dalam terbentuk antara blok Utara (negara-negara Barat) yang semakin maju makmur dengan blok Selatan (termasuk di dalamnya negara-negara Muslim) yang mayoritas tertinggal.
Kedua, perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat akibat modernisasi justru berpengaruh disruptif bagi masyarakat-masyarakat Muslim. Di dunia Islam modern, sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman, yang ada hanyalah perkembangan institusi-institusi sekular-modern yang menggelisahkan dan sebagian besarnya steril dan tidak produktif, lantaran ketiadaan integrasi dengan lingkungan tradisi (turath) Islam. Kekuatan-kekuatan baru yang tengah dilahirkan oleh pendidikan, industri, dan pembangunan berskala luas, telah tampil dengan isu-isu yang tidak lagi berkisar pada hukum (Islam) yang paling awal yang sama sekali telah digantikan.
Oleh karena itu, negara-negara Muslim yang termodernkan sekaligus tersekularkan secara tanpa disadari itu mengalami ketidakberdayaan secara politis, idiologis, maupun intelektulitas untuk mengantisipasi dampak perubahan sosial yang terjadi. Negara sebagai instrumen paling vital untuk mengarahkan perubahan-perubahan di tengah masyarakat justru tidak mempunyai daya kontrol terhadap perubahan sosial. Akibatnya sangat jelas, perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Muslim pada umumnya justru negatif, karena berdampak disruptif.
Kedua faktor ini baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan munculnya faktor yang ketiga; yaitu krisis legitimasi di dalam sistem-sistem politik yang berorientasi sekular. Bagaimana tidak, dalam benak masyarakat Muslim yang terdidik, tidak ada nilai lebih yang bisa diambil oleh negara-negara Muslim dengan mengekor Barat. Kondisi negara-negara Muslim tetap lemah dihadapan Barat. Di lain pihak, timbul kebutuhan ideologis untuk mengontrol perubahan yang terjadi pada masyarakat Muslim.
Melihat realitas politik di dunia Islam modern seperti itu, membuat para intelektual muda Muslim justru melihat genuine Islam sebagai alternatif yang terbaik. Setidak-tidaknya, simbol-simbol kultural Islam menawarkan suatu kerangka indigenous bagi artikulasi kandungan politik (tried and true ideological weapon) berhadapan dengan kekuatan non-Muslim. Muncullah wacana-wacana mengenai pentingnya membangun al-Niḍam al–Islam, yakni tatanan sosial-politik dengan dasar sistem Islam.
Lebih-lebih dengan kesempurnaan dan kemandirian yang terdapat dalam ajaran Islam, maka sebagaimana ditegaskan kembali oleh pemikir-modern Muhammad Asad, “its adherents can not live a truly Islamic life morely by holding Islamic beliefs”. Kehidupan keislaman yang sesungguhnya tidak dapat terjadi hanya dengan adanya keimanan. Ia harus melangkah jauh lebih dari itu.
Oleh karena itu, kata Asad, “It is only within the framework of independent ideological state built on the principles of Islam and endowed with all the machinery of government, legislation and law-enforcement that the ideals of Islam can be brought to practical fruition”. Bahwa, hanya dengan kerangka kerja ideologi negara yang independen yang mampu membangun prinsip-prinsip Islam dan dengan dibantu seluruh mesin pemerintah, legislasi, serta kekuatan hukum, maka idealitas syariah Islam dapat dipraktikkan di tengah masyarakat. Wallahu A’lam…