Dalam tradisi keilmuan Islam, terdapat aturan tertentu agar suatu ilmu itu dipandang valid atau benar, di antaranya adalah “sanad”.
Islam sangat memandang penting sanad keilmuan. Bahkan para ulama nyaris mengidentikkan sanad sebagai agama itu sendiri. Misalnya, Ibnu Sirrin berkata, “Sesungguhnya sanad itu adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu.”
Penegasan Ibnu Sirrin itu menggambarkan betapa pentingnya sanad dalam keilmuan Islam.Bukan hanya Ibnu Sirrin, banyak ulama menganggap sanad sesuatu sanad penting dalam keilmuan Islam.
Misalnya, Imam Syafi’i Rodiyallohu anhu berkata, “Tiada ilmu tanpa sanad.” Lalu Ibnul Mubarak mengatakan, “Sanad merupakan bagian dari agama. Kalaulah tidak ada sanad, maka pasti akan berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang mau (dikatakannya).” Bahkan, Imam Abu Yazid al-Bustami lebih keras lagi, “Barangsiapa yang tidak mempunyai guru dalam bimbingan agamanya, maka setanlah gurunya.”
Hingga kini, ulama masih melestarikan tradisi tersebyt. Syeikh Athiyah Abdul Maujud, salah satu ulama Al-Azhar, misalnya, mengatakan, “Ketauhilah wahai anakku, sesungguhnya sekadar membaca buku tidak akan mencetak seorang ulama. Akan tetapi, kalau kamu ingin menjadi seorang ulama, seharusnya kamu duduk membaca buku bersama para guru (masyayikh).”
Pandangan para ulama lintas zaman tersebut, mulai dari ulama salaf hingga khalaf, menegaskan tradisi sanad dalam proses pencarian ilmu. Hal tersebut juga mewakili bahwasanya Islam sangat selektif dalam memelihara keotentikan ajaranya.
Dilema Santri Tahfiz
Setelah mengetahui begitu pentingnya Sanad, sekarang timbul permasalahan, bagaimana dengan santri penghafal Al-Qur-an atau santri tahfiz? Pasti, yang dimaksud di sini adalah sanad keilmuan, bukan sanad Al-Qur’an.
Jika kita melihat kondisi di lapangan, memang kebanyakan pondok pesantren yang berbasis tahfiz Al-Qur’an tidak menyediakan –atau sangat minim sekali- yang memfasilitasi pengajaran keilmuan Islam (kitab kuning). Alasannya, ditakutkan bisa mengganggu kegiatan santri menghafal.
Alasan tersebut saya kira bisa dipahami. Saya pribadi sebagai pelaku mengakui bahwa tidak mudah proses yang ditempuh seseoang untuk menyalin Al-Qur’an sebanyak tiga puluh juz ke dalam otak dan hatinya. Ditambah ada sebuah prinsip terlebih bagi ulama Maghrib (Maroko) yang disampaikan salah satunya oleh Syeikh Sa’id Al-Kamali. Dikatakannya, “Laa tasytaghil bisyain, qabla kitaabillaah.” Artinya, “Jangan kamu sibuk dengan (ilmu) apapun sebelum mengkhatamkan kitab Allah (Al-Qur-an). Hal itu karena dipandang tidak sopan jika mendahulukan ilmu yang lain sebelum selesai dengan Al-Qur’an.
Namun, kurang tepat jika prinsip tersebut diterapkan di sebagian pondok pondok pesantren di Indonesia, terutama jika yang mondok adalah santri mahasiswa atau mahasantri. Terlebih mahasiswa jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, yang mata kuliahnya banyak mengurai kitab-kitab kuning. Di satu sisi mereka harus menghafal Al-Qur’an, dan di sisi lain harus memperbanyak referensi kitab-kitab induk yang memerlukan keahlian khusus untuk menggalinya. Jika dipandang dengan perspektif urgensi sanad, mereka harus memiliki guru yang membimbingnya mengarungi keilmuan tersebut.
Solusi Realistis
Berangkat dari permasalahan dan keresahan santri tahfiz tersebut, bagaimanakah solusi yang realistis agar tidak menyalahi tradisi keilmuan yang dijaga ketat sejak dulu oleh para ulama?
Pertama, harus dipahami bahwa proses pengambilan sanad keilmuan itu tidak sesederhana yang dibayangkan, yakni dengan mengaji kepada guru atau sebatas hadir di majelis ilmu lalu otomatis mendapat sanad.
KH Bahaudin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam salah satu cermahnya pernah menceritakan bagaimana Imam Syafi’i dulu ketika hendak belajar kepada Imam Malik. Waktu itu Imam syafi’i sudah khatam kitab Al-Muwattha karya Imam Malik. Begitu juga Imam Nawawi ketika hendak mengaji kepada Imam Haromain. Saat itu Imam Nawawi sudah mengkhatamkan sebanyak tiga ratus kali kitab yang akan dikajinya bersama sang guru.
“Begitulah cara belajar ulama-ulama dulu, mengaji hanya untuk konfirmasi saja. Jadi, santri jangan mengaji dulu sebelum belajar,” kata Gus Baha.
Penjelasan tersebut dapat kita jadikan sebagai solusi bagi mereka belum berkesempatan ber-talaqqi degan guru. Yakni, gunakan sela-sela waktu meghafal untuk mempelajari sendiri kitab-kitab. Lalu nanti setelah ada kesempatan talaqqi, kita tinggal mengkonfirmasi ilmu yang kita dapat kepada guru.
Meskipun demikian, diperlukan alat yang bisa membantu santri agar bisa mempelajari kitab-kitab tersebut. Misalnya ilmu nahu saraf. Ini sekaligus kritik bagi pondok pesantren tahfiz yang tidak mengajarkan santri-santrinya tentang gramatikal bahasa Arab. Jika dirasa dapat menganggu konsentrasi atau menyita waktu, saya sarankan untuk mengambil metode yang dimudahkan sekarang berkembang seperti metode Amtsilati atau Al-Miftah lil Ilum-nya Sidogiri. Dengan wasilah tersebut anak-anak kecil saja sudah pintar membaca kitab.
Kedua, seiring berkembangnya zaman, kita sekarang seakan-akan mempunyai perpustakaan besar dalam satu kotak kecil yaitu smartphone. Dengan memanfaatkan tekolongi, kita bisa belajar kepada ulama yang kredibel, dan biasanya sudah dibuat playlist tentang kajian kitab-kitab tertentu.
Hanya, harus diperhatikan bahwa kedua solusi ini sifatnya “sementara” sehingga persentase kebenaran ilmunya mungkin sebesar lima puluh persen, yang lima puluh persennya lagi diperoleh nanti ketika sudah bertemu guru.
Terakhir, dengan memperbanyak membaca selawat. Syeikh Ali jum’ah menyampaikan, “Barangsiapa yang belum mempunyai syeikh (guru pembimbing), maka hendaknya ia memperbanyak membaca seolawat kepada Nabi, dengan sighot yang ia sukai minimal sebanyak seribu kali dalam sehari. Nanti jika ia salah, Rasulullah akan membenarkannya.”
Tambahan dari penulis, bisa lengkapi dengan membaca selawat Badawy Kubro Sidi Syeikh Ahmad Al-Badawy atau juga dengan Dalailul Khairat.
Demikian solusi yang dapat penulis tawarkan. Kiranya solusi tersebut tidak bersfat pilihan. Sangat mudah dipraktikan secara bersamaan. Wallahu ta’ala a’la wa a’lam.
Wa shollallahu ‘alaa nabiyyina muhammadin kullamaa dzakarohudz dzakiruuna wa ghafala ‘an dzikrihil ghofiluun. Yaa rabbi sholii ‘ala muhammad waftah minal khoiri kulla mughlaq.