Manusia modern sudah mulai kehilangan kreaktivitas dan otentisitas diri di tengah gemerlap digitalisasi kehidupan. Kedua unsur tersebut menjadi pondasi sastra yang sementara dikucilkan dari persaingan ekonomi dan eksistensi. Budaya bersastra tidak lagi menjadi konsepsi menarik bagi masyarakat umum yang dimanjakan dengan modernitas.
Padahal dengan jalan estetika, sastra menginspirasi kemajuan sebuah bangsa. Dengan sastra manusia diajarkan untuk lebih memanusiakan manusia. Ketika semua berebut eksistensi di dunia maya, konflik (perpecahan) menjadi keniscayaan di sebuah negara yang menganut asas demokrasi. Kemudian sastra hadir mengutuhkan dan menemukan partikularitas dirinya yang hilang terporakporandakan oleh logika ruang-waktu.
Indonesia mempunyai potensi sastra yang kuat. Serat, kidung, kakawin, tembang, dan kitab-kitab kuno tersebar di berbagai daerah berdasarkan latar belakang masing-masing. Beberapa di antaranya terasip rapi di perpustakaan dan menjadi buku-buku populer. Selainnya diajarkan turun-temurun yang kemudian disebut budaya atau adat istiadat.
Melalui karya sastra, Indonesia sempat disegani bangsa lain. Tokoh-tokoh founding fathers Indonesia juga penikmat sastra dengan kecakapan literasi yang baik. Indonesia sejatinya punya modal kultural dari dunia sastra. Namun tidak memiliki kejelasan posisi terhadap sastra yang memunculkan dialektika dengan mengondisikan negara berjalan tanpa sastra.
Karya sastra telah berakumulasi menjadi warisan kesusastraan yang membatasi dimensi zaman sekarang. Kesusastraan masa lampau dikubur beriringan dengan euforia inovasi teknologi. Di Indonesia, sastra belum dikondisikan berfungsi sebagai dasar tumbuhnya kreativitas dan otentisitas masyarakat sebagai modal berlangsungnya inovasi ekonomi dan industri.
Sastra masih dianggap sebagai bidang yang abstrak untuk dijelaskan dan diimplementasikan dalam bidang pendidikan maupun sosial-budaya. Sastra masih dianggap sebagai karya sastra yang mati dengan asumsi bentuk fiksi. Keluasan nilai sastra mengalami degradasi makna tentang tulisan imajiner penulis. Dampaknya adalah tidak berjalannya sistem kesastraan yang menarik masyarakat untuk serius mendalami sastra sebagai jalan menunju kemerdekaan berpikir dan berkreaktivitas.
Masyarakat sudah mulai banyak terkontaminasi pengaruh asing tentang sebuah keimanan terhadap sains. Menyingkirkan sastra sebagai pedoman beragama dan berkehidupan. Padahal banyak bentuk sastra domestik yang punya akurasi kebenaran lebih tinggi daripada sains modern. Namun doktrinasi sains sebagai pemegang keilmuan absolut melemahkan keimanan dan sikap manusia terhadap sastra yang dikenal adiluhung.
Krisis Literasi
Kasusastraan mempunyai penjelasan yang cukup menarik jika ditelisik dari unsur dan nilai yang dianutnya. Kasusastraan pada sufiks ke- dan -an menandakan tentang keluasan bahasan sastra. Sedangkan “su” bermakna baik, indah, dan bermanfaat. Sedangkan sastra berarti kata, tulisan, dan ilmu. Sehingga kasustraan adalah imu kehidupan yang mempelajari keseluruhan aspek tentang keindahan.
Unsur pembentuk sastra mulai dari kata menjadi tulisan dan menjadi ilmu menjelaskan bahwa bersastra adalah kegiatan berliterasi. Di Indonesia, rasio bacaan dari total jumlah penduduk adalah 0,09. Menandakan bahwa setiap 1 buku hanya dibaca oleh 90 orang per tahunnya.
Di Korea, Jepang, dan China, setiap orang rata-rata membaca 20 buku baru per tahunnya. Saat ini, Indonesia menduduki posisi terendah soal urusan membaca. Standar internasional menyatakan bangsa yang ideal adalah membaca 3 buku baru untuk setiap orang per tahunnya. (perpustakaan.kemendagri.go.id)
Rendahnya literasi disebabkan beberapa faktor antara lain; (1) belum berkembangnya budaya menulis dan membaca di Indonesia. Masyarakat lebih dominan menyukai budaya lisan. (2) kegagalan pemerintah untuk membuat program minat baca masyarakat. (3) belum begitu paham manfaat dari membaca.
Padahal dengan berliterasi, masyarakat secara otomatis akan membangkitkan dunia sastra suatu bangsa. Dampak positifnya adalah berkurangnya konflik dan meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Sastra bukan hanya karya yang bisa dirunut kebenarannya. Kebenaran sastra tidak bersifat kebenaran faktual, melainkan kebenaran kemanusiaan. Menekankan pada dimensi personal dan sosial. Sehingga pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan secara fundamental mengandung gagasan estetika yang menimbulkan perasaan tenang, indah, dan bahagia.
Sastra tetap akan menjadi dunia reka. Refleksi bias atau bayangan dari kenyataan yang terwakilinya. Sastra adalah pendustaan yang mendustakan dirinya sendiri. Ketika sastra dipaksa mendesakkan dunia rekaan pada pihak lain, maka sastra akan berhenti menjadi seni. Maka sastra secara sistem mengajarkan nilai demokrasi tentang kebebasan namun sadar batas.
Manusia selalu berusaha berjalan menuju “cahaya” dengan metode sastra masing-masing. Sebagai penikmat sastra, manusia seharusnya mampu untuk menghargai karya sastra orang lain, meski dari sudut pandang setiap orang berbeda-beda dalam menilai kualitas sebuah karya. Manusia yang terjebak pada bias-bias kebenaran akan kesulitan menerima dan diterima oleh Tuhan dan makhluk yang meliputinya, termasuk di dalamnya adalah manusia dan alam semesta.
Aktualisasi sastra adalah budaya berliterasi. Ketika sudah masuk periode krisis literasi, maka sastra sebagai sistem dan karya akan mati. Karya sastra hanya akan bisa dinikmati bagi mereka yang doyan literasi. Membaca adalah memahami sastra dan menulis adalah menciptakan karya sastra. Mari berliterasi untuk bersama mengubah peradaban. Salam!