DI BAWAH KUBAH LANGIT
Di bawah kubah langit,
kulihat wajah-wajah lusuh
tubuh menggigil
menyulam doa dalam lapar.
Mereka tak meminta surga,
hanya sebutir nasi
yang tak jatuh dari langit.

Dan aku,
yang tak pandai membaca derita,
sibuk memoles sajadah,
agar stempel ahli ibadah
terlihat jelas di keningku,
sekalipun entah Tuhan betah bertamu
di ruang hatiku, atau tidak
Damparalit, 2025.
PASAR HUKUM
di pasar hukum itu,
suara tawar-menawar
mengejutkan malaikat yang lewat.
daging dan dusta dijual satu paket,
sementara hati ditimbang pakai timbangan rusak.
Tuhan,
apa Engkau masih menatap kami
yang menyebut-Mu di bibir
namun lupa wujud kasih di tangan?
Damparalit, 2025.
SURAT DARI GANG SEMPIT
Aku menulis puisi ini
dari gang sempit yang lupa dituliskan peta,
di mana bau got lebih hafal nama Tuhan
ketimbang pejabat yang selalu cuci tangan.
Di sini, anak-anak bermain lumpur
dengan gembira,
karena surga bagi mereka
adalah tawa ibu
yang tak boleh digadai
dengan apa saja
Damparalit, 2025.
DOA TANPA TOA
Aku ingin berdoa
tanpa pengeras suara,
tanpa sorban yang dicuci wangi
untuk wibawa palsu.
Doa yang lahir dari perut lapar,
dari peluh tukang becak,
dari sunyi petani yang tak pernah tanya
kenapa langit semakin mahal.
Damparalit, 2025.
MUSIM-MUSIM TAK BERTUAN
Musim berganti,
dan luka tetap menetap.
Orang-orang mengganti topengnya
setiap khutbah berubah tema.
Dan aku berdiri sendiri,
memeluk sunyi yang tak pernah bohong,
karena hanya dalam diam
kutemukan Tuhan berjalan kaki,
mencari tempat yang belum dikapling janji.
Damparalit, 2025.
sumber ilustrasi: Ig qorifadhilah.