Pondok pesantren menjadi sebuah etalase penyebaran agama Islam yang rahmatan lil alamin di Indonesia. Terbukti, hingga saat ini diterima dan hidup berdampingan melebur dengan masyarakat bersimbiosis mutualisme. Di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur ada salah satu pondok tua yang berdiri sejak 1790. Artinya, pondok ini sudah berusia 233 tahun.
Adalah Pondok Pesantren Hidayatut Thulab (PPHT), yang kerap masyarakat sebut Pondok Tengah —tak jauh di sebelah utara dan selatan juga ada pondok salafiyah. Pondok Tengah tak jauh dari Jalan Nasional Tulungagung-Trenggalek, sekaligus dekat dengan peradaban Sendang Kamulyan.
D situlah Prasasti Kamulan diketemukan. Hingga akhirnya menjadi sumber otentik dalam penentuan Hari Jadi Trenggalek. Sempat diletakkan di Museum Kabupaten Tulungagung, namun telah kembali ke Trenggalek. Dulu, Desa Kamulan di Kecamatan Durenan ini termasuk tanah perdikan.
Salah satu Pengasuh PPHM Pondok Tengah, KH Bahauddin Nafi’i, menjelaskan, sesuai dengan sejarahnya, pada masa itu, di tengah hutan belantara ada sebuah Kerajaan Sendang Kamulyan Trenggalek yang sudah tidak bertakhta lagi. Hanya tersisa puing-puing bangunan. Di situ bermukim seorang aparatur Kerajaan Mataram yang melarikan diri dari anak istri serta kedudukannya.
“Beliau adalah kiai sufistik Mbah Kiai Ahmad Yunus, putra Mbah Bagus Mukmin yang diambil menantu oleh Raja Mataram,” ungkap KH Bahauddin Nafi’i saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu.
Menurutnya, Kiai Yunus sering disebut Sunan Wilis. Beliau membuat bangunan yang cukup sederhana, hanya beratapkan Ilalang atau alang-alang. Selanjutnya, untuk mengaitkan bangunan kayu menggunakan sabut aren ijuk. Setelah bangunan tersebut jadi digunakan sebagai pusat penyebarluasan ajaran Islam.
Pada salah satu kayu bangunan terpatri angka 1790, sehingga digunakan sebagai tonggak sejarah bahwa Pondok Tengah Kamuluan berdiri beberapa abad silam. Dengan keuletan dan kesabaran Kiai Yunus dalam berjuang, satu demi satu hutan yang dikenal angker menjadi nyaman menjadi permukiman penduduk, dan diberi nama Desa Kamulan.
Setelah keberadaannya diketahui pihak Kerajaan Mataram, istri beliau menyusul dan dapat hidup dalam satu keluarga lagi di Kamulyan. Di tengah hutan belantara tidak sedikit binatang buas. Akan tetapi oleh Kiai Yunus binatang buas dijadikan seperti tetangga hidup berdampingan.
Selang beberapa tahun, datanglah seseorang yang mengaku sebagai pelarian dari Kerajaan Mataram. Orang tersebut menyamar dengan nama Mbah Dho Ali. Setelah beberapa hari, Mbah Dho Ali tinggal bersama Mbah Ahmad Yunus.
Mbah Dho Ali menceritakan bahwa sebenarnya dia bernama Mbah Ali Murtadho, salah satu prajurit Pangeran Diponegoro yang berkedudukan di Banyumas, Jawa Tengah. Pasca Pangeran Diponegoro diajak berunding oleh Belanda di Magelang dan beliau ditangkap oleh Belanda akibat tipu muslihat pada 1830, Mbah Dho Melarikan ke arah timur, sehingga bertemu dengan Mbah Ahmad Yunus di Desa Kamulan
Ternyata Mbah Ahmad Yunus adalah pamannya sendiri. Akhirnya beliau diambil menantu oleh Mbah Ahmad Yunus dan dinikahkan dengan Nyai Basyiroh, putri beliau yang terakhir dari lima bersaudara.
Roda pesantren berjalan di atas kepemimpinan beliau berdua. Akan tetapi, tidak begitu lama, setelah Mbah Ali Murtadho dijadikan menantu, Mbah Ahmad Yunus dipanggil oleh Allah SWT. Sehingga, pucuk pimpinan Pesantren dipegang oleh Mbah Kyai Ali Murtadho. Di masa kepemimpinannya, dilakukan perbaikan masjid.
Saat itu, satu santri ada yang sempat menggores batu dengan telapak tangan dan menjadi bukti sejarah sampai sekarang. Setelah Kyai Ali Murtadho wafat, kepemimpinan dilanjutkan putranya yang bernama KH Ikhsan.
Pada masa periode ini Pondok Tengah ini pernah dijadikan markas sementara tentara Hizbullah pada tahun 1948 dan 1949. Pada waktu itulah Pondok Tengah menjadi sasaran pengeboman tentara sekutu tepatnya pada 10 November 1948. Satunya lagi menyasar dan meledak di pasar Kamulan, sedangkan yang tiga jatuh di area pesantren tanpa ledakan. Hingga sekarang salah satu di antaranya diabadikan sebagai bel masuk dan pulang sekolah serta kegiatan lainnya.
Setelah itu, kepemimpinan Pondok dilanjutkan oleh KH M. Mahmud Ihsan, putra KH Ihsan dibantu adik iparnya yang bernama Kiai Nafi, yang populer dengan sebutan Kiai Jumadi. Pada masa ini Pondok Tengah pernah dijadikan pusat pembinaan dan pengembangan kader kader Pemuda Ansor untuk ikut serta menumpas pemberontakan G30S/PKI.
Lalu, pada 12 Juli 1996 atau 26 Safar 1417 H, KH Mahmud Ihsan wafat. Maka kepemimpinan langsung dilanjutkan oleh putranya, yaitu KH Masrukhin Mahmud bersama Kiai Haji Toha Munawar, putera pertama H Sidiq atau kakak ipar KH Muhammad Mahmud Ihsan dan Kiai Fakhrudin Nafi putra kedua Kiai Jumadi.
Pada 2010 adalah tahun yang meninggalkan banyak catatan dan goresan kisah pada lempeng sejarah keberadaan Pondok Tengah. KH Fakhrudin Nafi berpulang. Tujuh tahun berikutnya, KH Toha Munawwar juga menghadap ke hadirat-Nya.
Salah satu pengasuh Pondok Tengah, KH Bahauddin Nafi’i, mengungkapkan, model pesantren salafiyah masih tetap dipegang oleh dzurriyah. Hal tersebut sesuai pesan dari KH Mahmud Ihsan, tipe model pendidikan dipertahankan seperti ini.
“Meski ada era baru, era baru hanya sekedar pelengkap kesalafiyahannya tetap dipertahankan sesuai wasiat dari Kiai Ihsan,” paparnya.
Gus Baha’, sapaan akrab KH Bahauddin Nafi’i, pernah mewawancara alumni yang sudah sepuh dan sekarang sudah meninggal, seperti Kiai Yunus dan Kiai Ali Murtadho. Menurut kedua alumni tersebut, ngaji di pondok pesantren ini sifatnya jiping (ngaji kuping) seperti kuliah. Pada saat itu jarang sekali ngaji kitab, karena masyarakatnya masih umum.
“Kemudian setelah kemerdekaan baru mulai ada tertib pengajian kitab kuning sampai sekarang. Sebelum tahun 1950-an kemudian ketika meletus G30S/PKI, masih banyak saksi yang memberikan dan menyaksikan sendiri bahwa pondok sini menjadi pusat informasi dari teman-teman Ansor khususnya di lingkup Durenan dan Kamulan,” bebernya.
Kiai yang juga salah satu Rais Syuriah di MWCNU Durenan ini mengaku, Pondok Tengah memiliki Gedung Panjang. Karena kemungkinan satu-satunya pada masa itu, sehingga menjadi pusat pelatihan ansor GP Ansor sekitar tahun 1970-an.
Artinya, Gus Baha’ menjelaskan, memang pondok ini sejak dulu sudah terlibat aktif dalam kegiatan ke-NU-an. Mulai dari pembahasan secara resmi, maupun pengkaderan untuk menumpas pemberontakan pasca-kemerdekaan.
Pondok Tertua
Pondok Tengah yang saat ini memiliki 1150-an santri madrasah dan 425 santri mukim masuk deretan 11 besar pondok tertua versi PBNU. Berikut Pondok Pesantren yang masuk tertua adalah : Pondok Pesantren Al-Kahfi Somolangu, Kebumen (1475), Pondok Pesantren Mojosari, Loceret, Nganjuk (1710), Pondok Pesantren Babakan, Cirebon (1715). Disusul Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan (1718), Pondok Pesantren Jamsaren, Solo (1750). Lalu, Pondok Pesantren Buntet, Cirebon (1750), Pondok Pesantren Qomaruddin, Bungah, Gresik (1753).
Selanjutnya, Pondok Pesantren Miftahul Huda, Gading, Malang (1768), Pondok Pesantren Balerante, Cirebon (1779). Berlanjut pondok tertua adalah Pondok Pesantren Al-Hamdaniyah, Siwalan Panji, Sidoarjo (1787), serta Pondok Pesantren Hidayatut Thullab, Durenan, Trenggalek (1790).
“Perasaan kami begitu masuk nominasi 11 besar yang dirilis PBNU ini merasa minder dan malu. Sebab, menurut saya pribadi belum pantas untuk dinominasikan,” ungkap Gus Baha’.
Saat ini, kegiatab pengajian juga diperuntukkan masyarakat umum, yaitu ngaji setiap Selapan dengan Pengajian Kitab Al-Hikam pada hari Ahad Wage. Pengajian ini diampu KH Bahrul Munir, sedangkan kuliah subuh yang dirintis oleh KH Toha sekarang diteruskan oleh Kiai Bilal dan Ustaz Tauhid.
“Kegiatan pengajian di sini seperti umumnya pondok-pondok yang lain. Ada Tafsir Jalalain, Bukhari Muslim, Ihya’ Ulumuddin, pelajaran fikih seperti umumnya pondok pesantren salafiyah lainnya,” terangnya.
Menurut Gus Baha, pondok ini membuat organisasi alumni dengan tujuan supaya semua alumni bertanggung jawab dengan keberadaan pondok pesantren. Baik di Sumatera, Kalimantan, dan daerah seterusnya. “Kami berharap pondok pesantren khususnya salafiyah ini bisa eksis lagi,” ujarnya.
Sedangkan, alumni sendiri tersebar sebagian besar dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian kecil Jawa Barat. Kemudian dari luar Jawa berasal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan ada yang dari Ambon. “Sekalipun itu mayoritas santri dari Jawa, namun alumni yang paling banyak adalah Sumatera,” tandasnya.
Sebagai informasi, santri di Pondok Tengah sebanyak 80 persen merupakan bekerja di sekitar pondok. Lantaran, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, santri berupaya mencari penghidupan sendiri. Ditambah lagi, di Desa Kamulan adalah sentra industri genteng yang cukup terkenal. Bekerja paruh waktu, baru siang hari kembali ke pondok untuk mengaji.
Informasinya sangat lengkap. Mantap!
Pondok dekat rumah Pak. Jadi lebih gampang menggali data, sekaligus bertemu meminta informasi langsung ke dzurriyahnya.