Jambi memiliki sejumlah ulama yang menulis banyak karya. Di antaranya adalah Guru Abdul Majid Ghaffar yang wafat sekitar 1985. Guru Majid merupakan salah satu ulama Jambi yang paling produkif dalam menulis buku. Di sepanjang hidupnya, ia telah menyelesaikan setidaknya empat belas karya.
Satu karya dari Guru Majid yang cukup menarik adalah Bahjat al-Hidayat. Ditulis sekitar 1934, karya ini berisi tentang penolakan ulama Jambi terhadap gerakan Pembaruan Islam yang mulai santer pada paro pertama abad ke-20. Di dalam karyanya yang lain, Al-Jawahir As-Saniyyat yang ditulis pada 1940, Guru Majid juga sedikit menyinggung persoalan serupa. Sebelum Bahjat al-Hidayat dan Al-Jawahir As-Saniyyat, sebuah karya serupa dari guru yang lebih senior juga diterbitkan, yaitu Nur al-Hidayat karya Guru Hasan Anang Yahya pada 1929.
Mengapa ulama Jambi cukup perhatian terhadap masalah tersebut, sedangan gerakan Muhammadiyah baru muncul pada dekade 1940-an? Tulisan ini mencoba untuk menyelam cerita di balik konsentrasi pemikiran ulama Jambi pada paro awal abad ke-20.
Kejayaan Pendidikan Islam di Jambi
Dekade 1920-an tidak hanya menjadi era kedigdayaan ekonomi masyarakat Jambi karena lonjakan harga karet internasional, melainkan juga era keemasan pendidikan Islam di Jambi. Sepanjang sejarah Islam di Jambi, tidak ada generasi yang menghasilkan lebih banyak ulama dibandingkan era 1920-an hingga 1930-an. Tidak heran jika disebut bahwa era ini adalah keemasannya sejarah pendidikan Islam di Jambi.
Semuanya bermula dari kembalinya sejumlah ulama Jambi dari kelananya di Timur Tengah, terutama Mekkah pada sepanjang 1900-an awal. Mereka adalah Syekh Abdul Majid Jambi (berbeda dengan Guru Abdul Majid Ghaffar), Hoofd Penghulu Abdussamad, Guru Ibrahim, Guru Utsman bin Ali, Guru Ahmad bin Abdul Syakur, dan Kemas Muhammad Saleh.
Selain Syekh Abdul Majid Jambi yang wafat sekitar 1911, para ulama tersebut mendirikan organisasi kemasyarakatan yang bernama Tsamaratul Insan sekitar 1913 dan diresmikan pada 1915. Tsamaratul Insan bergerak di bidang kematian, ekonomi, dan pendidikan. Oleh karenanya, pada 1915 didirikanlah empat madrasah Tsamaratul Insan di empat kampung, tiga di Seberang Kota Jambi (seberang sungai) dan satu di Kota Jambi.
Keempat madrasah tersebut adalah Nurul Islam di Tanjung Pasir, Nurul Iman di Ulu Gedong, Sa’adatuddarain di Tahtul Yaman yang berada di Seberang Kota Jambi, dan Al-Jauharain di Sungai Asam, Kota Jambi.
Madrasah-madrasah tersebut langsung menjadi tujuan belajar para santri dari seluruh penjuru Jambi dan sekitarnya. Salah satu jebolannya yang ternama adalah Sayid Muhsin al-Musawa yang merupakan pendiri Madrasah Darul Ulum di Mekkah. Sayid Mushin belajar di Sa’adatuddarain sekitar tahun 1919 hingga 1921.
Memasuki dekade 1920-an, madrasah mencapai puncak dari perkembangan empat madrasah tersebut. Melalui jaringan ulama yang terbentuk selama belajar di Mekkah, para ulama Jambi berhasil mengundang sejumlah ulama besar untuk berkunjung bahkan mengajar di Jambi.
Mulanya adalah kedatangan Syekh Mahmud Bukhara pada 1918. Lalu, disusul oleh ulama lainnya seperti Syekh ‘Arif Asy-Syami, Sayid Abdullah Dahlan, Sayid Hasan Yamani, Sayid Muhammad Ali Al-Maliki, Syekh Utsman Sarawak, Syekh Muhammad Al-Ahdali, Syekh Sa’id Yamani, dan Tengku Muhammad bin Mahmud Zuhdi Al-Fatani.
Tidak diketahui dengan pasti apakah semuanya menetap lama di Jambi. Yang pasti, beberapa nama tercatat mengajar bahkan wafat di Jambi, seperti Syekh Mahmud Bukhari yang menjadi mudir Nurul Iman dari 1922 hingga 1927, Syekh ‘Arif Asy-Syami yang juga mengajar beberapa waktu di Nurul Iman.
Nama lainnya yang dipastikan mengajar beberapa waktu adalah Sayid Abdullah Dahlan yang mengajar di Sa’adatuddarain dan Tengku Muhammad bin Mahmud Zuhdi yang mengajar di Sa’adatuddarain hingga wafat pada 1957.
Dengan kualitas guru seperti itu, maka sangat wajar jika madrasah-madrasah tersebut menghasilkan murid yang berkualitas pula. Di antaranya adalah Guru Abdul Majid Ghaffar dan Guru Hasan Anang Yahya.
Ombak Pembaruan dari Tetangga
Jika berbicara ide pembaruan Islam di Sumatera, maka pembicaraan tidak akan jauh dari tanah Minangkabau. Ide pembaruan memasuki Minangkabau bahkan jauh sebelum gembar-gembor pembaruan memasuki kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan. Gerakan Paderi yang terjadi pada abad ke-19 telah menandai dimulainya gerakan pembaruan Islam di tanah ini.
Gerakan pembaruan Islam terus berlanjut hingga memasuki abad ke-20 di mana tokoh seperti Haji Rasul dan Hamka muncul. Sekolah berbasis Islam pembaruan, Sumatra Thawalib didirikan pada 1910 oleh Ibrahim Musa di Parabek, Sumatera Barat. Setahun kemudian, majalah Al-Munir yang terinspirasi dari Al-Manar di Mesir didirikan di Padang oleh Abdullah Ahmad.
Pada saat yang sama di Palembang, sebagaimana diceritakan oleh Jeroen Peeter, telah terjadi gerakan yang sama. Para anak muda yang baru kembali dari haji membawa pemikiran-pemikiran pembaruan yang diprakarsai oleh tokoh seperti Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan kawan-kawan.
Salah satunya adalah munculnya sekolah Syamsul Huda pada 1927. Sekolah ini didirikan oleh seorang yang baru pulang dari haji, Haji Husin Alim bin Umar di Kampung 5 Ulu, Kota Palembang. Anak-anak dari kampung sekitar seperti 3,4, dan 5 Ulu belajar di sini.
Selain mengajar anak-anak, Haji Husin juga membuka kursus tablig guna menyebarkan ajaran pembaruan yang diterimannya selama belajar di Mekkah. Aktivitas ini segera mengundang percekcokan dengan kaum tradisional yang telah lama mapan di Palembang.
Diapit oleh dua gelombang besar ide pembaruan, posisi Jambi mau tak mau terkena riak-riuh yang terjadi pada dua tetangganya tersebut. Pada sekitar 1929, Guru Hasan menemukan seseorang dari Pulau Pandan, Kota Jambi memegang sebuah risalah yang menentang tradisi talqin dan ritual kematian kaum tradisional lainnya. Gerakan sekolah Syamsul Huda juga telah didengar di Jambi sebagaimana dijelaskan pada pendahuluan Bahjat Al-Hidayat.
Riak dari Minangkabau muncul dari seseorang yang bernama Ilyas. Ilyas dipercaya seorang dai Muhammadiyah asal Sumatera Barat. Ia datang ke Seberang Kota Jambi guna memperoleh izin mengajar di salah satu madrasah (setidaknya begitulah cerita yang beredar).
Namun, kedatangan Ilyas tidak sekadar ingin mengajar, ia membawa misi pembaruan khas Muhammadiyah ke Jambi. Dimulai dari mengubah haluan empat madrasah di Jambi. Perdebatan pun terjadi antara Ilyas dan para guru di Jambi. Perdebatan akhirnya dimenangkan oleh para guru. Namun, perisitwa tersebut begitu membekas di hati sehingga menjadi perhatian para guru muda, khususnya Guru Majid Ghaffar.
Demikianlah akhirnya, sebagai respons atas gerakan tersebut muncullah dua karya yang menentang ide pembaruan Islam di Jambi tersebut. Dua karya tersebut, meskipun tidak begitu banyak dibaca di Jambi, telah memperlihatkan pemikiran ulama Jambi. Mengingat betapa besarnya pengaruh empat madrasah tersebut dalam kehidupan beragama masyarakat Jambi, maka tidak heran pula jika Islam tradisional di Jambi begitu kuat dan mapan hingga kini.