Kitab berjudul Eccapan Tarjuman berbahasa Madura Pegon karya KH Abdul Hamid Itsbat (W. 1931 M) dan KH Abdul Majid ini dihimpun oleh KH Hamid Baqir, generasi ketiga Pondok Pesantren al-Hamidy Banyuanyar, Pamekasan, Madura.
Kitab ini berawal dari ceceran tulisan atas keterangan KH Abdul Hamid Itsbat dalam pengajian, yang kemudian dibukukan pertama kali pada tahun 1974 M (Karim, 2022: 55).
Dikatakan, bahwa kitab ini ditulis tanpa footnote atau rujukan, kecuali perihal rajah dari kitab al-Jawāhīr.
Imamuddin (2023: 32) menjelaskan, kitab ini merujuk pada aqidah Imām Asy’arī, fiqh Imām Syafi’ī, dan tajwid riwayat Imām Hafsh dan Imām ‘Asīm. Namun, Mohammad Izul Ridho (2022) mengatakan kitab ini juga merujuk pada Ummul Barāhīn karya al-Sanūsī, Kifāyat al-‘Awām karya al-Fudhālī dan kitab salaf lainnya.
Penulis sendiri menemukan rujukan pada Bidāyat al-Hidāyat karya al-Ghāzalī dan Sullām al-Taufīq karya Husayn al-Hādhramī (hal.69), Fath al-Bārī karya Ibn Hajar al-‘Asqalānī (hal. 86), ḥādīth dan al-Qur’ān (hal.87 & 99), dan barangkali masih banyak lagi jika ditelaah dengan teori interteks, terutama di bagian alaman dan doa di dalamnya.
Ridho juga menulis, jika kitab tersebut sebenarnya ada dua versi. Satu untuk umum, dan satu lagi khusus keluarga. Tarjūmān yang umum beredar dalam jumlah 210 halaman, merangkap uraian tentang aqidah ahlussunnah wal Jamaah, fikih ibadah, zakat, nikah dan faraid, akhlak dan tasawuf praktis, serta tajwid dalam 141 bab.
Dialektika dan Kritisisme Tarjūmān
Selain rutin dikaji masyarakat dan alumni, kajian ilmiah juga sering dilakukan. Mulai dari dimensi pendidikan, etika dan moral, tasawuf, hingga dialektikanya dengan kebudayaan Madura. Misalnya, dibahas Samheri (2023: 132), tentang respon KH Abdul Hamid Itsbat terkait kebiasaan mempertontonkan mempelai dalam resepsi pernikahan yang dijadikan lelucon. Ini akan relevan jika dilihat dari ludruk yang pada praktiknya kadang menjadikan orang lain sebagai bahan komedi.
Juga respons pada tradisi karapan sapi yang menurut pengarang itu tidak mengapa asal tujuannya mencari nafkah dan kepentingan akhirat, tidak riya’ atau kesenangan (Karim, 2022: 57).
Kalimat yang diakhiri kata “insyāa Allah” itu, lebih terlihat sebagai dialektika hukum daripada hukum syariat. Selain itu, juga ada pembahasan tentang rebo wekasan, ruddât, mengadu kuda dan merpati (hal. 50-51). Bahkan rokok, tunangan yang boncengan, hingga model rambut pun tidak luput dari sorotan pengarang (hal. 52-53, & 80).
Dimensi Mistis Tarjūmān
Kebenaran yang dihasilkan hati dikenal dengan supralogis atau pengetahuan mistik menurut Ahmad, termasuk dalam hal keyakinan (2004: 15). Sementara Zainuddin (2018: 35) menuliskan, bahwa Pesantren al-Hamidy Banyuanyar juga diwarnai dengan pengetahuan mistis, terutama pada masa kepemimpinan KH Hamid Baqir. Penulis juga melihat itu dalam kitab Tarjūmān.
Misalnya, dalam pembahasan rajah untuk keselamatan (hal. 91-92). Juga tentang jimat dan pantangan suami istri saat istri sedang hamil (hal. 107-108).
Bagi penulis, pantangan tidak mencaci dan membunuh hewan dengan sengaja yang juga masyhur dalam budaya Jawa sebenarnya bisa diterima akal. Sebab, selain hal demikian itu tidak menyalahi hukum tertentu, menjaga diri sebagai harapan agar anak yang dikandung lebih baik justru positif.
Terlebih upaya itu berlanjut sebagaimana juga dijelaskan dalam halaman tersebut. Konteksnya sama dengan bulan puasa atau hari-hari besar lain yang kita rayakan. Di mana kita tiba-tiba tambah religius, nasionalis, sayang ibu saat perayaan, yang di luar momen itu justru tidak. Sebab, hamil bagi pasangan suami istri juga momen penting.
Simpulan
Secara umum bagi penulis, dimensi tasawuf dalam kitab ini terasa lebih kental dari dimensi lainnya. Sebab, pengarang kerap memberi ulasan perspektif tasawuf, serta banyaknya amalan yang direkomendasikan.
Misalnya, saat usia kehamilan, suami istri dianjurkan merendah diri dan mendekat pada Allah (taḍarru’ dan taqarrub) (hal. 107). Atau saat menjelaskan buruknya orang dengki, pengarang juga menerangkan cara melihat keburukan yang tengah menimpa dengan menganggap itu sebagai tanda jika kita sedang ditinggikan derajatnya oleh Allah (hal. 47). Bahwa, siapa yang sengsara di dunia akan senang di akhirat jika dihadapi dengan kesabaran dan keikhlasan. Wa Allāhu a’lam.
Rujukan
Abdul Hamid Ithbat & Abdul Majid bin Hamid, Tarjuman (Pamekasan: PP. al-Hamidy,t.t.)
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James (Bandung: Rosdakarya, 2004)
Imamuddin & Abdul Karim, “Sumbangan dan Peranan KH. Abdul Hamid Dalam Kearifan Tempatan: Kajian Terhadap Kitab Tarjuman”, al-Bashirah, Vol. 12, No 1, (2022)
Imamuddin, “Solat Sunat Dalam Kitab Tarjuman Karangan KH. Abdul Hamid dan KH. Abdul Majid bin KH. Abdul Hamid: Kajian Tek” (Tesis, di APIUM Malaya, 2016).
Mohammad Izul Ridho dalam “Kitab Tarjuman; Pedoman Santri dalam Bersosial”, kolom alumni bata-bata.net (29/04/2022)
Samheri & Ludfi, “The Review of Islamic Law in Showing off the Bride and Groom in Front of an Invitation Perspective of KH. Abdul Hamid bin Itsbat Banyuanyar in the Book of Tarjuman, Syura: Journal of Law, Vol. 1, No. 2, (2023)
Zainuddin Syarif, Dinamisasi Manajemen Pendidikan Pesantren: dari Tradisional Hingga Modern (Pamekasan: Duta Media, 2018)