Era antroposen merupakan periode baru dalam sejarah geologi yang ditandai dengan dominasi pengaruh manusia terhadap lingkungan. Tentu hal ini membawa tantangan besar bagi berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam konteks ini, ekologi pesantren menjadi tema penting untuk dipahami lebih dalam.
Mengingat bahwa pondok pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia, tidak hanya berfungsi sebagai pusat pembelajaran agama, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang signifikan. Penduduk pesantren —yang dalam hal ini adalah kiai dan santri— tentu sangat banyak mengetahui bahwa menjaga dan melestarikan berlangsungnya kehidupan di Bumi merupakan tugas utama yang diemban oleh manusia pada fitrahnya. Hal ini sebagaimana tersimpul dalam surat al-Rahman (55) ayat 7-9.
Kajian semacam itu tentu sangat familiar bagi mereka mengingat bahwa tafsir menjadi pembelajaran tersendiri di pesantren. Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tidak berbuah. Ungkapan tersebut menjadi pecut tersendiri bagi para santri untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka ketahui. Namun, seiring dengan kemajuan zaman dan perubahan lingkungan global, para santri menghadapi tantangan yang kompleks.
Keterpurukan yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan ketidakstabilan lingkungan mengancam keberlangsungan dan keseimbangan kehidupan di banyak komunitas, termasuk pesantren. Kesenjangan yang terjadi antara idealita dan fakta di lapangan sangat nampak dan memicu timbulnya beberapa kemungkinan. Kemungkinan berhasil menjaga keseimbangan lingkungan. Kemungkinan gagal. Dan beberapa kemungkinan lain.
Dari kemungkinan-kemungkinan tersebut kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan. Dengan latar keilmuan klasik dan menggunakan kitab kuning sebagai bahan ajarnya, apakah pesantren juga dapat memiliki peran penting dalam keseimbangan Bumi? Adakah bukti bahwa pesantren memang dapat memainkan perannya dalam masalah ekologi? Apakah pesantren dapat mengeluarkan manyarakat dari lingkaran api era antroposen?
Di tengah tekanan ini, konsep jihad —yang sering diartikan sebagai perjuangan dalam mencapai tujuan mulia— mendapatkan dimensi baru dalam konteks ekologi dan keberlanjutan. Kaum santri, sebagai kelompok yang hidup dan berkembang dalam struktur pesantren, turut merasakan dampak dari perubahan tersebut. Maka dalam hal ini, mereka juga harus berjihad untuk menegakkan ekologi. Jihad berbasis lingkungan ini juga menggambarkan upaya imigrasi kaum santri dari keterpurukan era antroposen, baik dalam konteks mobilitas fisik maupun perpindahan ide dan praktik.
Ekologi Pesantren dalam Idealita
Dulangan suara dalam mendukung ekologi semakin ditampakkan oleh pesantren dan beberapa lembaga pendidikan keagamaan lainnya. Masifnya berita, opini, bahkan puisi yang berisi kepedulian terhadap lingkungan dari kalangan pesantren menjadi bukti yang paling nampak dalam lingkar idealita. Tidak hanya dalam media online yang sering kita temui, media cetak juga menghiasi lembarannya dengan berbagai rubrik yang menampilkan pesantren dengan penegakan ekologinya.
Pengetahuan dan pengajaran perihal ekologi telah disematkan dari sejak dulu oleh para pengasuh pesantren. Kajian kitab kuning, seperti tafsir Al-Quran yang menjadi rutinan kegiatan santri, juga mengajarkan akan pentingnya menjaga lingkungan dan keberlangsungan hidup di muka bumi ini. Apa yang kita tahu dalam surat al-Rahman (55) ayat 7-9 tentang kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan merupakan bagian kecil dari kajian tersebut.
Tidak hanya dalam bentuk pengajian kitab, ceramah, kultum, dan kajian-kajian lainnya. Upaya menjaga lingkungan di pesantren dapat dilihat dari papan, baliho, dan kertas-kertas yang bertuliskan “Buanglah Sampah Pada Tempatnya”, “al-nadzafah min al-iman”, “al-nadzafah syathr al-iman”, dan berbagai kalimat lainnya. Upaya semacam hal tersebut –sekali lagi- adalah bagian kecil yang dilakukan oleh kaum sarungan dalam menjaga lingkungan sekitar.
Dalam lingkar idealita, orang-orang pesantren juga memberikan sumbangsih yang cukup jelas dan amat sangat membantu tumbuh-kembangnya ekologi di dunia pesantren. Bahkan, juga menyokong keberlangsungan dan kelestarian lingkungan masyarakat sekitar. Dalam hal ini, mereka menghadirkan semacam panduan, baik berbentuk buku atau konferensi dan pelatihan yang mendulang keberlangsungan ekologi. Upaya ini dilakukan hanya untuk menyematkan arti penting menjaga lingkungan.
Beberapa buku karya ulama pesantren nota bene memang berisi kritikan atas kerusakan Bumi yang disebabkan oleh ulah oknum atau perorangan. Akan tetapi, kritik yang mereka lakukan tidak hanya berpacu lurus sendiri dalam satu rel. Mereka juga menawarkan edukasi, sistem, dan tata cara kelola Bumi yang baik dan benar. Tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan kaum sarungan, karyakarya mereka juga menjadi bahan bacaan wajib bagi pegiat lingkungan dan dibedah di berbagai tempat.
Sebut saja karya K Dardiri Zubairi, pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin, Gapura, Sumenep, Jawa Timur. Buku dengan judul Politik Agraria Madura: Privatisasi, Marginalisasi, dan Perampasan Ruang Hidup terbitan tahun 2023 ini menjadi bukti kepedulian K Dardiri Zubairi tentang lingkungan, terutama isu-isu lingkungan di Pulau Madura.
Secara umum, buku yang berisi kumpulan esai ini mengkritik tuan-tuan kapitalis yang merengkuh sumber daya alam bumi Madura yang begitu kaya. Salah satu esai dengan judul “Tanah Malang di Desa Andulang” dalam buku ini menampilkan bagaimana tambak udang milik CV Madura Marina Lestari benar-benar menjadi momok tersendiri bagi masyarakat
sekitarnya. Kekhawatiran akan tercemarnya tanah-tanah masyarakat sebab limbah tambak yang ada di sekitarnya merupakan ketakutan paling menyeramkan yang akan merampas nasib mereka. Dan hal ini, sangat jarang diketahui oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab.
Dalam esainya yang berjudul “Cerita Pilu Petani Garam”, K Dardiri menampilkan Forum Sumenep Hijau yang digerakkan oleh para kiai untuk menjegal para penggerus sumber daya alam. Gerakan-gerakan dalam forum ini menjadi salah satu solusi dan upaya dalam mencegah aktivitas yang dapat mendatangkan kerusakan dan malapetaka alam. Forum beranggota lebih dari 40 kiai dan beberapa tokoh berpengaruh di Sumenep ini menyepakati bahwa segala bentuk penambangan apapun harus ditolak sebab berpotensi merusak lingkungan. Hasil kesepakatan ini tidak hanya selesai sampai di situ saja. Melainkan, juga mereka bawa ke DPRD dan bupati untuk ditindaklanjuti.
Dari buku K Dardiri ini, kita diajarkan untuk senantiasa memperhatikan lingkungan yang menjadi tempat kita tinggal. Barangkali kita hidup nyaman, namun tetangga sekitar sedang dalam kesulitan sebab masalah lingkungan. Kecuali itu, bersatu menolak eksploitasi juga dapat menjadi batu loncatan masyarakat dalam mencegah kerusakan lingkungan. Para kiai dengan Forum Sumenep Hijau-nya –sebagaimana yang dipaparkan K Dardiri- memberikan gambaran kepada kita bahwa pesantren juga dapat ikut andil dalam persoalan lingkungan di tengah masyarakat.
Jika K Dardiri Zubairi menampilkan potret lingkungan yang dirusak oleh orang luar, maka K M Faizi dengan bukunya Merusak Bumi dari Meja Makan menyuguhkan bentuk aktivitas perusakan lingkungan yang sering dilakukan oleh diri sendiri. Judul bukunya ini sangat jelas dan menegaskan bahwa salah satu hal yang dapat merusak bumi adalah gaya konsumsi masyarakat yang tidak lepas dari bahan-bahan yang dapat merusak lingkungan. Dalam persoalan makan, perut, dan meja makan, miliaran manusia menggunakan bahan plastik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ini. Sekali lagi, ini hanya dalam persoalan makan, belum lainnya. Dapat dibayangkan berapa sampah yang lahir dari setiap tangan.
Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Al-Furqan ini dengan tegas menyatakan bahwa gaya konsumsi semacam ini dapat merusak bumi. Langkah dalam mengentaskan masalah ini tentu harus dimulai dari diri sendiri. Sikap “Buanglah Sampah Pada Tempanya” tidaklah cukup. “Jangan Membuat Sampah!” baru luar biasa. Melatih diri dalam mendaur ulang sampah juga perlu dilakukan mengingat bahwa hidup tanpa sampah sangat sulit untuk dihindari. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk pencegahan, melainkan juga mengembangkan kreativitas diri dan memanfaatkan sampah menjadi sesuatu yang berharga.
Selain solusi tersebut, K M Faizi juga menawarkan tiga gerakan untuk meminimalisasi lahirnya sampah dari diri sendiri, yaitu; 1) tidak menggunakan barang yang sangat mudah menjadi sampah; 2) sampahmu tanggung jawabmu; dan 3) sampah kita adalah tanggung jawab bersama.
Jauh sebelum dua buku tersebut, KH M Ali Yafie dengan bukunya Merintis Fiqih Lingkungan Hidup memaparkan tentang relasi makhluk dan tanggung jawab manusia di dalamnya. Ditegaskan dalam bukunya ini bahwa isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan merupakan sebuah realitas modern yang tidak dapat dihindari. Pembahasan dalam bukunya ini dipetakan dalam empat bagian, yaitu 1) kerusakan lingkungan global; 2) kerusakan lingkungan di Indonesia; 3) pandangan fiqih tentang lingkungan; dan 4) pintu darurat sebagai solusi yang ditawarkan dalam mengatasi krisis lingkungan.
Kendati telah wafat, pengasuh Pondok Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad ini masih dikenal sebagai peletak dasar fikih lingkungan hidup di Indonesia. Dengan wawasan ekologisnya, beliau membahas dan menggali perihal lingkungan melalui pintu fikih yang kaya. Buku milik KH M Ali Yafie ini merupakan salah satu upaya yang beliau lakukan guna menyadarkan manusia dari perbuatan yang dapat merusak lingkungan serta menyadarkan mereka bahwa Bumi merupakan amanat dari Tuhan.
Tiga buku tersebut setidaknya menjadi contoh bentuk upaya orang-orang pesantren dalam melestarikan lingkungan. Buku yang mereka susun juga dapat dijadikan pedoman sehari-hari dalam mewujudkan alam asri yang diimpikan dan menjaganya dari kerusakan. Kita hanya tinggal memilih, buku mana yang kita butuhkan. Jika kita merasa masih belum bisa meminimalisasi sampah, maka kita dapat membaca karya K M Faizi. Jika mencari solusi atas kerusakan alam yang terjadi sebab oknum atau lainnya, maka karya KDardiri Zubairi layak kita baca. Atau kita bermaksud ingin membaca rambu-rambu menjaga lingkungan dengan baik, karya KH M Ali Yafie menjadi solusi.
Ekologi Pesantren dalam Realita
Kiprah nyata pesantren dalam merealisasikan keseimbangan lingkungan dan mendukung ekologi juga dapat kita saksikan dari berbagai kegiatan dan bermacam upaya yang dilakukan. Kendati pesantren identik dengan pembelajaran yang berbasis kitab kuning dengan segala kegiatannya yang padat, tidak menutup kemungkinan bahwa pesantren juga dapat ikut andil dalam dunia ekologi. Tidak jarang kita mendengar pesantren dengan kegiatan peduli lingkungan berupa pengelolaan sampah, penghijauan, pertanian, dan lain sebagainya. Selain sebagai bentuk peduli lingkungan, kegiatan ini juga lahir sebab kepedulian para kiai dan santri atas kerusakan alam yang terjadi.
Sebagai contoh, Pondok Pesantren Tebuireng dengan Bank Sampah Tebuireng (BST)nya yang memberikan banyak dampak positif terhadap pesantren dan lingkungan sekitarnya. Meskipun baru beroperasi secara mandiri pada tahun 2022, namun, BST ini tidak hanya menjadi muara pengelolaan sampah pesantren saja, sampah lingkungan sekitar juga dikelola di tempat ini. Semboyan “Ubah Sampah Menjadi Berkah” yang mereka genggam menjadi pemacu semangat pekerjanya dalam bergerak masif mengelola sampah secara terencana.
Pendirian BST ini memang bertujuan untuk mengolah sampah menjadi barang yang berharga, sehingga terdapat nilai pendidikan dan ekonomi di dalamnya. Kecuali itu, BST ini juga didirikan sebagai upaya yang dilakukan oleh pesantren untuk mewujudkan gaya hidup bersih dan mewariskan lingkungan sehat kepada penerus selanjutnya sehingga sampah yang mereka miliki tidak akan merusak bumi dan bahkan menjadi hasta karya sendiri yang begitu berharga.
Bukan hanya pesantren yang mendapatkan keuntungan dari adanya BST ini. Pimpinan BST juga mengajak masyarakat untuk memanfaatkan barang bekas dan diolah menjadi barang yang berharga. Selain itu, masyarakat juga diajak menjadi nasabah BST. Lapangan pekerjaan baru seperti pengepul, kerja sama dengan mitra penampung sampah serta pengelola sampah menjadi kesempatan dan peluang baru bagi masyarakat untuk mencari nafkah.
Tidak cukup pada hasta karya saja, BST juga mengelola sampah melalui waste to energy, di mana sampah diolah menjadi bahan bakar RDF (resufed derivel fuel) atau SRF (solid recovered fuel) yang dapat digunakan PLTU sebagai bahan bakar pencampur (coviring) batubara. Sehingga dari sini dapat dipastikan bahwa semua sampah benar-benar diolah menjadi bahan yang bermanfaat bagi lainnya. Dan dari pengolahan sampah ini, BST memiliki penghasilan kisaran Rp 10 juta hingga Rp 12 juta di setiap bulannya.
Pengolahan sampah terencana juga dilakukan oleh Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa yang mendirikan Laboratorium Sampah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jatian. Sama halnya dengan BST milik Pondok Pesantren Tebuireng, UPT Jatian juga mengolah sampah menjadi barang berharga dan berguna bagi masyarakat seperti kompos cair untuk tanaman, paving, dan lainnya.
Kendati baru didirikan pada tahun 2023 dan peralatan belum begitu memadai, sepak terjang UPT Jatian ini benar-benar memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Tidak berhenti sampai di situ saja, upaya diseminasi ekopesantren juga dilakukan oleh Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa dengan menggelar Musyawarah Ekopesantren yang diikuti oleh sekitar 50 orang yang mewakili pondok pesantren se-Madura pada Sabtu, 02 April 2024 M. Dengan mengangkat tema “Manajemen Pengelolaan Sampah di Pesantren”, Pengurus Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa mengajak semua kalangan di berbagai pesantren agar memiliki komitmen searah dalam mengentaskan masalah sampah yang selama ini dihadapi.
UPT Jatian ini juga memantik berbagai instansi pendidikan dan keagamaan untuk mengikuti jejaknya dalam melestarikan dan menjaga lingkungan. Banyak juga berbagai lembaga yang mendatangi UPT Jatian ini untuk belajar langsung cara pengolahan sampah dan sistemnya. Tidak hanya dari lembaga lokal, tempat pengolahan sampah ini juga kedatangan tamu dari Amerika dan Inggris yang tidak hanya bertujuan untuk penelitian saja, melainkan juga untuk belajar dan mengetahui tata kelola sampah di tempat ini.
Di samping UPT Jatian, ada juga Ekologi Lubangsa Putri dengan pertaniannya yang begitu mengasyikkan. Selain mengolah sampah, Ekologi Lubangsa Putri juga mengajak dan mengajarkan beberapa santri putri untuk bercocok tanam dengan baik. Perkebunan yang mereka garap beberapa kali telah membuahkan hasil. Tidak hanya dikonsumsi sendiri, hasil perkebunannya juga dibagikan ke seluruh komplek di Pondok Pesantren Annuqayah. Selain sayuran, mereka juga merawat tanaman bantuan bibit cemara. Tentu hal ini dalam rangka penghijauan dan menyelamatkan bumi dari kegersangan.
Pada tahun 2023, kolaborasi antara akademisi, pondok pesantren, desa, dan komunitas mengadakan program Pesantren Ekosistem Madani Atasi Sampah (Pesantren EMAS) yang diselenggarakan di kampus UNU Yogyakarta. Tujuan diadakannya program ini adalah untuk mengembangkan tata kelola sampah yang ramah lingkungan, mandiri, bertanggungjawab, dan berkelanjutan di pondok pesantren. Selama program ini, berbagai kegiatan seperti pelatihan, monitoring dan tata kelola sampah diikuti oleh seluruh peserta. Program Pesantren EMAS ini diikuti oleh berbagai pesantren dan instansiinstansi lain yang peduli akan lingkungan. Artinya, tidak hanya pesantren dengan ideologi ekopesantrennya saja yang ingin menerapkan ekologi dalam hidupnya. Setiap orang juga menginginkan bumi ini aman dan lestari. Dari program Pesantren EMAS ini, diharapkan pengelolaan sampah dan budaya hidup sehat dapat diseminasikan kepada seluruh tatanan masyarakat tanpa terkecuali. Sebab, ketika semua orang dapat mengolah sampah dan mengontrol diri untuk tidak membuat sampah, akan terwujud bumi pertiwi yang asri dan tentram.
Tiga contoh kegiatan ekologi pesantren ini hanya bagian kecil dari upaya yang dilakukan oleh kaum sarungan untuk mewujudkan ekologi dan membebaskan bumi dari sampah. Setidaknya dari yang tiga ini, kita dapat mengetahui bahwa pesantren juga dapat mengambil perannya dalam menghadapi tantangan lingkungan dan mewujudkan kehidupan yang bebas sampah. Orang pesantren tidak hanya tau bahwa “manusia adalah khalifah di Bumi ini”, tapi juga ada bukti nyata bahwa mereka juga bertanggungjawab. Sekali lagi, ini hanya bagian kecil.
Dimensi Baru Jihad Santri
Perlu diketahui bahwa era antroposen merupakan masa di mana aktivitas manusia mulai memengaruhi ekosistem bumi secara global. Pada dasarnya, istilah “antroposen” telah digunakan kisaran tahun 1960-an oleh ilmuan Soviet untuk menyebutkan periode geologi terkini. Namun, perlu ditegaskan bahwa ini hanyalah istilah. Sedangkan aktivitas manusia yang memungkinkan merusak ekosistem di Bumi sudah terjadi sebelum itu. Istilah “antroposen” ini digunakan sebab sejak saat itu, manusia baru benar-benar merasa bahwa ekosistem di Bumi telah dirusak oleh mereka sendiri.
Semenjak awal abad ke-2 Masehi, gerakan cinta lingkungan mulai masif dilakukan dan menjadi bahan pembicaraan di berbagai majelis. Bahkan, pada 23 Juli 2007, para kiai di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup (GNHLN) menyampaikan amar bahwa seluruh komponen, mulai dari rakyat hingga pemerintah, wajib bersikap dan bertindak secara nyata dalam membumihanguskan usaha-usaha perusakan hutan, lingkungan hidup dan kawasan pemukiman, memberangus penyakit sosial kemasyarakatan, demi keutuhan NKRI.
Selain kiai PBNU, bentuk kepedulian nyata dari Muhammadiyah terhadap masalah lingkungan telah dimulai sejak tahun 2002, dengan mendirikan Lembaga Studi dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup (LSPLH). Ini merupakan upaya yang dilakukan oleh para kiai Muhammadiyah sebagai khalifah fi al-ardli dalam melestarikan lingkungan. Dalam laman resminya, Muhammadiyah menegaskan bahwa manusia dan lingkungannya memiliki kaitan erat dan saling berhubungan. Sehingga tidak boleh ada sikap ‘merusak’ yang dilakukan oleh salah satunya sebab satu sama lain masih saling membutuhkan.
Upaya yang dilakukan oleh para kiai dari dua organisasi besar ini disebut dengan “Jihad Lingkungan” dan mereka benar-benar menampilkan bahwa orang-orang pesantren juga dapat ikut andil dalam persoalan lingkungan. Tidak hanya dalam mengatur dan memimpin pesantren, mereka juga dapat berperan aktif dalam mendiseminasikan sikap cinta lingkungan terhadap lainnya dan merangkul masyarakat dalam mewujudkan hal itu. Kiprah nyata yang mereka lakukan harus diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya.
Sayangnya, pernyataan di atas masih menimbulkan pertanyaan: “Mereka (para kiai) adalah ‘orang-orang besar’ yang memiliki pengaruh di kalangan masyarakat. Lalu, jihad apa yang harus dilakukan kita (para santri) sebagai ‘orang-orang kecil’?” Kebetulan, pertanyaan ini cukup menarik dan jawabannya akan menjadi pelengkap tulisan ini sehingga dapat memberikan kesan bahwa seluruh elemen dalam pesantren dapan mengambil peran dan ikut andil dalam mewujudkan kelestarian lingkungan.
Sebagaimana ditawarkan oleh K M Faizi dalam bukunya Merusak Bumi dari Meja Makan, langkah pertama adalah dimulai dari diri sendiri. Sebagai bagian dari ‘orang-orang kecil’, langkah kecil ini merupakan bentuk jihad dalam melestarikan lingkungan. ‘Langkah kecil’ dari ‘orang-orang kecil’ ini dapat berupa tidak membuang sampah sembarangan, atau bahkan berusaha untuk tidak membuat sampah. Ketika hal ini dibiasakan, maka akan terbentuk karakter peduli lingkungan yang dapat mengantarkan kita menjadi ‘orang-orang besar’.
Kecuali itu, relasi antara manusia dan lingkungan akan baik sebagaimana yang KH M Ali Yafie tegaskan dalam bukunya. Setelah karakter terbentuk, maka rasa peduli kepada lingkungan akan terpatri dalam hati sehingga ia akan berusaha mendiseminasikan sikap peduli lingkungan kepada yang lain. Masyarakat sekitar akan dirangkul dalam rangka mewujudkan ekologi. Dan nantinya akan lahir kelompok masyarakat seperti Forum Sumenep Hijau sebagaimana yang terdapat dalam buku K Dardiri Zubairi. Kelompok ini kemudian akan menjawab tantangan dan persoalan lingkungan sekitar sekaligus menjadi tameng dari oknum atau individu yang memiliki potensi untuk merusak lingkungan.
Berjihad tidak selamanya harus menjadi ‘orang-orang besar’. Setiap elemen pesantren memiliki fungsinya masing-masing. Maka, sebagai seorang santri biasa yang dalam hal ini dikatakan sebagai ‘orang-orang kecil’, juga menjadi penentu terwujudnya kelestarian alam. Adapun ‘orang-orang besar’, pantang bagi mereka berbuat hal yang dapat merusak ekosistem lingkungan.
Sebab, sebagai penduduk pesantren, para kiai dan santri mengetahui bahwa mereka merupakan khalifah fi al-ardli yang ditugaskan untuk merawat dan memanfaatkan bumi dengan baik. Dan sebagai kaum sarungan, kita tau bahwa orang yang tidak mengamalkan ilmunya, akan disiksa di akhirat kelak.
Guna menyeimbangkan keadaan sekarang, langkah-langkah lain juga perlu senantiasa ditingkatkan. Bank Sampah Tebuireng (BST) milik Pondok Pesantren Tebuireng, Laboratorium Sampah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jatian milik Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, dan Program Pesantren Emas –sebagaimana dijelaskan di atas- menjadi salah satu contoh langkah lanjutan sebagai bentuk kepedulian pesantren terhadap lingkungan dan masyarakat. Hal ini mengingat bahwa orang-orang yang acuh terhadap lingkungan kalah jumlah dengan orang-orang yang peduli akan lingkungannya. Maka, langkah semacam ini diharapkan dapat menyeimbangkan keadaan dan menjadi salah satu solusi permasalahan lingkungan.
Jika diperhatikan secara seksama, benjut era antroposen sangat sulit untuk dihindari. Namun, apabila kaum sarungan kompak dalam melaksanakan jihad lingkungan seperti di atas dan berhasil mendiseminasikan sikap dan karakter peduli lingkungan kepada masyarakan, maka, manusia akan berimigrasi dari keterpurukan era antroposen ini dan akan memasuki era baru dimana sampah bukan lagi masalah, melainkan berkah.
Perlu ditegaskan ulang bahwa kaum sarungan, secara idealita dan realita, memiliki misi ekologi nyata dan terbukti. Sekarang, kita dapat merenungkan diri, apakah kita akan memulai langkah kecil kita atau akan menjadi sampah? Apakah kita masih ingin bertahan dalam lingkaran api era antreoposen atau ingin memulai era baru yang lebih baik? Ingat, kita hidup antara B (Birt/Kelahiran) dan D (Dark/Kematian-kegelapan), yaitu C (Chois/Pilihan).
Oleh karena itu, mari tentukan pilihan, sekarang juga!
*Naskah peserta Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri dengan judul asli “Ekologi Pesantren: Jihad dan Imigrasi Kaum Santri dari Benjut Era Antroposen”.