Emak Ingin Naik Haji

400 kali dibaca

Diusia senjanya, Emak ingin ke Makkah. Dia mau berpijak di tanah kelahiran Baginda Nabi. Dia ingin bertemu Allah.

Meski pikun mulai merambati kepalanya sedikit demi sedikit dan pendengarannya mulai kabur, Emak terus mengumpulkan uang setiap hari, seribu demi seribu yang dia masukkan ke dalam botol  dari hasil menjual kolak dan nasi di waktu pagi dan sore. Dia kadang mencari kerja sampingan sebagai pemotong rumput untuk pakan ternak milik tetangga, mencuci pakaian dan segala pekerjaan yang mampu dilakukan ruas-ruas sendi dan sisa-sisa ototnya.

Advertisements

Aku, selaku anak satu-satunya, melerai. Semakin dilerai, dia berontak seperti anak kecil. Aku membenarkan bahwa seorang ibu dapat mengasuh sepuluh anak tapi tidak sebaliknya. Jadi, aku hanya bisa memantaunya atau membantu ala kadarnya sebab aku juga memiliki keluarga untuk diurus.

Apabila hasil tabungannya hampir atau mencapai satu juta, Emak memintaku untuk menyetorkannya ke bank syariah di kecamatan. Sudah lima belas tahun lalu Emak mendaftar, tapi dia tidak diberangkatkan juga. Lagi pula, uang yang disetorkannya masih terkumpul delapan juta.  Masih belum mencapai separuh ongkos pemberangkatan. Masalahnya, aku merasa berdosa sebab setiap kali Emak memintaku menyetorkan uangnya, uang itu tak sepenuhnya utuh. Aku menilapnya demi kepentingan keluargaku sendiri secara diam-diam dan memberi laporan palsu kepadanya.

Awalnya, aku merasa tidak terbebani sama sekali. Aku yakin bahkan Emak tidak keberatan meluangkan sedikit uangnya untuk anaknya sendiri. Pernah suatu ketika, cucunya yang ketiga terkena demam. Waktu itu, aku dan suami tidak punya uang sepeser pun. Aku dan suami mencari pinjaman. Mengetahui anaknya kelimpungan, dia merogoh tabungannya—waktu itu terkumpul 854.500 rupiahdan memberikan seluruhnya padaku. Mataku sembab saat dia menenggelamkannya ke dalam genggamanku.

“Tapi, Mak. Uang ini untuk tabungan Emak agar bisa naik haji,” tolakku. Dia mengelus kepala. Lincak berderit saat dia menggeser tubuhnya sembari berujar.

“Emak ingin naik haji. Tapi Emak tidak mau haji Emak sia-sia karena ada yang lebih membutuhkan, apalagi anak Emak sendiri.” Aku menghambur ke pelukannya dan pungung kami berguncang.

Sekarang, kira-kira satu jam lagi, Kamilah bakal datang dan menagih uang yang kupinjam darinya. Aku sudah mengingkari janjiku sendiri dan lintah penghisap keringat penduduk itu tak mau tahu. Yang dia tahu hanyalah uang kembali dan menikmati cara orang-orang memohon sambil mengusap-usap kakinya. Masalahnya, aku tidak punya uang sama sekali. Kerja suamiku sebagai tukang ojek dan kuli bangunan tidak mencukupi bahkan untuk membeli popok anak ketigaku yang masih balita. Yang ada hanya uang setorannya yang tidak segera kusetor beberapa hari lalu. Uang itu kuselipkan di bawah kertas kado yang menjadi alas baju di dalam lemari.

Aku berniat mengambilnya. Hanya untuk jaga-jaga bila rentenir itu benar-benar datang. Namun, aku ingat perjuangan Emak. Ingat pada cita-citanya untuk naik haji. Dia menabung sejak aku menginjak bangku SD. Aku tahu bagaimana dia jatuh-bangun menjual kolak dan nasi, terjaga jam tiga dini hari untuk memasak, mendirikan salat tahajud, dan berdoa pada Tuhan sembari memandang gambar Kakbah bergaris-garis penyok pada sebuah kertas karton yang dia tempelkan di dinding tempat dia biasa salat. Dia menemukannya di tempat sampah rumah Bu Ani. Gambar itu milik anaknya yang masih TK dan menjadi penyemangat dirinya.

Ketika ada orang yang datang dari tanah Makkah, Emak berhambur untuk menyambutnya meski dia harus berdesak-desakan dengan orang lain. Dia bilang kalau orang yang pulang dari tanah Haram terlahir kembali, tidak memiliki dosa-dosa sebab dia bertemu dengan Allah.

“Emak tidak mau kehilangan berkah menyalami tangan orang yang sudah bersalaman dengan Allah,” ujarnya.

Aku tahu, dia memang mau ke Makkah. Namun bagiku, dia terlalu berlebihan. Emak akan bertamu ke rumah orang yang baru datang haji, mendengar ceritanya hingga membantu menyiapkan hidangan buat pelayat yang datang menyambangi. Seolah dia mau dijadikan pesuruh mereka. Aku mengingatkannya. Dia tersenyum dan memandangku dengan tatapan yang tak dapat kuterjemahkan, menggelengkan kepalanya dan membuang napas berat. Tanpa kata-kata.

Yang paling membuatku malu adalah ketika dia datang ke rumah tetangga dan meminta tuan rumah mengubah saluran TV ke tayangan haji atau hal-hal yang berbau Makkah. Kedengarannya seperti permintaan meski pada dasarnya, dia mau berkuasa atas televisi itu. Dia akan menonton sekurang-kurangnya satu jam sehabis Isya hingga si tuan rumah mengusir dengan halus bahkan mematikan televisi itu tanpa aba-aba.

“Sudah malam, Mak. Besok lagi.”

Melihat itu, dadaku perih. Karenanya, aku juga sisihkan uang Emak sedikit demi sedikit untuk membeli televisi dan antena murahan. Meski terkadang layarnya bergelombang atau bergaris-garis, tapi itu sudah cukup bagiku menambal malu. Suatu ketika, aku mendatanginya dan menawarinya pinjaman ke bank. Emak mendelik. Dia meletakkan mukena yang dijahitnya lalu menatapku. Lekat. Dia mengeluarkan album dari lemari dan menunjukkan padaku foto-foto lama.

“Lihat!!” ujarnya sembari menunjuk pada foto seorang lelaki dengan pakaian ihram berlatar unta dan gurun pasir.

“Nenekmu tidak pernah ke Makkah, tapi kakekmu, dia berkelana ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Emak malu jika tidak bisa mengikuti langkahnya. Dia,” Emak tidak meneruskan kalimatnya. Dia sesenggukan. Aku jadi serba salah. Penawaran itu ditolak untuk ketiga kalinya.

“Emak tidak mau meminjam uang ke bank. Itu pertanda Emak belum mampu,” balasnya. Aku jadi kikuk. Mati kutu.

“Lalu, kapan Emak bakal naik haji kalau Emak terus-terusan begini?”

Emak terdiam. Mulutnya komat kamit membaca istighfar yang samar-samar dalam pendengaranku. Aku tidak tahu apakah perkataanku melukai hatinya atau tidak. Dia beranjak. Meninggalkan jahitannya tanpa menoleh ke arahku.

***

Dan, Kamilah datang. Dia membawa dua lelaki bertampang preman. Dia menggedor-gedor pintu. Beruntung, aku mengungsi ke rumah tetangga dan mengintipnya dari celah jendela berkaca hitam. Suamiku sedang kerja dan dua anakku sedang sekolah. Balitaku masih pulas di ranjang tak jauh dari tempatku sembunyi. Aku harap dia tidak bangun.

Agak lama menggedor pintu dan memanggil-manggil namaku, dia mengipas kuat-kuat wajahnya. Matahari meninggi, tapi aku tahu kalau panas di dadanya yang membakar mukanya itu. Dia meminta dua lelaki bertubuh tegap berperut buncit itu masuk dan aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Aku mengelus dada. Air mataku merembes ke mana-mana. Aku menyesal berurusan dengannya.

Melihat rumahku diobrak-abrik, tetanggaku menguatkan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ikut campur urusan Kamilah sama saja bermain dengan api. Hal itu sudah menjadi rahasia umum di desa ini. Namun, aku tersentak. Ribuan jarum menghunjam dadaku. Di dalam lemari, tepatnya di bawah kertas kado yang menjadi alas baju, uang Emak masih ada di sana. Aku berniat ke luar, tapi tetangga baikku itu mencegatku dan mengacungkan telunjuk ke bibirnya yang ketir.

“Biarkan. Apa kau mau terlibat masalah lagi setelah ketahuan sembunyi di sini? Bisa-bisa, keluargaku kena batunya juga.”

Aku terdiam. Punggungku berguncang. Saat ini, posisiku di ujung tombak. Berdiri maupun bergerak, sama-sama menyakitkan. Aku meminta maaf padanya. Kupandangi bayiku dan meraba-raba masa depannya di bawah asuhan oran tua yang punya banyak hutang sepertiku. Beberapa saat kemudian, mereka ke luar sambil memaki-maki lalu pergi. Aku merangsek ke rumah dan mendapati semua barang-barangku berserakan. Seperti sinetron-sinetron di televisi, nyatanya, aku merasakan pula sebagai realita.

Aku terkejut setelah melihat lemari pakaianku terbuka. Aku berhambur dan memastikan uang Emak. Aku bersyukur. Uang itu masih ada. Aku menangis sejadi-jadinya. Wajah Emak berkelindan dalam ingatanku. Aku merasa bersalah telah mengurangi uang setorannya seperti ulat mengikis daun. Sekarang, aku bingung. Haruskah kuulangi lagi? Menilap uang Emak tanpa sepengetahuannya dan memberi laporan palsu bahwa uangnya yang sudah terkumpul berjumlah sekian dan sekian? Aku dilema. Aku terdiam beberapa saat.

Namun, aku teringat kata-katanya. Emak ingin naik haji. Tapi Emak tidak mau haji Emak sia-sia karena ada yang lebih membutuhkan, apalagi anak Emak sendiri. Dengan segenap penyesalan dan pengakuan akan kesalahanku, untuk yang satu ini, aku mau berterus terang untuk meminjam uangnya.

Aku pergi ke rumah Emak dan menitipkan balitaku di rumah tetangga. Sepanjang jalan menuju rumahnya, aku was-was. Khawatir Kamilah dan anak buahnya muncul tiba-tiba dan menghadangku seperti seekor kambing di kandang harimau. Mujur, perjalananku ke rumahnya baik-baik saja. Aku harap Kamilah tidak mengusiknya karena walau bagaimanapun dia ibuku dan ada hubungannya denganku.

Setibanya di rumah Emak, aku terperangah. Mataku berair. Emak tidak jualan dan dia tengah menonton tayangan ulang di televisi. Ribuan orang mengelilingi Kakbah sambil melantunkan kalimat talbiah atau kalimat yang dilontarkan saat tawaf. Emak terisak. Entah mengapa, dia mengambil mukena di sampingnya, memakainya seolah berihram dan mengelilingi televisi butut itu sambil melantunkan labbaik Allah humma labbaik… dengan mata berlinang.

15 Juni 2023.

Ilustrasi: lukisan Emiria Soenassa, @rsip ivaa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan