Masyarakat Islam seringkali dipotret melalui kaca mata oposisi biner, yang membagi kategori secara dualisme yang berlawanan. Pemisahan antardua kategori ini menggambarkan suatu pertentangan, seperti modern versus tradisional, sunni versus syiah, moderat versus fundamental, urban versus rural, dan lain sebagainya.
Dalam masyarakat Islam, tipologi seperti ini tidak hanya dalam spektrum teologis-ukhrawi, namun juga pada spektrum budaya, sosial, dan politik. Sehingga, pendefinisian yang disematkan pada suatu masyarakat Islam berlaku dari kehidupan dunia hingga kehidupan akhirat. Doktrin yang bersifat esensialis ini mengatur manusia dari bagaimana ia lahir, hidup, cara menempuh kehidupan, meninggal, bangkit dari kubur, hingga kehidupan di akhirat kelak.
Oposisi biner menganggap bahwa pemahaman manusia mengenai dunia dibaca melalui kaca mata berpasang-pasangan yang berlawanan. Dua elemen yang berlawanan ini secara otomatis membangun hierarki nilai satu sama lain. Di satu sisi menganggap nilai dan karakteristiknya lebih unggul ketimbang sisi yang lain, di satu sisi yang lainnya pun memiliki anggapan demikian.
Misalnya, oposisi biner Tradisional vis a vis Modernis. Ketegangan antarkeduanya berusaha mempertahankan ajaran dan praktik keagamaan masing-masing.
Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982) melihat umat Islam harus menghadapi tantangan modernitas di samping mempertahankan tradisi keagamaan.
Begitu pula, Fundamentalis vis a vis Moderat. Fundamentalisme, dalam amatan John L. Esposito dalam Islam: The Straight Path (1998) merupakan respon atas modernisasi dan sekulerisasi yang dianggap sebagai ancaman eksternal ajaran agama Islam.
Begitu pula Civil Islam, juga dipasangkan dengan suatu entitas yang berlawangan. Sumantho al-Qurtuby menyebutnya dengan Uncivil Islam. Jika Civil Islam menjunjung tinggi demokrasi, pluralisme, hak-hak sipil, toleran, pluralis, kesetaraan gender maka Uncivil Islam merupakan sebaliknya.
Hefner, melalui karyanya Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000), mendefiniskan Civil Islam sebagai kelompok moderat yang mencoba mengintegrasikan antara tradisi Islam dan nilai-nilai modern demokrasi. Secara garis besar ia melihat peran Islam dalam proses demokratisasi di Indonesia khususnya pada masa Orde Baru.
Tak hanya pro-demokrasi, Civil Islam dalam laporan Hefner juga menolak paham radikal, mendukung pluralisme, inklusivitas, dan kesetaraan gender. Secara khusus ia menyinggung organisasi moderat seperti NU dan Muhammadiyah sebagai prototipe Civil Islam.
Lawan dari Civil Islam, yakni Uncivil Islam, menurut Sumantho al-Qurtuby, merupakan kelompok dalam Islam yang konservatif, radikal, puritan, misoginis, militan, intoleran dan anti-demokrasi. Perkembangan Uncivil Islam setelah tumbangnya rezim Orde Baru begitu pesat. Era reformasi yang mendukung penuh kebebasan menjadikan Uncivil Islam bertindak semena-mena. Menurutnya, Uncivil Islam berusaha meletakkan Islam dalam berbagai spektrum seperti, konsep, gagasan, nation-state, pancasila, dan lain sebagainya.
Melalui konsepsi ini seakan-akan masyarakat Islam tidak dapat meminjam atau mengadopsi nilai yang dimiliki oleh kelompok lawannya. Misalnya, Islam Radikal tidak akan dapat berpikiran terbuka seperti Islam Moderat; Islam Moderat tidak akan dapat bersikap intoleran seperti Islam Radikal.
Namun, oposisi biner dalam hal tipologi masyarakat Islam di sini pun memiliki beragam implikasi yang kadang kala mengarah pada tindak kekerasan dan konflik. Di mana perbedaan kelompok yang disetir prinsip sektarian akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang telah disepakatinya.
Gilles Kepel melalui karyanya Jihad: The Trail of Political Islam (2002) menyebutkan hal demikian; bagaimana Islam Radikal memanfaatkan oposisi biner untuk menggalang dukungan terhadap tujuan politik seraya mengidenifikasikan mana lawan mana kawan yang memiliki visi yang sepaham.
Maka, apa yang dikakatakan oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973) kurang lebih masih relevan setidaknya dalam konteks ini. Ia memaparkan penguatan identitas kelompok serta menghadapi ancaman dari luar merupakan hasil dari kerja-kerja oposisi biner.
Tentu, melalui ilustrasi di atas, kita perlu refleksikan bersama, dengan pertimbangan cairnya masyarakat kontemporer, mudahnya menelan informasi baru, dinamika internal kelompok maupun dinamika sosial, ekonomi, poltik dan lain sebagainya.
Namun, hemat penulis, oposisi biner terlalu kaku, menafikan keragaman, dan cenderung hierarkis terhadap satu kelompok dan lainnya dalam melihat masyarakat. Maka, kiranya ada varian baru yang berposisi di antara dua hal yang bertentangan, di antara Civil Islam dan Uncivil Islam.
Kiranya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan kecenderungan konservatif ternyata menyimpan dukungan pada demokrasi, pluralisme, dan hak-hak sipil. Entitas PKS melakukan modifikasi pada dua kutub yakni Civil Islam dan Uncivil Islam. Realitas demokrasi diterima secara penuh oleh PKS dalam agenda mencapai tujuan-tujuan politik Islam yang lebih demokratis.
Dalam urusan pluralisme, PKS masih dibayang-bayangi ketegangan ideologi keislaman dan realitas keragaman di Indonesia. Walaupun untuk berproses dalam demokrasi PKS harus berinteraksi dengan kelompok non-Muslim. Namun wacana hak-hak sipil, PKS cenderung melakukan tebang pilih dan tidak serampangan mendukung semuanya. Sepeti halnya, partisipasi politik tentu jelas didukung oleh PKS sedangkan ia menolak isu yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam sebut saja, orientasi seksual.
Sehingga PKS melakukan akomodasi antara konservatisme agama ala Uncivil Islam, beberapa hal ala CIvil Islam untuk tujuan politiknya. Tentu dilema antara pragmatisme politik dan ideologi Islam terus menghantui PKS.
Meskipun demikian, PKS akan terus berupaya menjadi partai modern dan inklusif di satu sisi tantangan ekslusivitas ideologi menjadi penghambat, akan tetapi hari ini PKS sedang berevolusi dalam dinamika politik di Indonesia yang semakin plural dan demokratis.