Epistemologi Tasawuf di Era Kontemporer

32 views

Dewasa ini, mempelajari ilmu tasawuf tetap sangat menarik. Karena menjadi ahli fikih (faqih) tidak cukup, seperti kata Imam Syafii dalam syairnya, tanpa sekaligus mendalami tasawuf (sufi). Begitu pula sebaliknya.

Kemudian, yang menjadi pertanyaan saya, apakah cara menuju Tuhan dalam dunia tasawuf hanya bisa ditempuh dengan cara berkhalwat?

Advertisements

Seorang cerpenis AA Navis dalam karyanya yang berjudul Robohnya Surau Kami telah memberikan kesadaran kepada kita. Dalam cerpennya, Navis berkisah tentang kelalaian seorang kepala keluarga terhadap anggota keluarganya. Akibat dari kelalaiannya tersebut, sang tokoh cerita mampu membunuh dirinya.

Tokoh utama dalam cerpen ini adalah Haji Saleh yang dikenal sebagai pengasah pisau dan penjaga surau. Haji Saleh juga kerap dikenal sebagai lelaki tua yang sangat taat pada perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.

Karena ketaatannya kepada Tuhan itu, Haji Saleh tidak peduli dengan sekelilingnya, termasuk keluarganya. Yang dia pedulikan adalah selalu beribadah. Tetapi akhir dari cerita tersebut sangat mengenaskan. Apa yang dibayangkan dan diharapkan Haji Saleh tidak sesuai dengan yang kenyataan. Betapa mengejutkan, bila kematian yang dilakukan dengan menggorokkan pisau ke tenggorokannya, kemudian dimasukkanlah Haji Saleh ke dalam neraka karena kelalaiannya terhadap keluarga, lingkungan, dan sosialnya.

Ketika diberi tugas menulis esai ini, saya teringat pada tulisan M Faizi yang merupakan seorang kiai penulis buku MerusakBumidariMejaMakan. Kiai asal Sumenep itu pernah mendaku, jika ingin belajar fikih dasar, kita ngaji Taqrib saja sudah cukup; atau Bidayah untuk tasawuf; atau Risalatul Muawanah untuk dua-duanya.

Bagaimana praktiknya? Pergilah ke jalan raya. Di situlah ruang praktikum dan laboratorium kehidupan berada. Fikih melarang menyalip di tikungan atau menerobos lampu merah karena “dloror”. Tasawuf mengajarkan “tawadhu” yang artinya memprioritaskan kendaraan yang lebih besar/berat dan kita mengalah.

Begitu juga, memasang drum atau cone di tengah jalan raya juga terlarang karena dapat mengganggu ruang hak-hak pengguna jalan. Maka, perlu di era kontemporer ini pembelajaran tasawuf ketika berada dan beradab di jalan raya.

Kesederhanaan Hidup

Tentu tidak mudah mengaktualisasikan ilmu yang kita ketahui, kecuali hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang dibiasakan setiap waktunya. Santri sangat dekat dengan hal-hal sederhana, misalnya; menu makan, pakaian, tempat tidur, dan lain sebagainya.

Hal itu menunjukkan bahwa nilai-nilai tasawuf banyak diterapkan di pesantren. Tasawuf mengajarkan kesederhanaan hidup agar tidak berlebihan menikmati kemewahan (hedonisme hiperbolik) dan Buya Hamka memberikan solusi yang tepat dalam permasalahan tersebut termasuk dalam memberikan pandangan dalam karyanya Falsafah Hidup. Sederhana dalam niat dan tujuan, sederhana dalam berpikir, sederhana keperluan hidup, sederhana dalam sukacita, sederhana pada harta benda, sederhana mencari nama, sederhana mencari pangkat dan sederhana dalam mendidik.

Sederhana, menurut Buya Hamka, adalah bagaimana manusia meletakkan sesuatu itu pada tempatnya dan tidak mengikuti hawa nafsu semata.

Dari fakta di atas dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Buya Hamka tentang kesederhanaan hidup sejalan dengan ajaran tasawuf dalam Islam. Manusia yang bijak (homo sapiens) kerap dilabelkan pada kemajuan zaman, ketika masalah kelaparan (homo deus) sudah selesai, maka pengontrolan terhadap hidup tentunya belum selesai.

Para ahli tasawuf pasti tidak menginginkan alam dieksploitasi. Karena cara paling sederhana mengamalkan Agama Hijau adalah dengan tidak membuang sampah sembarangan, menambang dan babatnya dengan nafsu yang berlebihan, sebab Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa, hamparan bumi ini adalah masjid.

Melalui buku Greendeen, Ibrahim Abdul Matin mengajak pembaca mengurangi perilaku konsumtif, beralih menggunakan energi “surga”, menjaga air, mengonsumsi makanan organik, dan berakhlak kepada hewan.

Buku ini mengutip sunnah bahwa ketika makan, nabi Muhammad selalu mengambil hidangan yang dekat dengannya. Dengan penafsiran yang lebih makro, hadis ini mendorong kita untuk mendapatkan makanan dari sumber-sumber lokal; memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar.

Interpretasi semacam ini cocok sekali dengan Indonesia yang kaya sumber daya alam, tetapi mengimpor bahan-bahan pokok. Indonesia, negara kacang lupa pada kulitnya; negara agraris yang kepingin jadi negara industri; pemerintahnya melacurkan tanah dan petani kepada korporasi.

Tampak sekali, bahwa etika kealaman bukan ekosentrisme, melainkan lebih pada antroposentrisme, yang mana supremasi mana banyak manusia menjadikan alam hanya sebagai properti.

Jika kita ingin mengaktualisasikan ilmu tasawuf, tidak akan terhipnotis pada hal-hal yang bisa menyebabkan kerusakan. Maka di zaman ini, penting sekali mempelajari ilmu tasawuf, agar kita bisa membunuh nafsu, keangkuhan, keserakahan yang terpelihara dalam diri.

Bertasawuf di Era Teknologi

Saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan, seperti sains dan teknologi makin canggih, maka perlu kiranya diinterkoneksikan dengan ilmu tasawuf, baik secara teoritis maupun praktis. Karena seperti yang kita tahu, bahwa tasawuf hadir dalam rangka menyeimbangkan antara moral dengan perkembangan sains dan teknologi.

Selain itu, tasawuf juga berfungsi untuk mengontrol pemanfaatan sains dan teknologi tersebut. Manusia dibekali akal bisa membuat kreativitas yang tidak terbatas, dan dengan bekal hati manusia bisa mengendalikan hasil kerja otak yang sangat dahsyat itu.

Jadi, relevansi tasawuf dalam perkembangan sains dan teknologi adalah tetap menyesuaikan diri dengan perkembangan sains dan teknologi dengan titik tekannya pada aspek moral dan penggunaannya serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

Tidak jarang saya temui bermacam komentar sarkas, bullying, penipuan, dan lain sebagainya di media sosial. Dari studi kasus tersebut, menunjukkan betapa minimnya penerapan ilmu tasawuf, atau pembelajaran ilmu tasawuf sebagai bekal pada setiap diri, agar bisa menahan segala hal yang dapat merusak suasana, merugikan orang lain tentunya.

Ilmu tasawuf–saya kira mengharuskan kita untuk peka terhadap bermacam hal, baik ketika ada di ruang tertutup, hingga ruang terbuka.

Karena untuk mengharmoniskan keseimbangan perlu yang namanya pertimbangan terlebih dahulu. Selebihnya mempelajari ilmu tasawuf harus dilakukan sebagai bekal atau nilai-nilai untuk menjalani kehidupan yang makin banal, seperti zaman sekarang.

 

 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan