Evolusi Literatur Hadits dalam Keilmuan Islam

141 views

Otoritas Hadits Nabawi sebagai pedoman pokok kedua bagi umat Islam sepertinya tidak begitu mulus untuk diterima secara mutlak. Sebab, masih banyak ilmuwan kontemporer yang terus melintarkan kritik terhadap autentisitas hadits. Para ilmuwan pengkritik hadits ini pun mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Pada umumnya, mereka yang mempermasalahkan keberadaan hadits adalah dari kaum orientalis. Sebut saja, Ignaz Goldziher (1850-1921), Joseph Scacht (1902-1969), GHA Juynboll (1935-2010), dan lain-lain.

Argumentasi yang disuguhkan para orientalis tentu bisa merisaukan apabila tidak segera diluruskan atau dibantah. Untungnya, banyak pula ilmuwan yang peduli dengan masalah ini. Mereka, selain mempunyai misi untuk membela keberadaan hadits sebagai pijakan teologis, juga secara tidak langsung mengungkap fakta-fakta menarik dalam keilmuan Islam itu sendiri. Di antaranya adalah mengenai fase evolusi literatur hadits (di masa awal).

Advertisements

Fuat Sezgin (1924-2018), professor muslim berkebangsaan Turki yang fokus pada disiplin ilmu sejarah sains Arab-Islam, mengkaji lebih dalam mengenai historisitas kitab-kitab hadits klasik. Ia memfokuskan kritiknya pada klaim historis Goldziher tentang rekam jejak transmisi hadits di masa awal perkembangan Islam.

Sezgin mengemukakan bahwa sejak abad pertama Hijriah, para sahabat selain melakukan moda periwayatan secara lisan (sebagaimana banyak pendapat para ulama), para sahabat juga telah melakukan periwayatan hadits secara tertulis. Kenyataan ini dibuktikan dengan temuan lembaran-lembaran hadits (shahifah) yang ditulis oleh generasi Islam awal. Shahifah ini kemudian direkonstruksi pada masa selanjutnya (abad ke-3 Hijriah) menjadi kitab-kitab hadits masyhur (Shahih dan Musnad).

Pernyataan yang dilayangkan oleh Sezgin tidak terlepas dari pendapat Goldziher tentang pengakuannya terhadap Shahifah Hadits. Goldziher memang membenarkan adanya lembaran hadits tersebut. Namun, ia bersikukuh bahwa Shahifah tersebut hanyalah produk generasi Islam belakangan yang diciptakan untuk memberikan pembenaran terhadap fakta Shahifah yang ada di masa awal. Goldziher memperjelas argumennya bahwa program tersebut hanya untuk melawan pihak-pihak yang menentang kepenulisan hadits seperti dirinya dan kebanyakan orientalis yang lain.

Akan tetapi, Fuat Sezgin kembali menguatkan pendapatnya bahwa terdapat rekonstruksi yang dibangun secara bertahap dalam perekaman jejak literatur hadits di masa awal. Ia mendasarkan argumentasinya pada laporan-laporan sumber seperti ‘Ilal (Ahmad bin Hanbal); Thabaqat (Ibn Sa’ad, 230 H); Tarikh (al Bukhari, 256 H); Taqdimah (Ibn Abi Hatim, 327 H); Taqyid al Ilm (Khatib al Baghdadi, 403 H); Jami’ al Bayan (Ibn Abdul Barr, 463 H); dan lain-lain.

Secara spesifik, Fuat Sezgin membagi masa evolusi literatur hadits menjadi tiga fase. Pertama, Kitabah al Hadis. Selain hadits ditransmisikan dengan lisan, ia juga sangat yakin bahwa hadits juga sudah diabadikan dalam bentuk tulisan, yang disebut dengan Shahifah. Kedua, Tadwin al Hadis. Masa pengumpulan hadits yang masih berantakan pada kwartal terakhir abad pertama dan kwartal pertama abad kedua. Masa ini dimulai pada kekhalifahan Umayyah (utamanya saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz, 101 H) yang mengutus tokoh-tokoh seperti Ibn Hazm (120 H) dan Ibn Syihab az Zuhri (124 H). Era Tadwin menjadi sangat penting karena dianggap sebagai fase yang sudah matang dalam evolusi sanad dan penelitian jalur periwayatan hadits.

Ketiga, Tashnif al Hadis. Adalah masa dimulainya penyusunan hadits secara sistematis menurut muatannya pada seperempat awal abad kedua (125 H). Proses historiografis pada era ini bercorak pada penyusunan kitab berdasar nama para sahabat (musnad) di tahun-tahun terakhir abad kedua Hijriah. Sedangkan, pada abad ketiga, kitab-kitab tersebut diedit dan ditulis oleh generasi selanjutnya, yang mana produk masa ini dikenal dengan canonical collection (koleksi kanonik).

Fuat Sezgin yakin bahwa ketiga masa tersebut saling terkoneksi secara progresif. Yakni, masa Kitabah al Hadis sebagai periode perekaman historis Nabi SAW. Masa Tadwin al Hadis sebagai era pengumpulan hadits-hadits yang dikhawatirkan hilang karena berserakan keberadaannya, sekaligus menjadi era pemantapan. Dan, masa Tashnif al Hadis yang menjadi masa strukturalisasi hadits pada tema maupun bahasan tertentu yang dimotori oleh para muhadditsun kala itu.

Wallahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan