Feminisme Sufistik dalam Kehidupan Pesantren

13 views

Kehidupan pesantren sering kali diidentikkan dengan miniatur kultur patriarki. Hal ini tidak lepas dari dinamika pendidikan pesantren yang bias gender. Sebab, tidak lepas dari dominasi sosok laki-laki (baca: kiai) sebagai pemegang otoritas tunggal. Buku yang terdiri dari 14 bab ini mencoba mendobrak kultur patriarki yang mapan di pesantren. 

Navahal memosisikan Safaa, tokoh utama dalam novel Langit yang Menangis, ini dengan sikap tegas menyuarakan hak-hak perempuan. Namun, posisinya sebagai perempuan yang tumbuh di lingkungan pesantren membuatnya tidak melupakan tradisi ketaatan dan penghormatan terhadap lelaki. Sebab, semua dilakukan dengan berlandaskan ajaran Islam, khususnya perilaku sufistik.

Advertisements

Merujuk Syarifah (2018: 64), feminisme sufistik dalam perspektif pendidikan karakter adalah mengembalikan hak-hak perempuan untuk berpendapat, memiliki kekayaan, berkarya, hak waris, dan memperoleh pendidikan. Sehingga, perempuan memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan diri, namun tetap menjaga moralitas dalam ketaatan kepada tuhan, ayah, dan suami sebagai kepala rumah tangga.

Langit yang Menangis dibuka dengan sebuah pertanyaan yang menyiratkan bagaimana kecondongan Navahal terhadap isu gender. Dari kondisi seperti inilah novel kedua Navahal setelah di tahun 2018 menelurkan buku kumpulan puisi pertamanya, Lentera Hati, tersebut tidak jauh dari tujuan menyuarakan hak perempuan. Sebagaimana hal yang diungkapkan Safaa dalam kutipan dialognya:

“Misal laki-laki menodai perempuan. Yang rugi perempuannya kan, Mas? Tapi di dalam etnik masyarakat kita justru perempuanlah yang terhinakan. Lalu kesalahan besar lelaki terlupakan sedangkan perempuan akan menanggung noda dan beban sepanjang hidupnya….” (hlm. 6)

Kemudian dipertegas dalam dialog: “Menjadi perempuan pesantren tidak pasti tentang perjodohan satu sisi kan, Buk?” Lalu dijawab oleh Gus Ali, kakak pertama Safaa, “Ya, kamu hidupnya di pesantren. Misal kamu hidup di bumi, kamu ya harus menaati tata aturan di bumi.” (hlm. 24)

Berlatar di pesantren daerah Yogyakarta dan Demak, tentu banyak ditemukan struktur dan tata bahasa yang menggunakan pencampuran Bahasa Jawa dan istilah-istilah yang akrab dalam kehidupan pesantren.

Safaa, seorang perempuan yang memiliki karakter keras dan tegas dihadapkan sebuah dilema antara memilih lelaki yang dicintai atau memenuhi permintaan abahnya untuk menikah dengan lelaki yang belum dikenalnya. Ia bersikeras menolak, sebab baginya cinta adalah membebaskan, bukan mengikat. Akan tetapi, keadaan yang semula memaksa Safaa menjalani mahligai pernikahan bukan dengan lelaki yang dicintainya, pada akhirnya membuat Safaa mengerti, bahwa takdir tidak pernah salah. Allah hanya menuntun bahagia dengan jalan berbeda.

Terlepas dari eksotisme romansa yang dibalut kehidupan sosial-keagamaan kaum pesantren, agaknya Navahal justru terperangkap dalam senandika yang terkesan berceramah. Tentu cerita semacam ini kurang menarik. Selain itu, adanya perpindahan peristiwa yang terlalu cepat. Seperti halnya ketika terjadi pernikahan Safaa dengan lelaki pilihan abanya, Navahal melompati begitu saja peristiwa tersebut. Ia hanya memberi keterangan yang menyiratkan pernikahan itu telah terjadi, tanpa mengisahkan secara gamblang.

Lalu, catatan untuk editor, bahwasanya teks novel masih banyak yang perlu dikoreksi. Seperti penempatan tanda baca yang kurang diperhatikan, sebab masih banyak ditemui kalimat yang tidak bertanda baca. Catatan tersebut memang tidak substantif. Meski demikian, bisa dijadikan perhatian dalam buku cetakan mendatang.

Terlepas dari kekurangan tersebut, semangat perjuangan perempuan terhadap budaya patriarki sangat kental dalam novel yang ditulis oleh perempuan yang juga tumbuh besar di lingkungan pesantren tersebut. Meski berbentuk kisah romansa 18+, Navahal tidak terjebak pada sesuatu yang tabu. Ia mampu mengolah diksi, sehingga ketika mengisahkan adegan ranjang sekalipun tidak ditemukan bahasa yang tak senonoh.

Secara umum, novel ini menawarkan gagasan-gagasan tentang semangat menyuarakan hak-hak perempuan. Ia tidak kebablasan, sebab adanya batasan-batasan yang telah diatur sedemikian eksplisit dalam Islam. Pada akhirnya, persamaan hak menjadi khalifah di muka bumi ini memang tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, Allah telah memosisikan laki-laki sebagai qowwam (pemimpin) dalam rumah tangga, dan perempuan sebagai makmum. Lalu, Dia menjanjikan pahala yang terhampar di balik setiap peran yang ditetapkan.

Data Buku.

Judul Buku: Langit yang Menangis
Penulis: Ayim Navahal
Editor: Ahma D.
Penerbit: BASABASI
Cetakan :Pertama, Desember 2022
Tebal: 240 hlm; 14 x 20 cm
ISBN: 978-623-305-384-6

Multi-Page

Tinggalkan Balasan