Fenomena “Riya’ Digital” dalam Perspektif Hermeneutika Dilthey

218 kali dibaca

Dengan segala macam kemajuan digital di era modern ini, umat manusia tidak disulitkan untuk bisa mengakses ragam informasi di seluruh manca negara. Selain bisa mengakses informasi, manusia juga difasilitasi oleh teknologi untuk mampu mempulikasikan semua hal kepada masyarakat luas. Fenomena ini merupakan produk dari kecakapan manusia dalam memproduksi instrument-instrumen atau bahan-bahan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kemajuan teknologi, selain menjadi keunggulan, juga berpotensi membeirkan dampak buruk di tengah-tengah manusia. Beraneka tindakan buruk muncul dari perilaku manusia yang kurang bijak dalam memperalat teknologi digital. Hal itu tercermin dari banyaknya pencurian, penipuan, dan masih banyak lagi, yang dihasilkan melalui kepicikan manusia dalam menggunakan teknologi digital.

Advertisements

Selain berbentuk kejahatan fisik, teknologi digital juga berdampak buruk pada kejahatan batin. Yang dimaksud dengan kejahatan batin disini adalah perilaku riya’.

Riya’ merupakan salah satu sifat yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Sifat ini memberikan gambaran palsu kepada masyarakat terhadap isi hati seseorang. Usaha untuk memberikan citra baik kepada masyarakat tidak dibarengi dengan niatan baik dari dalam hati.

Di era modern ini, memungkinkan seseorang untuk menampakkan kehidupannya kepada khalayak ramai, seperti ibadah dan aktivitas lainnya. Apalagi dengan teknologi komunikasi yang semakin canggih.

Riya’ dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an sendiri, konsep riya’ disebutkan sebanyak 5 kali dengan bentuk kata benda dan kata kerja. Bentuk mas}dar atau kata benda dengan lafadz رياء  terdapat dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah/2 ayat 264, al-Nisa>’/4, ayat 38, dan al-Anfa>l/8 ayat 47. Sedangkan dengan lafadz يراءون terdapat dalam Al-Qur’an Surat al-Nisa>’/4 ayat 142 dan al-Ma>’u>n/107 ayat 6 (‘Abd al-Ba>qi>, 1991: 362).

Secara etimologi, riya’ berasal dari bahasa Arab yang merupakan derivasi dari kata رأى yang berarti melihat. Sedangkan riya’ itu sendiri merupakan mutabaqah dari wazn fi’al (فعال ), yang memiliki arti melakukan aktivitas apapun dengan tujuan dilihat manusia (Abu al-Husain Ahmad bin Faris Zakaria, 1995: 473).

Jika diitinjau arti riya’ secara terminologis, al-Ghazali mengartikan riya’ sebagai amalan yang secara sengaja dipersaksikan kepada orang lain untuk mendapatkan kedudukan atau popularitas. Aktivitas riya’ yang semacam itu bisai tercermin dalam ranah atau fenomena yang sifatnya ibadah ataupun non-ibadah (Abu> Ha>mid Muhammad al-Ghazali, 1995: 290).

Dithley dan Hermenutikanya

Wilhelm Dithley merupakan seorang berkebangsaan Jerman, tepatnya di kota Briebrich di tepi sungai Rhain dekat kota Mainz, yang lahir pada tangal 19 November 1833. Lahir dalam lingkup keluarga agamis, dari ayah yang berprofesi sebagai pendeta Protestan di Briebrich dan ibunya seorang putri dirigen.

Pendidikannya ia mulai dengan mempelajari teologi di Universitas Heidelberg pada tahun 1852. Setalah itu, ia beralih kepada filsafat. Dalam disertasinya, ia menuliskan pemikiran Schleirmacher dengan rigid. Reputasinya semakin meningkat dengan banyaknya undangan untuk mengajar di beberapa universitas (Edi Susanto,2016: 46).

Anjuran metode hermeneutik oleh Dithley dalam proses memahami dan menginterpretasi, mencakup tiga unsur yaitu verstehen (memahami), erlebnis (dunia pengalaman batin) dan ausdruck (ekspresi hidup).

Verstehen, sebagai upaya memahami, yaitu menginterpretasi objek dari sisi dalam, yaitu dunia mental orang lain untuk mampu mengetahui secara komprehensif personalitas objek kajian. Erlebnis, dalam bahasa Indonesia diartikan “menghayati”. Proses penghyatan disini merupakan suatu perasaan yang timbul dari seseorang terhadap suatu fenomena. Walaupun kesannya subjektif, erlebnis mampu diobjektifikasikan dari keadaan yang terpancar dari seseorang dan keadaan tersebut mampu dirasakan oleh orang lain.

Terakhir yaitu, ausdruck, yang dikenal dengan “ekspresi” atau “ungkapan”. Ekspresi merupakan pengejewantahan dari kondisi mental seseorang, yang mana dalam hal ini seseorang mampu menginterpretasikan ekspresi atau gesture dari seseorang. Selain ekspresi, untuk mampu menginterpretasikan fenomena, juga bisa dilakukan dengan melihat keseharian seseorang (F. Budi Hardiman, 2015: 84).

Riya’ Digital dengan Hermeneutika Dithley

Perubahan pola pikir, yang menjadi salah satu aspek fundamental yang terpapar di era teknologi digital, termanifestasikan dengan konversi perilaku yang bercorak modernis. Hal itu tidak memutus kemungkinan masuk ke dalam ranah peribadatan.

Agaknya, sudah tidak menjadi hal  tabu lagi melihat berita-berita kebohongan menyebar, gosip merajalela, tebar-tebar maksiat, dan bentuk kemadharatan lainnya media sosial (Naili Izza, dkk, 2022: 79).

Dengan banyaknya aplikasi yang variatif, seperti Whatssap, Instagram, X (Twitter), Telegeram, dan masih banyak lagi, memberikan peluang besar kepada seseorang untuk mampu memublikasikan kegiatannya kepada khalayak ramai.

Contoh kecil, jika seseorang memublikasikan aktivitasnya yang bertendensi kepada kebaikan, seperti salat, membaca Al-Qur’an, mengikuti pengajian, dan lainnya, dengan tujuan untuk memperlihatkan citra dirinya kepada khalayak ramai, maka hal itu bisa terindikasi denan perbuatan riya’. Akan tetapi, untuk mengobjektifikasikannya, akan lebih baik jika kita menggunakan analisis hermeneutika Dikthey sebagai ojek formalnya.

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ

Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk salat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud ria (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.”

Metodologi hermeneutika Dilthey, agaknya mampu memberikan konstruksi logis terhadap proses interpretasi fenomena riya’ dalam penggunaan teknologi digital. Metode verstehen, erlebnis, dan ausdruck yang dipaparkan Dilthey memberikan konstruksi logis dan sistematis dalam penginterpretasian fenomena riya’ dalam masyarakat modern.

Untuk lebih memberikan kepemahaman terhadap pembaca, penulis ingin menautkan suatu kasus. Yaitu terhadap fenomena maraknya masyarakat yang tidak merasa puas jika kegiatan peribadatannya tidak dipublikasikan melalui media sosial. Dalam kasus tersebut, hermeneutika Dilthey dapat digunakan untuk melakukan pembacaan.

Pertama, Verstehen. Dalam usaha memahami keadaan mental atau psikolog seseorang, perlu ditelisik lebih dalam perihal keseharian seseorang yang menjadi objek kajian. Yang perlu diperhatikan di sini adalah representasi digital yang ditampakkan seseorang dan perilaku kesehariannya secara reguler. Jika seseorang tidak benar-benar menampakkan seperti halnya yang dipublish dalam whatsapp, facebook, Instagram, dan lainnya, maka terdapat probabilitas seseorang itu terbesit mencari sanjungan dari orang lain.

Dalam tahap pertama dengan mengimplementasikan hermeneutika Dilthey untuk menganlisis riya’ ini belum mampu memberikan gambaran kompleks. Kendati demikian, proses verstehen ini cukup mampu membeirkan ilustrasi sederhana dan umum terhadap perilaku riya’ di teknologi digital.

Kedua, Erlebnis. Dalam proses menghayati, secara sadar maupun tidak kita akan memberikan kesimpulan terhadap fenomena di sekitar kita. Penghayatan disini akan terimplementasi dari fenomena yang ditampakkan orang lain. dalam konsep riya’, terdapat pra-konsepsi yaitu كسالى, karakter orang yang bermalas-malasan. Kesadaran kita secara tidak langsung akan mencoba menghayati dan membandingkan atas perilaku seseorang yang terepresentasi di media sosial dan kenyataan. Dari sana akan terbentuk suatu konstruk pengetahuan terhadap orang lain.

Dalam proses erlebnis yang kita diajak untuk memu merenungi, menghayati, mentadabburi, fenomena-fenomana yang ada di sekitar kita. Secara tidak langung kita akan dituntut untuk memilik kepekaan sosial yang tinggi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa upaya ini buka merupakan satu tindakan buruk yang ebrusaha mengumbar aib seseorang. Melainkan untuk membantu manusia dalam mengkonstruksi secara logs fenomena sekitar.

Ketiga, Ausdruck, atau membaca gestur, ekspresi atau ungkapan dari seseorang. Selaras dengan lafaz كسالى tersebut, bahwa sejatinya seseorang harus mampu bertanggung jawab atas apa yang dikatakan. Seseorang juga harus secara benar-benar beribadah dengan niat ikhlas, tanpa sanjungan orang lain. Jika kemurnian ibadah itu ada, maka sewajarnya seseorang akan merasa cukup peribadatannya hanya diketahui oleh allah sebagai sasaran utamanya. Sehingga, perilaku memublikasikan amalan baiknya menjadi satu hal yang kurang baik, disamping akan munculnya anggapan-anggapan negatif dari orang lain.

Di sisi lain, kita tidak bisa meng-generalisir semua tayangan media sosial yang berbentuk ritual peribadatan sebagai fenomena riya’. Ibadah yang dipublikasikan bisa terindikasi dengan niatan dakwah, bukan riya’. Hal itu akan terungkap setelah melalui proses analitis seperti halnya yang dipaparkan penulis diatas terhadap fenomena riya’. Atau juga dengan media analitis yang lain.

Pemahaman secara metodologis, dengan mengedepankan aspek-aspek pegetahuan yang sistematis, memang akan berdampak pada kehidupan sosial. Hal itu juga yang diinginkan oleh Dilthey dalam konsep Hermeneutikanya. Objektifikasi sosial sangat perlu untuk diimplementasikan karena hal ini berpengaruh pada dinamika kehiduan yang ada.

Mengimlementasikan heremeneutika Dilthey sebagai objek formal dalam proses telaah riya di Media Sosial, juga merupkaan suatu pelajarn penting bagi umat. Selain untuk membantu umat dalam berpikir logis sistematis, juga meminimalisir fenomana-fenomena riya dengan memanfaatkan tayangan digital.

Kesimpulan

Riya’ memang sejenis tindakan yang bersifat tersembunyi di dalam hati. Karena tidak ada yang mengetahui hakikat perbuatan seseorang. Akan tetapi, tulisan ini ingin mengingatkan kepada para pembaca bahwa segala sesuatu bisa dianalisis secara kritis dengan metode yang benar, serta dalam melakukan amalan baik, luruskan hati kepada Allah. Sehingga, ia tidak perlu untuk mempublikasikan hal tersebut kepada orang lain, keculai untuk berdakwah. Karena identitas yang melekat pada sebenar-benarnya hamba adalah merasa cukup dengan ibadahnya yang hanya diketahui oleh Allah SWT.

Daftar Pustaka

Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah II. Mesir. Mustafa al- Babi. 1990.

Abu Hamid al-Ghazali. Ihya’ Uluumu al-Din, vol II. Beirut. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1995.

Edi Susanto. Studi Hermeneutika. Jakarta. Kencana. 2016.

Budi Hardiman. Seni Memahami. Yogyakarta. Kanisius. 2015.

Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahros Li al-Fadz Al-Qur’an al-Karim,. Beiru.  ar al-    Fikr. 1991.

Naili Izza, dkk. Berislam dan Tantangannya di Era Kontemporer. Semarang. Alinea Media Dipantara. 2022.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan