Fikih Hijau: Merawat Satwa dan Alam

6 views

Dalam Al-Qur’an, alam semesta diposisikan sebagai ayat-ayat Allah. Gunung, sungai, burung-burung, hingga dedaunan adalah bagian dari tanda kebesaran-Nya, yang diciptakan dengan penuh keseimbangan.

Di tengah geliat zaman yang kian rakus, sering kali manusia lupa bahwa dirinya adalah khalifah, bukan penguasa. Alam telah kehilangan harmoni, satwa terancam punah, dan bumi seolah menangis dalam diam.

Advertisements

Sudah saatnya kita membangkitkan fikih perlindungan satwa dan alam sebagai jalan untuk melestarikan titipan Allah ini.

Fikih sebagai Rahmat bagi Alam

Fikih dalam Islam tak hanya membahas soal halal-haram makanan atau ibadah. Lebih dari itu, fikih adalah panduan hidup yang mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, sesama makhluk, dan lingkungannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi” (HR. Bukhari dan Muslim). Kasih sayang ini tidak terbatas pada manusia, tetapi juga meliputi hewan dan alam semesta.

Bayangkan, seorang wanita masuk neraka hanya karena mengurung kucingnya tanpa memberinya makan (HR. Bukhari). Sebaliknya, seorang pelacur diampuni dosanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan (HR. Muslim).

Dua kisah tersebut mengajarkan bahwa satwa bukan sekadar makhluk kecil tak berarti, melainkan bagian dari ciptaan yang harus diperlakukan dengan adil dan kasih sayang.

Fikih perlindungan satwa hadir dari prinsip rahmatan lil ‘alamin, yang menempatkan manusia sebagai penjaga keseimbangan bumi.

Dalam Islam, setiap makhluk memiliki hak hidup, termasuk hewan dan tumbuhan. Bahkan, ketika Islam mengizinkan penyembelihan hewan, itu dilakukan dengan cara yang minim menyakiti, penuh penghormatan.

Mengembalikan Keseimbangan Alam

Di tengah gelombang modernisasi, kerusakan lingkungan dan kepunahan satwa menjadi isu global yang tak terbantahkan.

Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. Ar-Rum: 41).

Kerusakan ini tak hanya soal polusi udara atau sampah plastik, tetapi juga perburuan liar yang menghancurkan ekosistem. Jika satwa-satwa punah, rantai makanan terganggu, dan keseimbangan alam pun hilang.

Islam memberikan solusi untuk menjaga harmoni ini: manusia harus bertindak sebagai khalifah yang bertanggung jawab, bukan sebagai perusak. Fikih lingkungan mengajarkan kita untuk memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi ekologis.

Misalnya, larangan Rasulullah SAW untuk tidak menebang pohon sembarangan, terutama yang menjadi tempat tinggal burung atau makhluk lain (HR. Abu Dawud), menunjukkan pentingnya menjaga habitat makhluk hidup. Bahkan, dalam perang pun, Islam melarang merusak tanaman dan membunuh hewan tanpa alasan yang jelas.

Relevansi Fikih di Era Modern

Beberapa tahun terakhir, sejumlah ulama di berbagai negara telah mengeluarkan fatwa ekologis. Salah satunya adalah larangan perburuan berlebihan yang mengancam spesies tertentu, serta ajakan untuk menjaga hutan sebagai paru-paru bumi.

Fatwa-fatwa ini menunjukkan bahwa fikih bukanlah warisan kuno yang statis, melainkan panduan hidup yang dinamis dan kontekstual.

Namun, fatwa ini hanya akan bermakna jika diwujudkan dalam tindakan nyata. Contohnya, pemerintah dan komunitas Muslim dapat bekerja sama untuk melindungi kawasan konservasi, mengembangkan energi terbarukan, atau mendukung teknologi ramah lingkungan. 

Garda Terdepan

Fikih perlindungan satwa dan alam dapat dimulai dari komunitas kecil. Masjid, sebagai pusat peradaban Islam, bisa menjadi tempat edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan.

Program penghijauan masjid, pengelolaan sampah, hingga kajian tentang etika lingkungan dapat menjadi awal yang baik.

Selain itu, individu juga berperan penting. Mengurangi penggunaan plastik, memanfaatkan energi secara efisien, dan memilih produk ramah lingkungan adalah langkah sederhana namun berdampak besar.

Bahkan, Rasulullah SAW mengajarkan untuk tidak boros air meski sedang berwudu di sungai yang mengalir (HR. Ahmad).

Mengapa Ini Penting?

Melindungi satwa dan alam bukan hanya tentang menyelamatkan makhluk lain, tetapi juga menyelamatkan diri kita sendiri. Alam adalah sistem yang saling terhubung; jika satu komponen hancur, seluruh sistem akan terganggu.

Dalam jangka panjang, krisis ekologis akan membawa bencana bagi manusia, mulai dari perubahan iklim hingga kelangkaan sumber daya.

Dengan menghidupkan fikih perlindungan satwa dan alam, Islam memberikan solusi untuk menciptakan dunia yang berkelanjutan. Kita tidak hanya menyelamatkan bumi, tetapi juga menjalankan amanah sebagai khalifah Allah.

Jalan untuk Masa Depan

Fikih perlindungan satwa dan alam adalah refleksi dari rahmatan lil ‘alamin yang sejati. Ia mengajarkan kita untuk hidup berdampingan dengan makhluk lain dalam harmoni, bukan eksploitasi.

Bumi ini adalah titipan Allah, dan kita memiliki tanggung jawab besar untuk menjaganya. Dengan semangat Islam yang universal, kita perlu jadikan fikih ini sebagai panduan untuk mencintai alam, melindungi satwa, dan mengembalikan keseimbangan yang telah hilang.

Mencintai alam adalah bagian dari mencintai Sang Pencipta. Dan kelak, alam akan menjadi saksi atas amal perbuatan kita di dunia. Semoga!

Cabeyan, 2025.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan