Salah satu isu yang terus menjadi perhatian para cendekiawan, ilmuan, akademisi, dan bahkan agamawan adalah memformulasikan gagasan-gagasan yang membangun dan merawat lingkungan.
Benar bahwa soal isu lingkungan selama ini tidak terlalu menjadi titik fokus pembahasan dalam kitab-kitab fikih klasik. Hal tersebut karena alam dan lingkungan pada saat itu belum meminta tolong untuk dirawat.
Tapi kendatipun demikian tidak lantas ulama klasik sama sekali tidak membahas soal lingkungan. Mereka tetap membahas, meskipun tidak secara khusus atau memberikan bab khusus yang fokus mengkaji isu lingkungan.
Berbeda dengan situasi pada saat ini. Alam saat ini mulai berteriak memanggil, buku menangis, udara meratap, dan air bergejolak. Sehingga tidak ada hal yang lebih penting kecuali menggiring arus utama fikih ekologi sebagai media yang menjembatani hubungan manusia dan alam.
Tulisan ini berusaha mengkaji seputar pemikiran syaikh Yusuf Al-Qaradhawi (ulama kontemporer) terkait isu-isu lingkungan dalam kitabnya Ri’ayah al-Bi’ah Fi Syariah al-Islam (Pengelolaan Alam Menurut Syariat Islam).
Selebihnya, tulisan ini hadir karena ingin saling mengingatkan, sebagai bahan evaluasi, dan introspeksi bersama bahwa; sudahkah kita memenuhi penggilan lingkungan? Atau justru sebaliknya? Selamat membaca!
Melindungi Lingkungan
Lingkungan dalam bahasa arabnya adalah al-bi’ah. Adapun, makna dari al-bi’ah sendiri adalah segala sesuatu yang mengelilingi atau melingkupi manusia, baik berupa benda padat (tidak memilki ruh) atau benda hidup, seperti air, udara, bumi, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Sementara, yang yang dimaksud dengan menjaga lingkungan adalah menjaga segala sesuatu yang mengelilingi manusia dari hal-hal yang bisa menzaliminya, baik berupa pencemaran, polusi, kerusakan dan lain-lainnya.
Atau, kalau ditarik ke konteks sekarang, titik fokus-objek dari fikih ekologi adalah sebagai berikut: menjaga keseimbangan alam, memelihara sumber daya alam, mengelola sampah, melindungi keanekaragaman hayati, mengelola sumber daya air, melindungi lingkungan hidup dan mitigasi (upaya untuk mengurangi risiko bencana dan dampaknya).
Secara garis besar, jika ditanya terkait penyebab rusaknya lingkungan, maka tentu jawabannya adalah manusianya itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam Q.S. Ar-Rum: 41.
Tetapi secara lebih spesifik terkait penyebab rusaknya lingkungan adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dalm kitabnya: Pertama: Karena mengubah ciptaan Tuhan atau mengubah fitrah dari sebuah ciptaan Allah demi keinginan manusia secara berlebihan.
Kedua: Karena sikap zalim manusia. Zalim terhadap dirinya sendiri, zalim terhadap saudaranya, dan zalim terhadap lingkungan dan unsur-unsurnya yang ada di dalam lingkungan itu sendiri, yaitu hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda padat (debu, air, udara, dan lain-lain).
Ketiga: Karena eksploitatif terhadap alam (pemanfaatan yang dilakukan untuk keuntungan pribadi, pengisapan dan pemerasan yang pada dasarnya merupakan suatu bentuk tindakan yang tidak terpuji dan tidak dapat dibenarkan).
Keempat: Karena mengikuti hawa nafsu dangan cara mengenyangkan nafsu binatang atau patuh terhdap sikap egoisnya.
Kelima: Karena berpaling dari takaran (baca: aturan) alam yang sudah Allah tentukan.
Keenam: Karena kufur terhadap nikmat yang Allah berikan.
Ilmu Fikih dan Lingkungan
Ilmu fikih sebenarnya memiliki hubungan erat dengan soal lingkungan. Hal tersebut tercermin dalam kitab-kitab fikih ketika membahas at-thaharah (pembahasan bersuci), soal menghidupkan tanah mati, pembahasan haji; keharaman membunuh hewan buas dan mencabut atau memotong tanaman ketika ihram, pembahasan jual beli dan lain-lainnya yang spirit dari itu semua mengarah terhadap penjagaan lingkungan dan melestarikan keanekaragaman hayati.
Adapun, segi hukumnya menjaga lingkungan, maka –menurut beliau— seluruh mazhab dan berdasarkan konsensus para ulama fikih hukumnya wajib. Wajib menjaga lingkungan dari hasrat konsumtif dan eskploitatif manusia. Meskipun manusia memiliki hak untuk memanfaatkan alam, namun ia tidak mutlak, melainkan dibatasi dengan ukuran-ukuran tertentu yang secara umum adalah selama tidak membahayakan ciptaan-ciptaan Allah yang lain.
Sebagaimana dalam beberapa kajian yang lain. Seperti kajian soal kenegaraan yang tentu di sana ada beberapa prinsip-prinsipnya. Begitu pula dalam pembicaraan seputar lingkungan. Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, ada lima prinsip dasar dalam soal lingkungan, yaitu hormat terhadap alam, tanggung jawab (prinsip ini konsekuensi dari status manusia sebagai khalifah di muka bumi), kasih sayang dan kepedulian, kesederhanaan dan tidak eksploitatif, dan keadilan dan kebaikan.
Langkah Menjaga Lingkungan
Islam hadir tidak hanya ingin meng-taklif atau menghakimi manusia. Lebih dari itu, Islam juga memberikan solusi terbaik untuk problem-problem yang menimpa pemeluknya. Termasuk dalam soal kajian lingkungan, Islam juga hadir dengan menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi persoalan yang berkaitan dengan lingkungan. Menurut beliau, ada beberapa langkah yang bisa diaplikasikan sebagai bentuk upaya konservasi (pelestarian) alam.
Pertama dengan cara mendidik generasi muda. Memberikan edukasi atau doktrin baik yang berkaitan dengan lingkungan baik di bangku kelas atau justru edukasi langsung dari orang tua.
Kedua,dengan cara membangunkan kesadaran diri dan terus mengembangkan pengetahuan bagi orang yang sudah dewasa.
Ketiga, memantau, memperhatikan, dan mempertimbangkan opini atau aspirasi yang merepresentasikan suara masyarakat umum demi kebaikan lingkungan.
Keempat, dengan cara membuat undang-undang yang bisa memberikan hukuman bagi orang-orang yang melakukan tindakan yang merusak terhadap lingkungan.
Kelima, bekerja sama dengan lembaga-lembaga atau institut yang fokus mengatasi persoalan lingkungan di berbagai tingkatan.
Kemudian, yang perlu diingat menurut beliau, sebenarnya ini hanya sebagian instrumen yang digunakan oleh Islam sebagai upaya penjagaan terhadap lingkungan. Selebihnya, Islam juga membuka peluang seluas-luasnya terhadap manusia untuk menggunakan cara apa pun, senyampang cara tersebut ketika diaplikasikan tidak berseberangan dengan nilai-nilai keislaman.
Penutup
Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu pendapat beliau sendiri dalam kitab Riayah al-Biah fi al-Fiqh al-Islam. Pertama, bahwa “agama adalah sebuah interaksi.”
Ungkapan ini sangat populer sekali dikalangan ahli ilmu. Bahkan ada sebagian ulama yang menganggap ungkapan ini sebagai hadis Nabi, tapi sebenarnya ini bukan. Kendatipun demikian, menurut beliau, makna dari ungkapan ini benar dan juga diakui oleh nash Al-Qur’an dan hadis Nabi. Sementara maknanya adalah, seorang muslim sepantasnya memperbaiki interaksinya yang diawali dengan memperbaiki interaksinya dengan Allah, memperbaiki interaksinya dengan dirinya sendiri, memperbaiki interaksinya dengan sesama manusia, baik kafir atau pun muslim.
Dan, terakhir, memperbaiki interaksinya dengan seluruh makhluk Allah yang ada di muka bumi ini. Dengan kata lain, agama itu bukan hanya soal melakukan syiar-syiar yang bersifat religius (berhubungan dengan Allah), namun semena-mena dengan semua ciptaan Allah yang ada di alam ini.
Kedua, “baiknya lingkungan bergantung terhadap baiknya manusia.” Dengan kata lain, tidak ada solusi terbaik dalam mengatasi persoalan lingkungan kecuali dengan cara memperbaiki manusianya itu sendiri. Semuga tulisan ini bermanfaat. Aamiin. Ta’ammal!