Setelah para ulama berijtihad memahami dalil-dalil yang tertulis dalam nash baik Al-Qur’an atau hadis, hukum yang telah ditetapkan biasa kita kenal dengan sebutan fikih.
Fikih merupakan produk ijtihad ulama yang diambil melalui metode ushul fikih dan latar belakang konteksnya. Sehingga, tidak asing di dalam fikih terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan muncul karena berbeda dalam metode memahami nash, dan berbeda pula aspek geografis yang melatarbelakangi penetapan sebuah hukum.
Perbedaan-perbedan yang terjadi dalam fikih tidak lain karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi. Ada faktor af’al al-mukallaf (perilaku seseorang), geografis, sosial, ekonomi masyarakat. Dan, dibandingkan faktor-faktor tersebut, ulama yang berijtihad merupakan faktor yang paling penting.
Dengan demikian, fikih bisa menyesuaikan kebutuhan, seperti dalam mazhab Syafi’i kita mengenal qoul qodim dan qoul jadid, di mana kedua qoul tersebut berbeda pada penetapan hukumnya.
Hal-itu seperti terjadi karena, salah satunya, faktor geografis. Qoul qodim merupakan hasil ijtihad Imam Syafi’i ketika berada di Irak, sementara qoul jadid-nya merupakan hasil ijtihadnya di Mesir.
Apa yang terjadi pada hasil ijtihad Imam Syafi’i tersebut menunjukkan bahwa perbedaan konteks sosial pada zaman dulu dan sekarang melahirkan berbagai persoalan yang membutuhkan sebuah jawaban berbeda.
Fonomena semacam ini merupakan sebuah alarm bagi ulama untuk merumuskan ulang semangat fikih baru. Karena, bagainamapun rumusan-rumusan fikih yang tertuang dalam kitab-kitab klasik belum dapat menghadapi problematika di era modern ini. Sementara, zaman terus berkembang dan problematika umat semakin banyak.
Karena itu, hemat saya, hal ini adalah sebuah tantangan fikih bagi ulama dan para kaum sarungan untuk mengkonteksualisasikannya sebagai wujud respons yang solutif. Ahli fikih tidak seyogyanya membiarkan suatu persoalan tanpa sebuah jawaban hukum.
Kontekstualisasi fikih sebenarnya bukan hanya faktor tempat dan waktu, tetapi juga berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan kita agar dapat melaksanakan syariat Islam. Sebagai contoh pada kasus bai’ul aroya, yaitu menjual kurma mentah yang masih berada di pohonnya dengan kurma matang yang berada di tangan orang lain. Jika dianalogikan, mungkin sama dengan di Indonesia menjual padi yang masih di sawah dengan nasi. Pada dasarnya hal ini tidak diperbolehkan karena nilai dan timbangannya yang belum tentu sama, tetapi karena kebutuhan Nabi membolehkan hal itu.(Mu’jam Al-ma’ani).
Dari kasus itu kita dapat paham ketika hanya berpegang teguh pada satu pendapat dan tidak mau melaksanakan kontektualisasi, maka tidak bisa dimungkiri antara ajaran dan realitas akan tidak selaras. Karena itu, kontekstualisasi fikih merupakan suatu hal yang mutlak, agar fikih tidak dianggap sebagai hukum yang mengekang.
Yang perlu diperhatikan untuk mengkontekstualisasikan sebuah hukum fikih adalah maqoshidusyari’ah, yang meliputi: (1) hifdz ad-din, menjaga agama, termasuk tidak ada paksaan dalam agama; (2) hifdz al-aql, menjaga akal; (3) hifdz an-nafs, menjaga jiwa; (4) hifdz an-nasl, menjaga keturunan; dan (5) hifdz al-mal, menjaga harta. Maqoshidusyari’ah tersebut diupayakan tiada lain untuk mencapai rida Allah dan kemashlatahan umum. (Fahmina, 2007).
Wacana fikih baru sebenarnya sudah di lakukan oleh ulama-ulama kita di Indonesia ini, seperti KH Sahal Mahfudzh dengan fikih sosialnya dan Pondok Pesantren Lirboyo dengan fikih kebangsaannya. Ikhtiar tersebut lumrah belaka karena memang fikih sifatnya ijtihadi. Karena sifat itu, maka dapat berubah ketentuannya sesuai dengan berkembangnya zaman dan kebutuhan manusia.
Namum demikian, dalam merumuskan jawaban untuk suatu persoalan umat bukanlah hal yang mudah. Ulama fikih harus memiliki standarisasi dengan memahami dan menguasi ilmu-ilmu keagamaan, agar fikih tidak keluar dari prinsip maqoshidusyari’ah dan mashlahah ‘ammah.
Urgensi Fikih Manhaji
Dalam situasi yang seperti ini, gagasan fikih manhaji adalah jawaban yang tepat untuk menjawab persoalan fikih secara adaptif dan solutif.
Fikih manhaji dapat diterapkan melalui dua mekanisme, yaitu takhrijul furu’ ala al-furu’ (menggali hukum terhadap persoalan baru melalui nash madzhab) dan takhrijul furu’ ala al-usul (menggali hukum terhadap persoalan baru dari kaidah-kaidah ushul).(Ed: Muntaha. 2024).
Secara metodologis, dalam penggalian hukum melalui fikih manhaji harus selalu melihat dan memahami betul teks-teks yang termaktub dalam literatur fikih klasik. Dengan pemahaman yang mandalam, kita dapat mengatahui kerangka berpikir dan metodologi para mujtahid terdahulu. Inilah yang menjadi landasan teoretis fikih manhaji untuk merespons persoalan-persoalan aktual yang akan dicari hukumnya.
Sebagai contoh pada kasus jual beli, di mana Masyarakat modern sangat membutuhkannya, yaitu jual beli dengan cara online, dapat dilegalkan dan sah dengan skema akad salam meskipun pada transaksinya tidak mengatakan kata salam atau pesan. Hal ini tidak luput melihat literatur teks pendapat imam mazhab, yang dikontekstualisasikan pada realitas modern ini. (Muslim. 2024).
Pada akhirnya, sebelum kita memasuki pembahasan pada persoalan yang akan dihadapi, mempersiapkan diri dengan mengkaji literatur fikih klasik para imam mujtahid secara kritis dan mendalam adalah suatu hal yang harus diperhatikan juga. Tujuannya, agar seseorang masih berdiri di atas prinsip fikih dan tidak menabrak ke mana-mana ketika harus merespons perkembangan yang terjadi.
Sekian, wallahu a’lam bisshowab.