Fikih Nusantara dan Gelar Doktor Kiai Afif

26 views

Berkat ketekunan dan kegigihanya mengembangkan fikih dan ushul fikih kontemporer yang sesuai dengan karakteristik Nusantara, KH Afifuddin Muhajir dianugerahi gelar doktor honoris causa oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Kehadiran sosok KH Afifuddin Muhajir ini memang memberi warna tersendiri bagi perkembangan Islam di Nusantara.

Bertempat di di Aula II Kampus III UIN Walisongo Semarang, Ngaliyan, Semarang, Rabu (20/1/2021), pengenugerahan doktor honoris causa kepada Kiai Afif —panggilan akrabnya— dilakukan melalui proses sidang terbuka yang digelar secara terbatas lantaran memenuhi protokol Covid-19. Sidang dihadiri kalangan akademis dan dipimpin Rektor UIN Walisongo Semarang Prof Imam Taufiq.

Advertisements

Sebelum itu, UIN Walisongo membentuk tim untuk melakukan serangkaian proses kajian akademik seputar kontribusi Kiai Afif terhadap perkembangan keilmuan, khususnya di bidang fikih. Berdasarkan hasil kajian tim, Kiai Afif dipandang layak mendapatkan gelar kehormatan atas gagasan dan kiprah ilmiahnya dalam menyajikan fikih dan ushul fikih untuk menjawab berbagai macam persoalan bangsa.

Kini, Kiai Afif ercatat sebagai tokoh ke-3 yang menerima gelar honoris causa dari UIN Walisongo Semarang. Sebelumnya, gelar kehormatan dari UIN Walisongo Semarang juga diberikan kepada Dahlan Iskan, dan KH Husein Muhammad.

“Lewat pertimbangan matang, lewat karya, rekam jejak dan kearifan Kiai Afif, gelar ini kami berikan sebagai wujud apresisasi kepada tokoh yang telah berjasa pada pengembangan keilmuan di bidang fikih dan ushul fikih, baik di tataran teoretis maupun praktis,” kata Rektor UIN Walisongo Semarang Prof Imam Taufiq dalam sambutan penganugerahan gelar kehormatan kepada Kiai Afif.

Bagi Prof Imam Taufiq, karya besar Kiai Afif yang dinilai berdampak langsung kepada masyarakat luas, di antaranya ialah konsep fikih Nusantara atau fikih Indonesia. Konsep tersebut merupakan ikhtiar Kiai Afif dalam membumikan pemikiran-pemikiran Islam, khususnya di bidang hukum Islam.

Ikhtiar Kiai Afif dinilai sangat kontekstual untuk diterapkan dalam masyarakat Indonesia.  “Konsepsi tentang Islam sekaligus praktek keber-Islam-an di Indonesia sebagai hasil dari kombinasi dan kompromi antara teks-teks syariah dan realitas, budaya serta kearifan lokal. Beliau mampu menempatkan hubungan antara agama dan negara di Indonesia dalam pertalian atau hubungan yang harmonis,” demikian Prof Imam Taufiq.

Wajah Fikih Nusantara

Gelar doktor kehormatan tersebut merupakan buah dari perjalanan dan perjuangan Kiai Afif dalam menggeluti dunia keilmuan, khususnya di bidang fikih dan ushul fikih. Kiai Afif lahir Sampang, Madura, Jawa Timur, pada 20 Mei 1955.

Perjalanan keilmuan Kiai Afif terbilang unik. Pada umumnya, kiai-kiai besar khususnya di lingkungan nadliyin memiliki sanad keilmuan yang “mentereng”. Ngaji kepada banyak kiai besar di pesantren-pesantren ternama. Tapi tidak dengan Kiai Afif.

Sejak muda, Kiai Afif hanya tekun nyantri di satu pesantren, yaitu Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo. Di pesantren inilah Kiai Afif menuntaskan seluruh jenjang studinya dari madrasah ibtidaiyah hingga sarjana. Namun, sejak usia 20 tahun, Kiai Afif telah menjadi pangajar di pesantren tersebut dan hingga kini tercatat sebagai Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo sekaligus Wakil Pengasuh Bidang Ilmiah.

Banyak kitab yang telah diajarkan Kiai Afif selama di pesantren itu, di antaranya Jurumiyah, Kailani, Risalatul Mu’awanah, Nasha’ih al-Diniyah, Matn Zubad, Riyadh al-Shalihin, Fathul Mu’in, Iqna’, Fathul Wahhab, Ghayatul Ushul, dan Syarah Jam’ul Jawami. Selain itu, Kiai Afif juga menulis kitab sendiri, di antaranya Fath al-Mujib al-Qarib Syarh Matan al-Taqrib. Saat ini, Kiai Afif tercatat sebagai dosen di Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam Universitas Ibrahimy, dosen Ma’had Aly Situbondo konsentrasi Studi Fikih dan Ushul Fikih, dan dosen pascasarjana konsentrasi hukum Islam.

Berkat ketekunannya mendalami fikih dan ushul fikih, Kiai Afif dinilai sebagai sosok mencerahkan yang mampu menghadirkan perspektif fikih komtemporer di Indonesia. Misalnya tentang bagaimana menyikapi bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari perspektif syariah.

Dalam berbagai kesempatan, Kiai Afif selalu memberi penjelasan bahwa NKRI tidak bertentangan dengan syariat. Sebab, menurut temuannya, berdasarkan istiqrā, tidak ditemukan sama sekali ayat maupun hadis yang bertentangan dengan lima sila dalam Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu, menurut Kiai Afif, lima sila dalam Pancasila justru pengalaman dari syariah itu sendiri.

Berdasarkan pendalamannya tersebut, Kiai Afif sampai pada kesimpulan bahwa Pancasila sebagai dasar negara bukan menjadi penghalang (māni‘) untuk menerapkan aturan syariah di negara yang berlandaskan atasnya.

Yang menarik, Kiai Afif juga mencoba keluar dari “belenggu kategori” produk fikih “kuno”. Ini, misalnya, berkaitan dengan isu penyebutan dan pengkategorian bagi masyarakat bukan Muslim di Indonesia. Selama ini, produk-produk fikih menyebut yang non-muslim sebagai kafir dengan berbagai kategori sesuai dengan wilayah kekuasaannya. Misalnya, ada harbi, mu’ahad, musta’man, dan dzimmi. Karena itu ada kafir harbi, kafir mu’ahad, kafir musta’man, dan kafir dzimmi.

Isunya, orang Indonesia yang bukan pemeluk Islam akan disebut kafir apa? Kafir harbi, kafir mu’ahad, kafir musta’man, atau kafir dzimmi?

Isu kategorisasi tersebut ramai diperdebatkan sejak Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Banjar, Jawa Barat pada 2019 mengambil kesimpulan bahwa sebutan yang pas adalah non-muslim, tanpa embel-embel kategori. Perumusnya tak lain adalah Kiai Afif, yang tak lain juga Rais Syuriah PBNU.

Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Afif memberikan penjelasan atas isu sensitif dengan kalem, sabar, namun sistematik. Inti persoalannya apakah non-muslim yang ada di Indonesia ini kafir apa bukan. Intinya justru ada pada kategori, apakah mereka itu tergolong harbi, mu’ahad, musta’man, atau dzimmi.

Berdasarkan kajiannya, kategorisasi tersebut ternyata memang tidak pas, tidak cocok, diterapkan di wilayah Indonesia. Karena itu, penerapan kategori kafir harbi, kafir mu’ahad, kafir musta’man, atau kafir dzimmi tidak pas disematkan untuk masyarakat Indonesia yang bukan pemeluk Islam. Yang pas adalah non-muslim saja, tanpa embel-embel kategorisasi.

Begitulah Kiai Afif menampilkan wajah fikih Nusantara.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan