Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan munculnya film Bidaah yang menceritakan tentang sekte keagamaan bernama Jihad Ummah. Dalam kisahnya, aliran itu dipimpin oleh seorang mursyid Walid Muhammad Ilman Mahdi yang mengklaim dirinya—serta juga diamini oleh pengikutnya—sebagai Imam Mahdi yang diutus oleh Allah SWT. untuk mengatasi kerusakan dunia akhir zaman.
Serial Malaysia ini mengangkat tema yang agak kontroversial mengenai seorang pemimpin atau pemuka agama —yaitu sosok Walid— yang menggunakan dalil-dalil agama demi kepuasan nafsu belaka. Singkatnya, adegan yang banyak ditayangkan dalam film tersebut seringkali berkenaan dengan perkawinan paksa, ketaatan buta, dan penyimpangan-penyimpangan moral diselimuti jubah agama.

Film Bidaah tidak menuduh semua ulama buruk. Tapi sebagian penonton menangkapnya demikian. Ini adalah efek psikologis yang disebut confirmation bias —kita cenderung hanya melihat apa yang ingin kita lihat, bukan apa yang sebenarnya disampaikan.
Selain itu, ada hal yang lebih mencemaskan lagi, yaitu efek domino dari persepsi ini: bahwa kritik terhadap satu tokoh agama dianggap sebagai serangan terhadap seluruh institusi keulamaan. Maka muncul label seperti “gus-gus-an”, “habib palsu”, atau “ustaz settingan”, tanpa membedakan siapa yang memang layak dikritik dan siapa yang justru konsisten menjaga integritas.
Warisan yang Dipertaruhkan
Gelar gus di Jawa bisa dikatakan bahwa ia adalah simbol warisan pesantren, nasab, dan ilmu. Ia bukan gelar yang bisa dipasang sendiri, tapi tumbuh dari lingkungan dan laku hidup yang panjang. Namun ironisnya hari ini, banyak yang menggunakan gelar itu sebagai pintu masuk ke ruang kekuasaan, bisnis, atau panggung media. Kita pun sulit membedakan mana gus yang mengakar dan mana yang hanya branding.
Begitupun dengan habib, seorang mulia yang dicap memiliki darah dan garis keturunan langsung dengan Rasulullah SAW. Beliau tidak serta merta menyisipkan gelar ke-habib-annya, tidak sembarang orang yang meskipun alim, bisa menyandang gelar habib.
Namun masalahnya bukan hanya di situ. Ketika ada gus atau habib menyimpang, publik pun dengan cepat mencap semua “gus-gus-an”, “habib palsu”, dan lain-lain. Inilah generalisasi yang menyakitkan. Ia menghukum kolektif karena kesalahan segelintir.
Bourdieu menyebut ini sebagai efek dari habitus simbolik di mana masyarakat lebih sibuk mempertahankan bentuk luar daripada memeriksa esensi. Maka simbol agama bisa menjadi alat pelindung ego, bukan alat transformasi sosial.
Dan ketika simbol itu disentuh oleh kritik, yang muncul bukan introspeksi, tapi reaksi. Bukan peninjauan ulang, tapi penyangkalan.
Hannah Arendt juga mengingatkan dunia tentang apa yang disebutnya sebagai banalitas kejahatan, bahwa pelaku keburukan bukan selalu orang jahat secara sadar, tapi orang biasa yang hanya mengikuti sistem.
Jika ditarik ke dalam konteks agama, kita melihat bagaimana sebagian tokoh bisa menyalahgunakan posisi sakralnya —dan tetap dibela oleh para pengikutnya. Kejadian semacam ini yang juga digambarkan dalam film Bidaah tersebut.
Di Indonesia, kita sudah berkali-kali menyaksikan tokoh agama terjerat kasus asusila, penggelapan, bahkan ujaran kebencian. Memang hal seperti inilah yang menjadi momok menakutkan, bahwa agama yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai kekuatan transformasi, malah menjadi tameng dari evaluasi, berhenti menjadi wahyu serta hanya berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Jurang “Generalisasi”
Kebobrokan demikian sebagaimana fenomena di atas memang tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi, sebagai manusia yang disertai dengan alam pikir yang luas, amat sangat berbahaya lagi jika dari problematika yang terjadi, kemudian menjadikan kita melihat pada satu tolok ukur untuk menyamaratakan terhadap semua kalangan.
Maka sangat ironis ketika melihat bahwa upaya mengkritik penyalahgunaan agama yang disampaikan melalui film Bidaah tersebut, namun publik justru jatuh dalam jebakan yang lain: yaitu generalisasi. Mereka yang kecewa terhadap satu dua habib, lalu menuduh semua habib. Mereka yang muak pada satu gus yang tampil glamor, lantas menganggap semua gus korup.
Walaupun ini mungkin adalah salah satu bentuk frustrasi yang wajar, tapi tetap keliru. Karena jika satu orang melakukan kesalahan, lalu kita menyalahkan seluruh golongannya, maka kita sedang mengulangi kebiasaan yang mengandung dosa dan dapat mengganggu akal sehat, yaitu suuzon atau prasangka buruk.
Islam sendiri mengajarkan prinsip tabayyun. Kita diajarkan untuk menyelidiki terlebih dahulu sebelum menilai. Rasulullah pun tidak menilai seseorang dari pakaian, nasab, atau retorika. Ia menilai dari akhlak dan kejujuran. Maka seharusnya kita pun belajar membedakan antara satu orang dan satu golongan.
Padahal kita tahu, tokoh seperti Habib Ali Al-Jufri, Habib Umar bin Hafidz, Gus Baha’, atau Gus Mus, adalah contoh ulama yang hidup dalam kesederhanaan dan keilmuan mendalam. Mereka tidak tampil minta dihormati. Bahkan banyak dari mereka tidak dikenal oleh media karena memilih hidup tenang di pesantren. Tapi karena satu dua tokoh menyimpang dan viral, yang lain ikut terseret dalam vonis publik.
Generalisasi semacam ini bukan hanya tidak adil —ia berbahaya. Ia menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap ilmu, terhadap tradisi, terhadap warisan moral yang selama ini dijaga oleh banyak ulama yang tidak pernah tampil di layar kaca.
Media Sosial, Algoritma, dan Bencana Kognitif
Kita hidup dalam era ketika persepsi dibentuk lebih cepat daripada fakta. Di media sosial, potongan video bisa lebih kuat daripada penelitian bertahun-tahun. Satu cuplikan ceramah, satu gaya bicara yang meledak-ledak, bisa viral dan membentuk opini nasional.
Masalahnya, algoritma tidak tahu mana yang bernilai dan mana yang hanya sensasi. Ia hanya tahu apa yang bisa memancing klik. Dan publik kita, yang belum terbiasa dengan literasi berpikir kritis, terjebak dalam permainan ini. Mereka menilai tokoh hanya dari dua menit video dan menyimpulkan watak seseorang dari caption provokatif.
Dari sinilah lahir satu bentuk cacat logika: false dichotomy —seolah-olah hanya ada dua pilihan: membela semua ulama tanpa syarat atau menghujat semua sebagai penipu. Kita gagal melihat bahwa dunia tidak terbagi secara kaku. Selalu ada ruang di tengah yang memerlukan pemahaman, kehati-hatian, dan kebijaksanaan.
Wallahu a’lam bisshawab.