Gagal Paham Ihwal Nasionalisme

62 views

Akhir-akhir ini nasionalisme menjadi suatu porsi yang diperebutkan. Beberapa dari mereka berebut untuk diakui sebagai si paling nasionalis. Kata-kata ini juga kerap kita dengar dari mereka yang sejatinya punya kepentingan, seperti; pejabat, politisi, dan orang-orang yang terlibat dalam politik-politik elektoral.

Secara etimologis, nasionalisme adalah paham untuk mencintai bangsa sendiri atau dengan kata lain; sifat kenasionalan (KBBI). Nasionalisme menjadi porsi yang paling urgen bagi semua orang dan warga negara, terlebih kita yang menyandang identitas ke-Indonesia-an. Sebab, jika nasionalisme sudah luntur dari salah satu kelompok warga negara, berbagai ancaman (sebut saja terorisme) pun bermunculan.

Advertisements

Lumrahnya, nasionalisme selalu dipadankan dengan kata patriotisme. Dua kata ini memang sekilas identik, namun nyatanya berbeda secara makna. Meskipun keduanya sama-sama menjadikan paham cinta tanah air sebagai titik koordinat, namun keduanya berbeda. Nasionalisme lebih kepada sifat yang dimiliki seseorang (sifat cinta tanah air), sedangkan patriotisme yakni lebih menjurus kepada sikap yang ditamp[akkan sebagai perwujudan dari nasionalisme itu sendiri.

Sederhananya, nasionalisme itu adalah sifat cinta tanah air yang harus dimiliki, sedangkan patriotisme adalah manifestasinya, seperti saya mencintai negara Indonesia karena identitas saya sebagai warga negara (inilah yang disebut nasionalisme), lalu saya mewujudkan kecintaan itu dalam bentuk yang nyata, misal; mengikuti aturan-aturan yang tertulis atau tidak tertulis, menjaga identitas ke-Indonesia-an, dan lain-lain (inilah yang disebut sebagai patriotisme).

Nasionalisme dan patriotisme akan selalu beriringan sebagaimana air laut dan garamnya. Keduanya akan tetap menyatu dan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Keduanya akan terus menjadi satu kesatuan. Sehinggan dengan ini jelas, mengaku cinta tanah air tanpa tindakan adalah suatu hal yang tak dapat dibenarkan. Mengaku cinta juga berani mewujudkan dalam tindakan nyata. Meskipun misal dia mengaku si paling nasionalis dengan kata yang paling lantang sekalipun.

Dalam Kitab Idhotun Nsyiin, Musthafa Ghalayain juga menyinggung realitas demikian: Orang-orang yang sengaja melemahkan negara dan sendi-sendinya, maka dia tidak bisa disebut sebagai nasionalis, sekalipun mengaku dengan menggunakan suara yang lantang dan teriak; “saya nasionalis tulen.”

Saya sendiri menganggap tulisan beliau mengenai hal ini adalah sebagai bentuk cerminan terhadap realitas yang terjadi sekarang. Dengan nada satire sekaligus apik, Syekh Musthafa berhasil menuliskan realitas yang terjadi, di mana nasionalisme bukan lagi menjadi sebagai paham yang harus diyakini, namun dibingkai sebagai proses pencitraan. Bahkan, bagi Imam Ghalayain, orang-orang seperti itu disebut sebagai musuh negara yang sebenarnya.

Imam Musthafa membagi musuh negara menjadi dua bagian. Pertama, musuh yang pergerakannya jelas; seperti kaum-kaum ekstremis, kontra-Pancasila, Hizbut Tharir, ISIS, dan lainnya. Sedangkan yang kedua, musuh yang sejatinya lebih mematikan dibanding musuh yang dsebutkan sebelumnya. Musuh-musuh yang pergerakannya sukar ditebak, yakni musuh negara yang memakai nasionalisme sebagai kedok.

Untuk contoh pada klasifikasi yang pertama sudah saya jelaskan secara jelas di atas, seperti HTI atau yang baru-baru ini muncul, yakni ‘Khilafatul Muslimin’. Secara gerakan sudah tampak, mereka bertujuan untuk mengganti pancasila dan menjadikan khilafah sebagai ideologi baru dan sistem pemerintahan.

Musuh yang kedua adalah musuh yang sukar ditebak, dia seolah-olah mencintai negara bahkan dengan pengakuan yang memang jelas, namun nyatanya tindakannya sama sekali tidak mencirikan kecintaannya.

Contoh dari tipe ini adalah seperti koruptor-koruptor yang sebelumnya memangku jabatan pada posisi-posisi yang cukup strategis atau yang biasanya berasal dari politisi. Mereka sebelumnya disumpah sebagai abdi negara, bersumpah untuk mencintai negara dan bangsa, namun nyatanya nihil. Redaksi sumpah yang dilayangkan hanya sebagai kedok untuk menuju kepentingan-kepentingan yang sifatnya personal.

Contoh lain adalah ketika mereka yang menganggap paling nasionalis lalu membuat kebijakan-kebijakan yang tidak sama sekali berpihak pada kepentingan bangsa dan negara, melainkan hanya untuk kepentingan personal atau kelompoknya saja. naifnya, kebijakan-kebijakan yang akan atau telah ditetapkan itu tidak berpihak pada masyarakat kelas bawah dan bahkan cenderung egosentris.

Tipe musuh yang kedua memang sangat berbahaya dan lebih berbahaya. Sebab, jangankan melawan atau melakukan tindakan, mengidentifikasinya sebagai musuh saja tidak bisa. Ini yang harus secepatnya disadari.

Pada musuh dengan tipikal yang pertama, seperti HTI atau sejenisnya, memang penting untuk kita menaruh perhatian terhadap mereka dalam melakukan perlawanan. Namun, jangan sampai fokus perhatian kita dialihkan keseluruhan untuk mereka, sebab di belakang ada musuh yang lebih agresif, yang oleh Imam Musthafa dianggap sebagai musuh yang benar-benar musuh (musuh sebenarnya).

Dalam kitabnya, Imam Musthafa lagi-lagi menjelaskan bahwa nasionalis sejati tidak akan melakukan pengkhianatan terhadap negaranya sendiri, melainkan siap mati untuk negaranya. Jadi, menjadi nasionalis tidak cukup hanya dengan pengakuan tanpa tindakan sebagai manifestasinya. Kedudukan warga negara terhadap negara atau bangsanya, analoginya seperti kedudukan anak terhadap orang tuanya. Dia akan dianggap sebagai anak berbakti jika telah meme nuhi kewajiban terhadap orang tua dan melakukan kebaikan. Begitu juga dengan warga negara, dianggap sebagai generasi terbaik jika sudah melaksanakan kewajiban bagi egara dan bangsanya. Wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan