Andy tak lagi merasakan pahitnya dunia. Semua itu telah ditelannya di masa kecil dan remaja. Telah bertahun-tahun perutnya dulu dilatih untuk menahan lapar tiap hari. Bekerja membanting raga dulu setiap hari, lalu baru bisa menyantap sesuap nasi. Itu juga yang membuatnya saat ini tak ingin terlalu bermewah-mewah dengan kehidupannya, meski telah menjadi salah satu pengusaha yang cukup sukses dengan bisnisnya. Namun kadang kebiasaan waktu hidup susah dulu tetap saja terbawa. Dia sering lebih memilih makan ikan asin daripada makanan mewah yang menurutnya sekarang sudah biasa saja.
Andy juga terkenal sangat baik dengan para karyawan. Mereka sering berkunjung dan bahkan menginap di rumahnya. Maklum saja, di rumah yang cukup besar dengan lima kamar tidur dan berlantai tiga itu Andy hanya hidup berdua dengan ibunya. Adiknya sudah melenggang ke luar negeri untuk kuliah.
Saat itu kebetulan salah satu karyawan Andy pulang kampung, dan dia mencoba mencari pengganti untuk beberapa hari.
“Maaf sekali pak, saya izin dulu.”
“Iya tidak apa-apa. Asal itu demi ibunya bapak. Jangan pernah menunda,” ucapnya pada Japri, salah satu karyawannya yang paling bisa diandalkan.
Begitulah, kehidupannya kini sudah serba enak. Tak lama kemudian salah satu karyawannya menemukan tenaga freelance untuk menggantikan Japri. Dia seorang mahasiswa jurusan bisnis di salah satu kampus ternama. Andy tak memperdulikan apakah itu karyawan lama ataupun baru, entah tetap ataupun paro waktu. Dia selalu saja menyambut semuanya dengan baik.
“Sekarang kamu semester berapa?” tanya pemuda itu dengan ramah, saat bertemu dengan Mizan, calon pekerja yang akan mengganti posisi Japri sementara waktu.
“Saya semester akhir, Pak,” balasnya dengan sedikit tergagap.
Setelah pertemuan itu, Mizan akhirnya bekerja menggantikan Japri. Pemuda itu memiliki talenta untuk mudah akrab dengan orang lain. Meski belum genap dua minggu bekerja, dia sudah bisa mengakrabkan diri dengan para pegawai lainnya.
Pada akhirnya Mizan juga sering mampir dan menginap di rumah bosnya itu, seperti pegawai lainnya. Terlebih karena tempat bosnya lebih dekat dari pada kosnya yang ada di samping kampus. Namun ada satu hal yang janggal di kediaman sang bos. Ada sebuah kamar mandi kecil di belakang rumah, beserta sebuah gazebo kecil yang terbuat dari kayu jati asli. Bila disentuh oleh para kolektor barang antik, mereka pasti tahu. bahwa jati tersebut telah berusia tiga digit angka dalam kisaran tahunnya.
Mizan yang merasa agak sedikit janggal mencoba ke sana. Pertama kali duduk di gazebo tersebut semilir angin terasa menerpa tubuhnya. Punggungnya yang terasa sangat pegal merayunya untuk merebahkan badan. Lalu dia akhirnya terpejam dengan buaian semilir angin. Waktu terasa begitu cepat. Saat Mizan membuka mata, ternyata telah satu jam dia terlelap. Kebiasaannya setelah tidur tak bisa dia tahan lagi. Dia menunaikan hajatnya pada kamar mandi yang ada tak jauh dari gazebo. Saat tangannya mencoba mencari gayung, yang ada hanya sebuah batok kelapa setengah bulat di dalam sana. Kembali sebuah pertanyaan timbul di benaknya.
Di lain hari Mizan kembali menyambangi gazebo itu. Setelah bekerja dan mendapat izin untuk kembali menginap dia sempatkan membawa beberapa buku, duduk kembali di gazebo sembari menyantap beberapa kudapan yang dia beli di minimarket. Tak sengaja pak Jarkoni, salah satu pegawai, melihatnya saat melintas. Lantas beliau memanggil Mizan. Dengan lekas kaki pemuda itu menghampiri.
“Heh, kamu gak takut apa?” mendengar hal tersebut pemuda itu hanya plonga-plongo.
“Aduh, ini anak baru. Besok saja aku ceritakan waktu di kantor.”
Mizan hanya bisa menggaruk-garuk kepala setelah perbincangan singkat tersebut. Dia lantas tak acuh dan kembali ke tempat nyamannya. Esok harinya saat masuk pertama ke kantor, Mizan sudah disambut dengan berpasang tatapan mata yang tertuju padanya. Juga ada beberapa yang bicara dengan bisik-bisik. Seolah ada yang aneh dengan dirinya. Lantas dia mencoba memperhatikan dandanannya, namun tetap tak ia temukan apa yang aneh.
Dalam sekejap saja mentari sudah berada di puncak ubun-ubun. Waktu bagi para pekerja melemaskan otot mereka. Tak lama sang bos datang, membawa oleh-oleh dan lalu beranjak kembali. Semuanya berebut meminta jatah namun mereka juga tak lupa menanyakan tentang Mizan yang pernah terlihat menyambangi gazebo.
Dia pun mengiyakan, berharap juga mendapat jawaban. Apa ada yang aneh dengan gazebo tersebut? Pernah beredar desas-desus di antara pegawai bahwa tempat itu adalah salah satu tempat keramat di rumah bos mereka. Mizan mulai tertarik dengan cerita itu. Dia memasang telinga baik-baik sambil mulutnya tak berhenti mengunyah. Batok kelapa yang dibuat gayung di kamar mandi belakang rumah itu katanya memiliki kekuatan magis. Itu adalah salah satu barang yang katanya bisa menyukseskan Andy sampai sekarang.
Suatu hari ada karyawan yang mencoba mencurinya. Setelah ketahuan lewat cctv belakang rumah, karyawan tersebut langsung dipecat esok harinya. Kemudian ada juga, saat gayung tersebut hilang dari tempatnya, seluruh rumah dan sebagian karyawan dikerahkan untuk mencarinya. Ternyata salah satu sepupunya yang memindahkan untuk mewadahi sesuatu. Dan banyak cerita aneh lainnya.
Selama seminggu Mizan tak bisa tidur nyenyak di kosnya. Dia terngiang semua yang telah diceritakan para senior di tempat kerja. Apalah daya cerita itu begitu meyakinkan, namun Mizan tak ingin menelannya begitu saja. Berapa hari kemudian Japri kembali dari desa, itu pertanda bahwa jatah freelance-nya telah usai. Pagi di hari berikutnya sang bos memanggil untuk menyerahkan hak anak muda tersebut. Namun tetap saja, ada hal yang masih mengganjal.
“Bos, maaf. Sebelum saya pamit saya boleh tanya sesuatu?”
“Oh, apa?” balasnya ramah.
“Mengenai gazebo dan gayung batok di kamar mandi belakang rumah. Apa ada sesuatu di sana?”
“Oh, kamu dikasih tahu hal aneh-aneh ya sama anak-anak (para karyawan).”
Mahasiswa akhir itu hanya mengangguk. Namun, Andy menceritakan tentang batok kelapa itu. Tentang hidupnya dulu. Dan tentang bagaiman batok yang dulu dia gunakan sebagai celengan itu tetap utuh beserta isinya yang menjadi modal pertama usaha. Saat semua harta benda di rumah reotnya dulu terbakar hangus tak tersisa. Dan tiap kali dia menyambangi kamar mandi di belakang dan melihat batok itu, dia akan kembali sadar, bahwa tak ada kemewahan sejati selain hidup sederhana.
Jelas Mizan masih menyimpan pertanyaan. Namun sebelum hal itu dilontarkan, Andy sudah menjawab terlebih dulu. Kenapa harus di belakang, kenapa harus dibuat gayung, kenapa tidak disimpan lebih aman. Andy hanya berpikir, bahwa yang paling berharga di dunia ini adalah kehidupan itu sendiri. Bukan apa yang mereka miliki atau cari. Bukankah hanya dengan menjadi seperti air kita bisa memaknai segalanya. Dan gazebo itu adalah tempat paling tenang bila dijadikan tempat perenungan. Dan Mizan tak bisa menyanggah itu semua.
“Tapi kenapa tidak bapak ceritakan ke yang lain. Kalau begitu nama bapak akan tercoreng,” pemuda itu bertanya untuk kesekian kali.
“Tak apa, memang apa masalahnya dengan itu. Belajarlah untuk peduli dengan orang lain, namun tidak dengan omongan mereka,” kata pengusaha separo baya itu.
“Saya tahu semua omongan karyawan saya di belakang saya. Saya punya kemampuan membaca pikiran sejak lahir.”
” Iya, saya tahu bapak bukan orang seperti yang dibicarakan mereka. Karena saya juga bisa tahu orang dari warna aura yang mereka keluarkan.”
Lantas kedua pria itu terbahak bersama. Meski mereka berdua tak saling mengetahui, bahwa kedua kalimat terakhir mereka bukanlah bohong belaka.