Novel Gemuruh karya Hilmi Faiq menggambarkan perjuangan manusia menghadapi ancaman bencana alam, khususnya erupsi Gunung Sinabung, melalui kisah para tokoh yang bertahan hidup di tengah ketidakpastian.
Cerita dibuka dengan momen dramatis pelarian dari awan panas, mencerminkan kengerian yang menyelimuti setiap keputusan dan tindakan mereka. Protagonis, Anggi, seorang fotografer, berusaha mencari makna dan aktualisasi diri melalui pekerjaannya. Bahkan di tengah bahaya, ia menjadikan setiap momen sebagai peluang untuk menciptakan karya. Dia lari dari impitan masalah di kota lalu mencari diri di lereng gunung. Dia berproses untuk menjadi “ada”.
Penulis mengajak pembaca menyelami pengalaman manusia di tengah erupsi Gunung Sinabung, membawa kita ke dalam eksplorasi eksistensialisme mendalam. Jean-Paul Sartre pernah mengatakan, manusia “dikutuk untuk bebas,” yang berarti dalam setiap situasi, termasuk bencana, manusia selalu dihadapkan pada pilihan, meski pilihan tersebut berada dalam konteks ekstrem.
Dalam buku ini, protagonis berulang kali dihadapkan pada keputusan kritis: melarikan diri dari awan panas atau tetap berusaha menyelamatkan nyawa orang lain. Keberadaan pilihan ini mencerminkan kebebasan eksistensial Sartre, sekaligus tanggung jawab yang menyertainya.
Martin Heidegger, di sisi lain, berbicara tentang konsep being-towards-death (kesadaran terhadap kematian). Dalam Gemuruh, kehadiran kematian terasa begitu nyata, seperti saat si protagonis menghadapi suara gemuruh Sinabung dan kesadaran bahwa ia berada di ambang maut. Ketika narator berkata, “Aku seperti menjajari kaki malaikat maut yang tengah sibuk bekerja”, ini adalah momen eksistensial yang menunjukkan bagaimana kematian tidak hanya menjadi ancaman, tetapi juga pengingat akan keberadaan yang otentik. Kehidupan tidak lagi terasa sepele, tetapi menjadi kesempatan untuk memilih keaslian, bahkan dalam kengerian.
Sinabung bukan hanya sebuah gunung. Ia adalah metafora bagi keberadaan manusia, yang selalu dikepung oleh ketidakpastian dan kehancuran, tetapi tetap memiliki potensi untuk bermakna melalui tindakan dan refleksi.
Dalam, konteks bencana, kebutuhan dasar seperti keamanan fisik dan rasa aman menjadi prioritas yang mendesak, sebagaimana digambarkan dalam upaya para tokoh untuk mencari tempat berlindung dari awan panas atau menyediakan air minum di tengah kondisi kekeringan ekstrem.