Stasiun ini tak pernah lengang. Orang-orang selalu terlihat datang dan pergi. Suasananya pun terasa nyaman. Bangunannya megah dengan atap kubah yang indah. Jendela-jendelanya yang besar dengan desain gaya Eropa. Tiang-tiang besarnya yang kokoh bermotif ukiran gaya Bali, dan kursi yang berderet rapi nampak indah dengan ukiran Jepara.
Ada juga sebuah kolam yang di atasnya berdiri patung seorang ibu yang sedang menuangkan air dari kendi. Dan, di belakang kolam itu ada aneka pohon yang dibiarkan tumbuh tinggi. Semua terlihat begitu tertata, membuat aku betah berlama-lama menghabiskan waktu di sini.
Aku sering ke stasiun ini, sekadar bediam diri sambil ngopi dan mengamati segala keramaian yang penuh harmoni. Orang-orang yang datang terlihat begitu beragam, ragam etnis, warna kulit maupun agama, yang bisa kuterka dari busana atau aksesoris yang dikenakan. Namun mereka tak terlihat saling curiga, mencibir atau menghujat. Ada wanita bercadar terlihat santai berbincang dengan perempuan berambut lurus yang mengenakan celana jins ketat. Ada laki-laki berjenggot yang mengenakan jubah terlihat bercengkrama dengan akrab dengan laki-laki bermata sipit.
Di dekat pintu masuk ada seorang perempuan berbadan gemuk dengan pakaian kumal dan berambut kusut. Dia menggendong seorang bayi yang nampak tidak terawat. Kepada orang yang lewat dia selalu menadahkan tangan sambil berucap, “Sedekahnya buat kami orang miskin, nanti Tuhan akan mengganti sedakahnya dengan beribu-ribu kali lipat!” Ada saja yang memberinya uang, tapi ada juga yang lewat begitu saja.
Karena penasaran, aku pernah mengikutinya ketika dia selesai meminta sedekah. Dia berjalan dengan bergegas, lantas berhenti di halte yang di atasnya tempat kereta melaju cepat. Aku amati dari jauh, berdiam di pinggir jalan seakan hendak naik bus. Tak lama berselang terlihat ada wanita mengenakan blezer warna biru datang ke halte itu. Perempuan peminta sedekah langsung memberikan bayi yang digendongnya, dan wanita yang memakai blezer dengan sigap menerimanya, menggendongnya, dan menciumnya. Perempuan peminta sedekah menyerahkan beberapa lembar uang. Setelah memasukkan kedalam saku celena jinsnya, wanita berblezer biru pun bergegas pergi sambil menggendong bayi.
Kemudian sebuah bus berhenti di halte itu, terlihat ada seorang penumpang turun. Menyadari ada bus berhenti di depannya, perempuan peminta sedekah langsung bergegas naik, lalu bus itu melaju perlahan di bahu jalan, menawarkan jasanya pada orang-orang berdiri di trotoar. Hingga sampai di dekatku, bus aku hentikan dan aku pun bergegas menaikinya. Perempuan peminta sedekah terlihat duduk di bangku depan sambil memainkan telepon genggamnya, dan aku duduk di bangku belakang sambil tetap memperhatikannya.
Tak lama berselang, perempuan peminta sedekah itu meminta bus berhenti. Dia keluar dengan terburu-buru dan melangkah cepat memasuki sebuah jalan menuju permukiman penduduk. Tanpa pikir panjang aku pun menghentikan bus yang sudah mulai berjalan, dan bergegas mengikutinya dari jauh. Setelah beberapa kali berbelok, perempun peminta sedekah itu memasuki sebuah rumah yang nampak bagus. Aku hanya terdiam terpaku, duduk di bangku taman dekat pagar di tepian jalan. Beberapa saat kemudian sebuah mobil keluar dari rumah itu dan melintas di depanku. Perempuan peminta sedekah itu yang mengemudikannya. Dia nampak modis dengan busana yang dikenakannya.
***
Tak jauh dari tempat perempuan peminta sedekah itu berdiri di pintu masuk, ada seorang lelaki tua buta menggesekkan biolanya. Di hadapannya diletakkan jaket lusuh tempat orang-orang memberinya uang. Aku sangat menikmati gesekan biolanya, dari lagu perjuangan, lagu daerah, lagu-lagu Iwan Fals dan Sawung Jabo, hingga lagu Budi Doremi dengan piawai dia mainkan. Bahkan kadang ada orang-orang yang sengaja berdiri mengerumuninya untuk sekadar mendengar lebih dekat gesekan biolanya. Aku pun tertarik untuk menelusuri kisahnya, sebagaimana kulakukan pada perempuan pengemis itu.
Dia pulang dijemput tukang becak yang juga sudah nampak tua. Kuikuti pemain biola tua itu. Tukang becak itu menuntunnya dengan menggenggam tangan pemain biola itu. Saat sampai ke becak yang diparkir di halaman statsiun, pemain biola terlihat dengan cekatan naik dan duduk di bangku becak, sepertinya dia sudah terbiasa melakukannya. Kemudian becak pun melaju perlahan, dikayuh tukang becak sambil nampak meringis ketika menekan pedal becaknya.
Aku pun bergegas mencari tukang ojek yang biasa mangkal di depan statsiun. Namun ketika kulihat becak itu berhenti di depan warung yang menwarkan jasa transfer dan tarik uang, kuurungkan niatku. Lalu terlihat mereka berdua berjalan beriringan memasuki warung itu, sepertinya juga sudah biasa, karena laki-laki tua pemain biola terlihat tak perlu dipandu jalannya. Aku pun melangkah menuju ke arahnya. Setelah dekat, aku berdiri di belakang mereka seolah sedang mengantre.
Mereka mengeluarkan uang dari saku celananya. Yang pemain biola menyerahkan semua uangnya pada si penarik becak. Si penarik becak kemudian menghitung jumlah uang yang diterimanya.
“Pendapatanmu hari ini besar sekali Mas Jan, ada lima ratus tujuh puluh ribu!” kata si penarik becak.
“Alhamdulillah Mas, banyak orang baik di negeri ini!” sahut lelaki tua pemain biola sambil tersenyum. “Tapi bagian saya seperti biasa, cukup lima puluh ribu saja!”
Lelaki tua penarik becak langsung memberikan uang lima puluh ribuan pada pemain biola tua. Dia juga mengambil uang lima puluh ribuan dari pendapatannya menarik becak.
“Alhamdulilah, saya juga dapat dua ratus enam puluh ribu dari ongkos narik becak.”
“Allah mempermudah jalan kita menuju surga-Nya ya Mas Kas!”
“Aamiin.”
Seteleh keduanya memasukkan uang lima puluh ribuan ke dalam saku celana masing-masing, penarik becak tua itu menggabungkan uang mereka berdua dan menyerahkan ke Mbak Teller yang sedari tadi memperhatikan.
“Tolong transfer ke yayasan seperti biasa ya!” ujar tukang becak tua sambil menyerahkan uang.
“Tapi yayasan itu sudah ditutup, dibekukan oleh pemerintah!”
“Lah kenapa?” tanya dua lelaki tua itu nyaris bersamaan.
“Ada penyelewengan dana oleh pengurusnya, mereka hidup bermewah-mewah dari donasi yang bapak sumbangkan!”
“Astagfirullah!” ucap kedua lelaki tua itu.
“Bagaimana ini Mas Kas, kita menyumbang bukan sekedar ingin mendapat pahala, tapi berharap uang yang kita sumbangkan bermanfaat juga untuk sesama juga!” ujar pemain biola.
“Apakah mbak punya yayasan lain untuk kami menyalurkan donasi?” tanya penarik becak pada Mbak Teller.
“Oh ada pak, ini yayasan yang insyaallah amanah, bergerak di bidang kemanusiaan, pembangunan pesantren, dan beasiswa,” kata Mbak Teller sambil memberikan brosur.
Lelaki tua penarik becak membacanya sejenak. “Iya ke sini saja!” ucapnya singkat.
“Alhamdulillah, masih ada jalan menuju surga Allah,” ungkap pemain biola sambil mengusap wajahnya.
Tidak lama kemudian si Mbak Teller memberikan secarik kertas bukti transferan. Lalu kedua laki-laki tua itu melangkah menuju becak yang diparkirnya. Aku tertegun melihat melihat mereka berdua sampai si Mbak Teller mengejutkanku dengan pertanyaannya.
“Ada yang bisa saya bantu pak?”
“Oh iya, ada!” dengan buru-buru aku ambil kartu ATM dalam dompet dan menyerahkannya ke Mabak Teller.
“Transferkan ke yayasan yang orang tua tadi berdonasi!” aku masih ingat masih ada uang honor menulis yang belum kuambil.
***
Waktu pagi kala kesibukan terjadi, aku sudah ada di statsiun. Orang-orang hilir mudik turun dan naik kereta, sedangkan aku terdiam di bangku sambil nyeruput kopi. Perempuan pengemis terlihat masih setia pada tempatnya meminta-minta, dan laki-laki tua pun masih setia pada tempatnya menggesekkan biola. Lagu Padamu Negeri dan Sebelum Cahaya milik Letto baru saja dia mainkan, lantas dia duduk untuk meneguk kopi yang dibawanya.
Aku mendekatinya, kemudian duduk di sampingnya. “Mbah, saya kemarin mengikuti mbah sampai ke warung transfer, saya lihat mbah hanya mengambil uang lima puluh ribu dari hasil mengamen ini, padahal pendapatan mbah itu banyak.”
“Ya mbah memang butuhnya segutu toh!”
“Tapi mbah kan bisa ditabung itu sisanya!”
“Ya memang ditabung! Itu mbah menabung buat bekal mbah di akhirat nanti, mbah sudah tua, nabung di dunia buat apa, lah wong mau ditinggal!”
“Tapi dari uang donasi mbah ada yang hidupnya bermewah-mewah mbah!”
“Kamu kan sudah tahu, wanita pengemis itu hidupnya juga bermewah-mewah dengan uang sedekah orang, apa orang yang memberi sedekah itu ikut berdosa? Kamu juga tahu kalau uang pajak juga ada yang dikorupsi, apa orang-orang berhenti membayar pajak? Hidup masing-masing punya tujuan. Ada yang mencari kesenangan hanya di dunia saja, itu urusannya. Gusti Allah ora sare!”
Lelaki tua itu kembali berdiri dan menggesekkan biolanya. Baru kali ini aku mendengar gesekan biola yang menggetarkan hati, hingga air mataku tak bisa kuhentikan linangnya.