Sukirin langsung lari sipat kuping membelah gelapnya malam ketika tak jauh darinya terdengar suara benda jatuh: bukkk!
“Glundung pleceeeeek! Glundung pleceeeeek!” Sukirin berteriak-teriak dan terus berlari sambil mengangkat tinggi-tinggi sarungnya, tak sadar satu sendalnya lepas tertinggal. Kitab Jurumiyah yang dipegangnya terbang. Sukirin baru berhenti, sambil mengatur napasnya yang berdengusan, ketika sampai di depan rumahnya yang masih diterangi lampu petromak. Setelah berhasil menenangkan diri, Sukirin masuk ke dalam kamarnya dan mencoba untuk tidur di atas ranjang beralas tikar.
Sesungguhnya Sukirin tidak tahu persis benda apa yang jatuh di tengah gelap malam itu. Tak ada yang bisa dilihatnya. Dan ia memang tak memiliki keberanian untuk melihatnya. Karena suara benda jatuh itu begitu mengagetkan dan membuatnya takut, tanpa sadar yang diteriakkan oleh mulutnya adalah glundung plecek itu, dan ia langsung lari terbirit-birit.
Orang-orang Dambuntung memang percaya ada glundung plecek. Ia salah satu hantu sangat menakutkan yang paling sering dibicarakan selain genderuwo atau wewegombel atau medon. Entah di emperan rumah atau di bawah pohon asem yang rindang ketika sedang ngisis di siang hari, orang-orang sering bertukar cerita tentang glundung plecek meskipun di antara mereka belum ada yang melihat wujudnya dengan mata kepala sendiri. Entah sekadar cuci mata atau sedang berbelanja di Pasar Dambuntung, ketika bertemu satu dengan yang lain, ada saja orang yang membawa kabar bahwa si fulan atau si anu kemarin malam atau kapan hari dikejar-kejar glundung plecek.
“Itu Parno kemarin malam, pas lewat depan pabrik, katanya tahu-tahu ada kepala nggelundung sambil mulutnya mringis-mringis. Ya ngibritlah dia ha-ha-ha,” cerita Sumirah ketika ngisis di bawah pohon asem di pekarangan Mbah Wiro. Sehari sebelumnya, keponakan Sumirah itu menceritakan pengalamannya.
“Ah, yang benar, yu?” sahut yang lain.
“Ya tanya saja Parno.”
“Memang di situ angker ya. Kemarin pas ke Pasar Dambuntung, aku ketemu Siti. Katanya pas lewat depan pabrik itu, ada suara gedebuk seperti ada kelapa jatuh dari pohonnya. Dia langsung lari, padahal belum malam-malam amat, baru sehabis maghrib,” timpal Katiyem menceritakan cerita dari Siti.
Tapi, di antara mereka yang berkerumun di bawah pohon asem itu, sambil menunggu buah asem jatuh diterpa angin, belum ada yang pernah diganggu glundung plecek. Meskipun begitu, mereka bisa merekonstruksi seperti apa wujud glundung plecek itu. Menurut mereka, glundung plecek itu berwujud kepala manusia yang gundul dan tanpa tubuh, Seperti seseorang yang dipenggal lehernya hingga kepala dan badan terpisah. Saat beraksi, hantu itu selalu menyaru sebagai buah kelapa yang ukurannya biasanya memang sama dengan kepala manusia. Dalam aksinya, glundung plecek itu akan menjatuhkan diri dari pohon kelapa sebagai buah kelapa. Lalu ia akan menggelundung mengikuti korbannya. Ketika korbannya menoleh, buah kelapa itu akan berubah wujud menjadi kepala manusia, lalu kelopak matanya membuka dan mulutnya mlecek, kemudian nyengir untuk memperlihatkan gigi-giginya yang entah putih, entah hitam, entah kuning keemasan. Ketika korbannya melaju makin cepat atau berlari, glundung plecek itu akan menggelinding dengan cepat untuk mengejar, tapi tak lama kemudian menghilang ketika korbannya berada di puncak ketakutan.
Rasanya semua orang sadar bahwa ada glundung plecek di antara mereka yang selalu siap menampakkan diri di malam hari. Bahkan, orang-orang sampai menandai tempat-tempat yang ditengarai menjadi langganan munculnya glundung plecek. Yang pertama seperti yang disebut Sumirah, di depan pabrik. Sebenarnya bukan pabrik. Dulunya merupakan tempat penggilingan padi yang cukup besar, lengkap dengan plesteran yang sangat luas untuk menjemur gabah. Penggilingan padi itu kemudian terhenti dan bangunannya yang sangat besar dibiarkan mangkrak. Pabrik itu akhirnya seperti rumah hantu. Di depan pabrik itu ada jalan agak besar yang menghubungkan perempatan Dambuntung di selatan dan daerah persawahan di utara. Dan di sekitar pabrik itu hanya terhampar tegalan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Tempat ideal persembunyian glundung plecek.
Lalu jalan yang dilewati Sukirin itu juga ditandai sebagai tempat langganan munculnya glundung plecek. Jalan tanah yang diselang-seling batu dan kerikil ini berukuran kecil membelah permukiman dan pekarangan dan karena itu sering disebut dalan njero. Jika seseorang berkata “Aku lewat njero” berarti ia melintas di jalan ini. Namun, jalan ini menghubungkan permukiman petani di sisi utara dengan pusat keramaian di sisi selatan, yaitu Pasar Dambuntung dan rumah-rumah toko, langgar, masjid jami, dan standplat bus. Karena itu, meski kecil dan berlumpur jika musim hujan, jalan ini tetap menjadi pilihan orang untuk berlalu. Jalan ini pula yang dilalui Sukirin jika pergi dan pulang mengaji di langgar.
Malam itu, seperti biasanya, sehabis isya Sukirin pulang dari langgar melewati jalan itu. Tentu saja jalan yang dilewatinya ditudung kegelapan karena bulan tertutup awan. Cahaya lampu ublik dan petromak yang menerangi rumah-rumah penduduk tak mampu menjangkau jalanan. Sebab, rumah-rumah itu pada umumnya berdiri agak jauh dari jalan, lebih menjorok ke dalam di tengah pekarangan. Jika malam hari, rumah-rumah itu diterangi ublik atau petromak. Jarak antara satu rumah dengan lainnya juga agak jauh, yang selalu dipisahkan oleh kebun atau pekarangan yang dilebati oleh beraneka tumbuhan, termasuk pohon-pohon kelapa.
Seorang diri Sukirin melewati jalan itu. Ia berjalan cepat dengan sedikit berjinjit agar lekas sampai rumah. Pandangan matanya lurus ke depan menatap kegelapan. Tapi ia sedikit memperlambat langkah ketika sampai di perempatan kecil, yang ditandai sebagai tempat angker oleh orang-orang. Ia menolah ke kiri dan ke kanan dengan cepat. Tepat saat itulah ia mendengar suara gedebuk, terdengar seperti buah kelapa jatuh dari pohonnya. Suara itu mengagetkannya dan membuat kuduknya meremang seketika. Seketika itu pula ia berlari sekencang-kencangnya sambil meneriakkan nama hantu yang paling ditakuti itu: Glundung plecek! Ia tak tahu, atau tak peduli, apakah benda yang jatuh itu terus menggelundung mengikutinya atau tidak. Mulutnya mlecek dan nyengir atau tidak. Tapi peristiwa itu membuat Sukirin tetap terjaga hingga pagi di atas ambinnya meskipun berkali-kali telah mencoba memejamkan mata. Ia pun terserang demam, dan tidak berangkat ke sekolah.
Pagi itu Pak Sukirin sedang duduk di emperan rumahnya, yang dipisahkan oleh jendela dengan kamar Sukirin. Sesekali, Pak Sukirin melihat anaknya yang sedang demam dari di balik jendela yang terbuka. Pak Sukirin sedang menyeruput kopi yang terhidang bersama jagung rebus ketika Pak Selo datang.
“Tidak ke sawah, Kang?” tanya Pak Selo setelah duduk di samping Pak Sukirin.
“Lah itu, nungguin Sukirin malah demam.”
“Kenapa demam?”
“Tidak bisa tidur semalaman katanya, semalam dikejar-kejar glundung plecek di perempatan itu,” jawab Pak Sukirin sambil tangannya menunjuk ke arah selatan.
“Iya-ya, Kang. Kok, akhir-akhir banyak cerita orang-orang dikejar-kejar glundung plecek ya. Di sana… di sana… ada saja yang cerita.”
Pak Sukirin tak menyahut. Ia hanya terdiam dengan pandangan menerawang ke awang-awang.
“Apa kira-kira itu kepalanya orang-orang yang dulu kita penggali pas zaman gegeran itu ya, Kang. Kan, tempatnya di situ-situ juga.”
Pak Sukirin tetap tak menyahut. Ia hanya terdiam dengan pandangan menerawang ke awang-awang. Namun tubuhnya mulai menggigil, seperti tubuh Sukurin yang sedang terserang demam.
sumber ilustrasi: wikipedia.