Di antara beberapa gubuk reot itu aku pernah singgah. Delapan hari tujuh malam lamanya. Semacam nyantri kalong. Eh, tapi jangan kalian kira itu bangunan utama pondoknya. Bukan. Gubuk-gubuk itu berada di luar wilayah pondok, sementara bangunan utama pondok berada di belakang gubuk tersebut. Pondok ini sendiri mungkin merupakan pondok terbesar di wilayah Lamongan, Jawa Timur. Mungkin. Mengingat jumlah santri mukimnya yang mencapai ribuan itu.
Suatu siang aku berkunjung ke gubuk itu. Sebenarnya ingin bertemu seseorang. Sahid namanya. Dan, karena ia begitu menyukai lagu-lagu dari Bang Haji Rhoma Irama, ia menambahi kata ‘Irama’ di belakang namanya. Jadilah ia mengenalkan diri dengan nama Sahid Irama, saat itu.
Sahid terkenal sebagai santri yang ramah, cerdas, dan ulet. Ketika pertama kali aku diusulkan seorang kawan yang juga sepupu untuk menetap di luar kawasan pondok itu, di gubuk-gubuk dekat rumah pakdhenya, ia memilihkanku untuk tinggal bersama Sahid selama masa ngangsuh itu. Hari pertama bertemu, aku langsung nyaman saja tinggal di gubuk itu. Mungkin karena saat itu Sahid ,si penunggu gubuk, kerapkali keluar, entah kemana, dan pulang menjelang senja. Ini membuatku betah seakan gubuk ini adalah rumahku sendiri. Seringkali, jika malam tiba, Sahid membawakan banyak ikan laut untuk di masak. Maklum, saat itu adalah bulan puasa. Dan kami lebih suka berbuka setelah melaksanakan salat tarawih. Maghrib kami rayakan dengan minum kopi, udud, dan menyiapkan santapan.
Kecerdasan Sahid tak hanya pada aspek keilmuannya saja. Ia pandai merakit makanan yang murah sederhana namun lezat tentunya. Malam itu, dan malam-malam selanjutnya, Sahid lebih banyak memasak dan aku lebih banyak kebagian untuk menghabiskannya. Sungguh tak tahu malu aku ya, sudah diberi tempat tinggal, merepotkan pula. Duh, demikianlah aku. Tapi Sahid memang baik, ramah dan ulet, dan aku setuju itu.
Ada kisah menarik ketika aku menghabiskan delapan hari di bulan puasa di gubuk itu. Begini ceritanya.
Jadi, sebentar dulu, yang perlu kalian ketahui sebelum kulanjutkan berkisah adalah nama dari pengasuh pondok pesantren tersebut. Beliau bernama KH Abdul Ghofur, dan aku lebih suka memanggil Mbah Yai saja. Takdzim, begitulah. Lanjut cerita, selama bulan puasa itu Mbah Yai mengampu pengajian yang hampir sehari full. Untuk santri Aliyah sampai Mahasiswa, beliau mengisi ngaji di tiga waktu dalam sehari-semalam.
Pertama, jam 7 pagi dengan durasi sekitar 1 jam setengah. Ini diisi dengan ngaji magnum opus-nya Imam Ghazali, Ihya’ al-Ulum ad-Din, dan satu lagi kitab karangan Imam Ahmad bin Ali al-Buni, ulama sufi yang lebih dikenal sebagai pakar matematikawan, pengarang kitab Syams al-Ma’arif. Jadwal ngaji pagi hari itu dilaksanakan di mushola pondok putri.
Sementara sore harinya Mbah Yai juga mbalang kitab hadith, lokasinya di masjid desa dengan audiens seluruh santri mulai Tsanawiyah sampai Mahasiswa, bahkan masyarakat banyak pula yang ikut “jiping”, ngaji kuping. Tapi yang paling berkesan bagiku adalah ketika Mbah Yai ngajar ngaji di malam hari. Start pada jam 9 malam dan berakhir pada waktu sahur, jam setengah tiga pagi. Mampus kau! Berapa jam itu? Hitunglah sendiri. Syahdan, Ngaji dengan durasi selama itu hanya diberi waktu istirahat setengah jam, yakni pada jam 12 malam, terserah mau memilih istirahat untuk apa, pokok jam setengah satu balik dan tandang ngaji lagi.
Tapi perlu kalian tahu, sebenarnya bukan ngaji dengan durasi berjam-jam itu yang membuatku kagum. Lebih tepatnya bukan hanya itu. Begini, jadi sewaktu aku ikut ngaji selama seminggu lebih sehari itu, aku memang sengaja ingin selalu menempati shaf paling depan. Bukan karena ingin benar-benar ngaji dengan khusyuk dan tampak rajin agar bisa menjadi tauladan umat. Bukan, bukan itu niatanku, dus tak setertib dan semulia itu aku, kalian tahu sendirilah.
Oke, kulanjutkan. Di hari pertamaku ikut ngaji malam, sungguh, kedua bola mataku seperti ingin copot. Berjam-jam melototin kitab, menundukkan wajah guna mencatat membuatku ingin cepat-cepat balik ke gubuk dan tidur saja. Padahal sebelum berangkat ngaji aku sudah diingatkan Sahid untuk membawa kopi dan rokok. Sayang, anjuran itu kutolak. Kukira situasinya tak sampai sedemikian parah dan menyakitkan.
Eh, tapi tahukah kalian, semalaman itu, ketika mastami’in banyak yang tumbang tertidur dan mungkin ada juga yang ngileri kitab, Mbah Yai sama sekali bergeming dalam singgasananya. Jangankan ngantuk, menguap saja tidak. Aneh. Ini kuamati sampai hari terakhir kitab itu khatam, yakni pada hari ke-28 Ramadhan, dan selama itu Mbah Yai tak pernah menguap sama sekali. Padahal ngaji malam adalah rutinitas harian. Tanpa libur. Sehabis subuh pun Mbah Yai masih ngajar ngaji lagi. Saat itu, kuhitung usia beliau sudah masuk kepala tujuh tapi beliau tetap sehat, energik, dan tangguh. Ah, jadi malu aku.
Memang, di banyak pesantren di Jawa ketika memasuki bulan Ramadhan terdapat tradisi kuat untuk khataman kitab kuning, entah kitab-kitab tebal atau kitab tipis. Budaya seperti ini sudah mengakar dan menjalar ke banyak pondok pesantren. Betapa bulan Ramadhan adalah waktu di mana konsentrasi pesantren adalah ngaji, ngaji, dan ngaji. Sungguh mengasyikkan memang hidup di pesantren, meski kadang juga terasa begitu melelahkan. Tapi ketika kau sudah menjadi alumni salah satu pesantren, kau baru akan merasakan kerinduan yang mendalam tentang hari-harimu dulu di pesantren.
Begitulah sedikit kisah dari hari-hari ngangsuh ilmu di sana. Sebenarnya aku masih ingin berkisah lagi. Masih banyak yang perlu kalian tahu. Ada kisah Mbok Sri, ada pula kisah santri amoh, dan jangan lupa ada juga kisah menarik di balik banyaknya sawo kecik di sana. Baiklah, semoga ada cukup waktu untuk berkisah kembali tentang hal-hal lain selama persinggahan di (bukan)gubuk derita itu. Semoga.