Wak Hasyim gegas mendekat Rosyid. Ia berbisik lembut di telinga lelaki bertubuh kurus yang tengah dilanda kegamangan itu. Kata-kata yang hendak ia utarakan memang tak pantas untuk ditanyakan. Namun, Wak Hasyim sudah memikirkannya matang-matang untuk menghindari hal buruk terjadi.
“Tidak ada yang lebih gemuk, ya?”
Kata-kata itu melesat juga dari bibir Wak Hasyim. Rosyid sedikit terbelalak. Namun, ia menjawab apa adanya sembari menggeleng lemah. Wak Hasyim mengalihkan pandang menerawang ke atas. Ia tampak berpikir. Sementara riuh beduk yang semestinya ditabuh nanti malam, sudah dimainkan anak-anak usai salat Asar tadi. Di tempat lain, tenda terpal sudah berdiri kokoh di pelataran masjid. Selawat merdu dilantunkan anggota remaja masjid. Batin Rosyid makin bergemuruh. Ia tidak tahu harus dengan apa menyajikan ambengan untuk nanti malam.
Seketika aroma lezat menusuk hidung Rosyid beberapa kali. Ia menelan salivanya. Lalu, ia menatap satu ekor ayam betina kurus yang tengah dikurung di bawah pohon mangga yang gabuk. Hanya seekor ayam betina dan rumah yang ditinggali itu harta kepunyaan Rosyid, setelah beberapa ekor kambing ia jual untuk keperluan makan sehari-hari.
Tidak ada barang berarti peninggalan bapaknya usai meninggal satu tahun lalu. Rosyid hidup sebatang kara. Wak Hasyim, uwaknya, juga hidup pas-pasan. Tidak tegalah ia kalau harus ikut hidup menumpang dengannya.
Biasanya usai lebaran, bapak Rosyid tidak pernah ketinggalan memeriahkan acara Gumbregan di desanya. Bapaknya seorang juragan ayam. Namun, ketika telah tiada, Rosyid justru diwarisi utang-utang bapaknya. Bahkan, hanya untuk menyembelih satu ekor ayam jantan saja sudah tidak tersisa satu pun.
Hendak tak hendak Rosyid mesti menyembelih ayam betina itu untuk Gumbregan yang akan digelar nanti malam. Gumbregan di desanya lazim digelar setiap tahun. Warga bergotong-royong membawa ambengan berupa nasi ingkung untuk selamatan di masjid. Isinya nasi kuning yang diletakkan di atas tampah dan diberi lauk pauk berupa perkedel, ikan asin, rempeyek, sambal, telur rebus, tempe goreng, urap, bihun goreng dan yang tidak boleh lupa adalah ayam ingkung. Menu terakhir itulah yang harus berupa ayam jantan dewasa berukuran besar. Sebab, kalau tidak hanya akan menjadi bisik-bisik warga sekaligus pertanda bahwa pembawa ambengan adalah orang miskin.
“Apa tradisi ini yang menentukan tinggi rendahnya derajat seseorang, Wak?” Rosyid menyeka air matanya. Hatinya perih. Bukan karena ia tidak mau menyembelih satu-satunya ayam miliknya. Tetapi, Rosyid tidak memiliki cukup uang untuk membawa ambeng seperti orang-orang, yang bahkan perayaan serupa hanya digelar tiga kali dalam setahun: Isra Mikraj, Maulid Nabi, dan selepas lebaran.
“Bukan begitu, Sid. Kita tidak bisa lepas begitu saja dari ikatan tradisi. Apa kata orang-orang kalau kamu tidak ikut membawa ambeng? Bisa-bisa kamu dianggap orang yang antitradisi.”
“Bukankah Idul Fitri yang paling penting itu kembali ke fitrah, Wak?” Nada suaranya sedikit meninggi.
“Ya sudah, terserah kamu maunya bagaimana. Tetapi, pikirkan nama baik bapakmu. Masa anak cucunya menyedekahkan seekor ayam pun tidak mampu. Wak mau pulang dulu.”
Wak Hasyim sudah tidak bernafsu berbantah denagn keponakannya itu. Rosyid masih duduk di atas lincak teras rumah. Ia belum memasak nasi dan lauk-pauk. Ayamnya pun belum disembelih. Bahkan masih memakan dedak sisa tadi pagi. Rosyid hanya melamun—menerawang jauh bagaimana ia harus mendapatkan bahan masakan untuk ambengan.
Tentulah Rosyid mafhum, tidak salah apa yang dikatakan uwaknya. Nama baik bapaknya pasti akan ikut disebut-sebut bila dirinya memakai ayam betina kurus untuk ingkung. Namun, Rosyid juga tidak tahu dari mana ia mendapatkan uang untuk keperluan ambengan.
***
Azan Maghrib sudah menggema dari pelantang suara. Kaum Adam menyiapkan keperluan pengajian nanti malam. Seruan selawat makin menggema dari pengeras suara. Sementara ibu-ibu berduyun-duyun datang membawa ambengan milik mereka untuk dimakan sama-sama selepas pengajian.
Sebelum ke masjid, Wak Hasyim menyempatkan diri mampir ke rumah Rosyid. Ia ingin melihat ambengan Rosyid sebelum dibawa ke masjid. Berkali-kali Wak Hasyim mengetuk pintu, namun tak ada respons dari empunya rumah. Tetiba kecamuk melanda batinnya. Wak Hasyim memicingkan mata. Ia menoleh ke bawah pohon mangga—tempat ayam Rosyid dikurung sore tadi.
Lampu senter Wak Hasyim memeriksa tiap jengkal kurungan. Matanya makin terbelalak ketika mengetahui ayam betina Rosyid masih mendekur di sana. Ayam itu tampak gelisah setelah lampu senter Wak Hasyim diarahkan tepat di matanya. Darah Wak Hasyim mendidih. Ia gegas menuju masjid untuk mencari Rosyid.
Pelataran masjid sudah penuh sesak oleh jemaah. Wak Hasyim menjelajahi tiap sudut area masjid. Orang-orang berkasak-kusuk melirik Wak Hasyim. Ia tahu, orang-orang pasti sedang membicarakan Rosyid yang tidak membawa ambengan. Betapa Wak Hasyim ikut menahan malu akibat ulah keponakannya itu.
Usai salat Isya, Wak Hasyim kembali mencari keberadaan Rosyid. Rupanya ia tengah khusyuk berdoa di saf paling ujung. Suaranya senyap. Rosyid sedang menyelami nasihat demi nasihat yang keluar dari bibir mubaligh.
“Kamu enggak malu ada di sini?” bisik Wak Hasyim serupa desah, namun masih bisa sampai ke telinga Rosyid. Rosyid membuka mata, melirik sekilas. Dahinya mengerut—antara kaget dan bingung. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Wak Hasyim menunggu jawaban dari Rosyid. Orang-orang di belakang kembali berkasak-kusuk melihat tingkah antara uwak dan keponakan itu.
“Sid, punyamu sekalian aku bawa ke depan, ya?” Suara dari belakang membuat Rosyid dan Wak Hasyim menoleh. Rosyid merespons dengan anggukan. Wak Hasyim berganti mengerut keningnya. Ia menatap dua buah tampah yang dibawa laki-laki tadi.
“Rosyid tadi beli, Wak …, maksudnya masih utang untuk semua keperluan ambengan di warung Mak Warti, termasuk ayamnya.” Seolah Rosyid tahu apa yang tengah dipikirkan uwaknya. Wak Hasyim menganga tidak percaya.
“Berapa utangmu?”
“Lima ratus.”
Belum sempat Wak Hasyim berkata lagi, Rosyid kembali berbicara, “Bayarnya pakai jasa mengurus sawah Mak Warti sampai utang Rosyid lunas,” tukasnya.
Sejurus kemudian Wak Hasyim bernapas lega. Pikiran buruknya terbantahkan. Ia tidak perlu ikut menahan malu hanya karena kerabatnya tidak membawa ambengan. Setidaknya keluarganya tidak menjadi buah bibir tetangga. Namun, ada satu hal yang tidak—atau belum—ia sadari. Saking tergesanya hendak mencari Rosyid, sampai-sampai Wak Hasyim sendiri lupa bahwa ambengan yang sudah dipersiapkan istrinya masih tertinggal di rumah Rosyid.
Catatan:
[2] Gumbregan adalah tradisi upacara selamatan yang biasanya dilaksanakan seusai lebaran.
[1] Ambengan merupakan tradisi menyambut hari raya besar umat Islam dengan membawa nasi yang ditempatkan dalam tampah disertai lauk pauk untuk dibawa ke masjid atau musala, kemudian dibacakan doa lalu dimakan bersama-sama.
KOMPAK Yogyakarta, Januari – Mei 2022