“Atasnya potong sedikit ya, Bang,” ujar pria yang tengah duduk di depan cermin yang terlihat sedikit kusam itu.
“Loh, tumben, Kang?” sahut Bang Cukur sembari tetap memainkan guntingnya dengan lihai.
“Yah, kalau sudah disuruh bini mau bagaimana lagi, Bang.”
Ucapan pria tersebut kemudian disusul dengan gelak tawa renyah Bang Cukur. Sesekali terdengar pula suara tek tek tek gunting Bang Cukur yang diketok-ketokkan pada sisir untuk menggugurkan sisa-sisa potongan rambut.
Aku yang sejak setengah jam duduk di kursi reyot untuk antre mulai jenuh menunggu giliranku dipotong. Suhu udara yang pengap di kedai cukur sempit beralas tanah ini membuat kepalaku jadi gatal. Rasanya ingin kucukur habis saja rambut gondrongku.
Krek krek krek. Tek tek.
“Nah, sudah,” kata Bang Cukur sambil mengebas-ngebaskan tangannya yang, mungkin, pegal.
Pria itu bangkit dari kursinya dan melepas mantel cukur warna merah bertuliskan Gatsby yang membalut tubuhnya. Untuk beberapa detik ia mematut-matut model rambut barunya di depan cermin sambil menampakkan senyum tengil. Ia terlihat puas dengan hasil karya Bang Cukur. Sepertinya, istrinya akan sangat senang melihat tampilan baru itu.
“Mirip Ronaldo,” ujarnya kemudian sambil tertawa cekikikan.
Setelah menyodorkan beberapa lembar uang, pria itu berlalu dari kedai cukur. Mungkin ia akan memamerkan model rambut barunya kepada siapa pun yang ditemui di jalan. Dan kini, giliranku yang duduk di hadapan cermin kusam ini mengenakan mantel cukur warna biru bertuliskan Pomade.
“Peh! Rambutnya gondrong, Gus. Mau dipotong model apa?” tanya Bang Cukur padaku sambil menatap lewat cermin kusam itu. Nadanya terdengar setengah terkejut. Wajar saja. Mungkin karena melihat rambut gondrongku yang sudah menyerupai sabut kelapa.
“Terserah sudah, Bang,” jawabku dengan nada pasrah, “yang penting rapi. Daripada si Mamak uring-uringan terus di rumah.”
“Weleh! Yang tadi bininya, sekarang mamaknya. Kekuatan wanita mana lagi yang kau dustakan,” sahut Bang Cukur sambil terkekeh. Samar-samar pipinya yang berkerut saat tertawa itu dapat kulihat dari pantulan cermin. Aku hanya nyengir mendengar pernyataan Bang Cukur.
Bang Cukur mulai melakukan aksinya. Pandangannya fokus hanya pada gunting dan sisir yang ia genggam serta rambutku yang menyerupai sabut kelapa dan entah akan menyerupai apa nantinya. Aku menatap lamat-lamat wajah Bang Cukur melalui cermin usang itu. Terlihat banyak kerutan di sana-sini. Rambut cepaknya itu sudah mulai dikerumuni uban walau tak merata. Keringat bening mulai membasahi keningnya yang mengkerut. Ah! Wajah Bang Cukur seolah memberitahuku kalau ia sudah merasakan betapa kerasnya dunia.
“Usia Bang Cukur berapa?” tanyaku membuka percakapan agar suasana tidak terasa kaku, selain karena penasaran.
“Ha-ha-ha, apalah arti usia kalau tidak diisi dengan kebajikan, Gus.”
Krek krek krek.
Jawaban Bang Cukur itu turut membuatku tertawa.
“Gus orang mana? Baru kali ini saya melihat Gus potong rambut di sini,” Bang Cukur balik bertanya padaku.
“Saya sedang berkunjung ke rumah Mbah Uti, Bang. Bareng si Mamak. Kata Mamak, sekalian potong rambut di sini. Katanya, hasil potongan Bang Cukur mantep.”
“Lho, anaknya siapa, Gus?” tiba-tiba Bang Cukur menghentikan aksinya sejenak untuk menatap ke arahku melalui pantulan cermin kusam itu.
“Rahayu, Bang.”
“Ooo….” gumam Bang Cukur sambil mengangguk-angguk dan segera melanjutkan aksinya.
Sepanjang potong rambut kami banyak bercerita. Mulai dari cerita kedai cukur milik Bang Cukur yang sudah berdiri sejak 20 tahun, sampai julukan ‘Bang Cukur’ yang diberikan oleh warga sekitar.
“Piuh!” aku tersentak, “dua puluh tahun itu tidak sebentar, Bang. Kenapa tidak dikembangkan menjadi salon saja?”
“Ya, mau bagaimana lagi, Gus. Yang membutuhkan toh cuma orang-rang desa saja. Lagian, sederhana begini saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. ”
Waktu berlalu cukup lama, sekitar satu jam. Aku melihat sosokku di depan cermin jauh berbeda dari sebelumnya. Bang Cukur benar-benar membuat rambutku terlihat rapi. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Pas! Aku jadi membayangkan kalau Bang Cukur sekaligus telah memotong derita-derita yang selama ini melekat dalam diriku. Benar-benar lihai tangan Bang Cukur, mampu membuatku sebahagia ini dengan tampilan rambut baruku.
Krek krek krek. Tek tek.
“Sudah, Gus,” ucap Bang Cukur menyelesaikan aksinya.
Aku berdiri, melepas mantel cukur warna biru bertuliskan Pomade yang membaluti tubuhku. Seperti yang dilakukan oleh pria tadi, aku mematut-matut tampilan rambut baruku di depan cermin sambil menampakkan senyum tengil. Mungkin, aku juga akan memamerkannya kepada siapa pun yang kutemui di jalan nanti. Sumpah! Hasil karya Bang Cukur tidak mengecewakan. Benar apa kata Mamak.
“Mirip Messi,” kataku spontan.
Sejak saat itu, setiap ingin potong rambut, aku pasti memilih untuk mendatangi kedai cukur milik Bang Cukur. Kali ini aku tidak menunggu rambutku sampai gondrong dan terlihat seperti sabut kelapa. Jika sudah terlihat tidak rapi, aku akan segera mendatangi Bang Cukur.
Sejak saat itu pula kami memiliki jalinan hubungan yang sangat baik. Namun demikian, aku tak pernah mengetahui nama Bang Cukur. Aku tak pernah mempermasalahkan namanya yang sebenarnya, begitu juga dengan Bang Cukur tak pernah mempermasalahkan soal namaku. “Apalah arti sebuah nama jika seseorang bisa berbuat baik tanpa harus menyebutkan nama, Gus,” katanya.
Bang Cukur suka memberiku nasihat-nasihat yang menurutku merupakan sebuah bekal untuk menaklukkan kerasnya kehidupan. Dan aku suka mendengarnya dengan saksama. Seperti ketika aku ditinggal oleh Ratna, misalnya. Mantan pacarku.
“Gus Gus. Diputusin pacar saja sudah seperti kehilangan segalanya. Ambil hikmahnya, Gus. Mungkin Tuhan cemburu karena Gus lebih bermesraan dengan si Ratna ketimbang dengan-Nya.”
“Bang Cukur kayak yang tidak pernah muda saja.”
“Lah! Justru karena saya pernah muda, Gus. Ditinggal seorang wanita masih bisa cari lagi. kalau ditinggal Tuhan?”
Sejak Bang Cukur menceramahi seperti itu, aku benar-benar lebih menata kehidupanku sendiri. Sejak saat itu, aku bukan lagi pria yang dengan mudah terpesona pada langit yang memainkan warna-warna bunga.
Sekarang aku mengerti mengapa potong rambut di kedai cukur milik Bang Cukur amat sangat menyenangkan. Selain hasilnya tidak mengecewakan, Bang Cukur juga murah hati untuk menenangkan hati-hati yang gelisah.
Aku membayangkan kalau Bang Cukur tak ubahnya seperti seorang pahlawan yang membantu memotong penderitaan orang lain. Entah derita yang disebabkan oleh rambut panjang atau derita karena tertampar kerasnya kehidupan. Bang Cukur adalah pahlawan yang hanya mengandalkan gunting untuk memotong derita-derita itu. Setiap kali gerakan tangannya memotong rambut, saat itulah derita-derita yang dialami oleh para pelanggannya ikut berguguran bersama potongan-potongan rambut.
Beberapa waktu berlalu. Rambutku sudah terlihat tidak rapi. Sebuah pertanda bahwa aku harus segera mendatangi Bang Cukur. Sebelum berangkat, Mamak menyiapkan buah tangan untuk diberikan kepada Bang Cukur: stoples jajan wafer. Setelah siap, aku berangkat dengan hati riang, karena Bang Cukur akan memotong rambut yang berantakan sekaligus memotong derita hatiku.
Sesampainya di kedai cukur aku terkejut karena pintu dan gorden jendela kedai kecil itu tertutup. Tidak seperti biasanya yang buka setiap waktu. Kemana Bang Cukur? Bertamu ke rumah kerabatnya kah? Atau mungkin ia lupa membuka kedai sementara ia tertidur di dalam?
Aku mencoba mendekati pintu. Oh, rupanya tidak tertutup rapat. Sebelum mengetuk pintunya, aku mengintip ruangan sempit kedai cukur melalui celah pintu yang terbuka. Kursi reyot, cermin kusam, dua mantel cukur bertuliskan Gatsby dan Pomade, dan seseorang terlihat tengah berjongkok bersembunyi di dekat kursi. Kuperhatikan lagi sosok itu dengan jeli sambil memicingkan mata.
Trang!!!
Stoples wafer yang kubawa terjatuh. Aku terkejut melihat pemandangan di depanku. Bang Cukur memotong rambutnya sendiri! Tampak air matanya mengucur deras!
Krek krek krek.
Apa ini? Mungkinkah selama ini Bang Cukur memotong penderitaannya yang ia sembunyikan tanpa bantuan orang lain? Sementara ia sendiri membantu orang lain memotong penderitaan mereka? Apa ini? Mungkinkah seorang pahlawan memiliki penderitaan yang lebih panjang?
Jika Bang Cukur dengan senang hati membantu orang lain memotong penderitaan yang mereka tanggung, lantas siapa yang membantu Bang Cukur untuk memotong penderitaannya sendiri? Bang Cukur, kasihan sekali dirimu!
Ilustrasi: lukisan yogi setiawan, mutualart.