Guru Muhammad Mansur memiliki tempatnya tersendiri di tengah masyarakat kabupaten Batanghari dan Tebo, Jambi. Soalnya beliau adalah guru (kiai) yang paling dihormati di seantero Batanghari dan Tebo pada akhir dekade 90an. Murid-muridnya begitu banyak dan memilki nama di kampung masing-masing. Mungkin beliau satu-satunya ulama Batanghari dan Tebo yang memiliki belasan karya tulis. Satu-satunya yang hampir menyamainya dalam hal karya adalah Gede Siti Khadijah yang tak lain adalah istrinya sendiri.
Nama panggilannya adalah Guru Mansur. Ia lahir pada 1936 di satu kampung bernama Mersam, di bawah kemargaan Kembang Paseban, Affdeling Muara Tembesi, sekarang di wilayah Kabupaten Batanghari.
Semasa muda, Guru Mansur belajar agama di Madrasah Nurul Iman, Seberang Kota Jambi, Jambi sekitar 1948 hingga 1953. Era itu Nurul Iman memiliki beberapa guru ternama, seperti Mo Bafadhal, Guru Abdul Majid Ghaffar, Guru Saman Muhyi, Hoofd Penghulu Abdul Majid, dan Guru Abdul Karim Mersam yang satu kampung dengannya.
Setelah menjalani pendidikan di Nurul Iman, Guru Mansur kembali ke Mersam dan langsung menjadi guru bantu di Madrasah Nurul Islam. Saat itu geliat pendidikan Islam sedang pasang karena beberapa guru alim mengajar di Mersam, seperti Guru Abdul Wahid dan Guru Abdul Majid. Semangat belajar agama semakin menggelora ketika seorang ulama asal Asahan secara mengejutkan datang ke Mersam. Ulama tersebut bernama Zaharuddin atau biasa dipanggil Guru Zaharuddin Asahan.
Guru Zaharuddin di Mersam
Guru Zaharuddin Asahan adalah salah satu ulama Nusantara yang mendapat izin mengajar di Masjid Al-Haram, Makkah. Banyak pelajar Sumatera yang belajar kepadanya, di antaranya adalah beberapa orang dari Mersam. Karena terpikat akan keilmuannya, mereka mengajak Guru Zaharuddin Asahan untuk ikut ke Mersam, mengajar di Madrasah Nurul Islam.
Entah pesona apa yang dimiliki oleh pelajar Mersam tersebut sehingga Guru Zaharuddin Asahan berkenan untuk mengajar di Mersam. Guru Zaharuddin Asahan tiba di Mersam pada tahun 1942.
Kedatangan ulama besar seperti Guru Zaharuddin Asahan tak pelak lagi membuat Mersam seperti terbakar api semangat. Tempat tinggal Sang Guru segera disiapkan. Madrasah Nurul Islam akan direnovasi menjadi lebih besar lagi. Jalan-jalan diperbaiki agar akses menuju madrasah menjadi lebih mudah.
Sayangnya Guru Zaharuddin Asahan tidak lama di Mersam. Rencana pembangunan Madrasah Nurul Islam gagal karena suatu masalah. Guru Zaharuddin Asahan pindah dari satu tempat ke tempat lain hingga beliau mendirikan Madrasah Nurul Jalal di Mangunjayo, Tebo 1955.
Di antara yang terpincut oleh kealiman Guru Zaharuddin Asahan adalah Guru Mansur. Karena Guru Mansur juga merupakan seorang pemuda yang alim, ia segera disukai oleh Guru Zaharuddin Asahan. Tiga tahun setelah ia belajar di Nurul Jalal, Guru Zaharuddin Asahan menikahkan anaknya Siti Khadijah dengan Guru Mansur. Ketika itu Guru Mansur berusia dua puluh dua tahun. Dari situlah muncul sebuah pantun yang populer di Mersam:
Wakwak pegi ke payo
Tibo di payo mengumpul paku
Guru Zaharuddin ambillah sayo
Sayo elok jadi menantu
Di sini keduanya membangun Madrasah Nurul Jalal hingga besar. Sepeninggal Guru Zaharuddin pada pada 1984, Nurul Jalal dipimpin oleh Guru Mansur hingga beliau wafat pada 2002.
Gemar Memberi Gelar
Ada satu hal yang begitu melekat di antara para murid Guru Mansur. Hal tersebut adalah kebiasaan Guru Mansur memberi gelar kepada para muridnya. Gelar tersebut bisa berasal dari mana saja. Umumnya di dapat dari peristiwa lucu yang berkaitan dengan murid.
Misalnya seorang murid yang bernama Zaharuddin (Jahar). Suatu ketika Jahar diminta Guru Mansur untuk mengecek buah pepaya yang masih di pohonnya. Mendapat perintah dari Sang Guru, Jahar pun dengan antusias melaksanakan titah guru.
Melihat Jahar sudah di dekat pohon buah pepaya, Guru Mansur kemudian bertanya bagaimana kondisi buah tersebut. Karena tahu Guru Mansur dari Mersam, spontan Jahar menjawab dengan bahasa Mersam “lah lonyek, Guru” (sudah lembek, Guru).
Guru Mansur merasa kata lonyek begitu unik dan membekas di benaknya. Sehingga setiap kali memanggil Jahar beliau selalu menyematkan kata lonyek di belakang namanya. Hingga kini Jahar dipanggil Jahar Lonyek karena peristiwa tersebut. Jahar pun begitu senang dengan kenang-kenangan yang diberikan gurunya tersebut.
Selain Jahar Lonyek ada banyak lagi murid Guru Mansur yang mendapat gelar darinya seperti Yadi Botot, Dokok, Tumenggung, dan lain-lain. Pemberian gelar ini bukan berarti Guru Mansur sedang membuli murid-muridnya. Hal ini ia lakukan untuk menjadi lebih akrab dengan mereka. Sekiranya mereka tidak senang diberi gelar oleh Guru Mansur, ia pun segera menghentikannya dan melarang murid lain untuk melakukannya.