Gus Dur: Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21

49 views

Kepergiannya ditangisi banyak orang. Kehadirannya selalu dirindukan. Laku hidupnya banyak dijadikan inspirasi dan teladan. Pemikiran dan gagasan-gagasannya menjadi angin segar di tengah kering-kerontangnya pada saat masyarakat Indonesia dalam situasi ‘moral’ yang disebut “krisis kemanusiaan”. Walaupun, kadang-kadang pemikirannya kerap mengundang polemik di tengah masyarakat (yang tidak memahami visi-misinya).

Itulah Gus Dur, sosok manusia multidimensi. Ia intelektual atau cendekiawan muslim, kiai sekaligus ulama, dan pejuang kemanusiaan yang cukup berpengaruh sampai saat ini. Meskipun Gus Dur telah lama meninggalkan kita, tetapi ia masih hidup dalam diri bangsa Indonesia melalui pemikiran atau gagasan-gagasan yang ditelurkannya. Yang menarik, ia tidak sekadar fenomenal di kalangan umat muslim, terutama Nahdlatul Ulama (NU), juga di kalangan non-muslim. Sehingga, mencari sosok seperti Gus Dur teramat sulit, apalagi untuk saat ini.

Advertisements

Semasa hidup, Gus Dur memang dikenal dengan ungkapan-ungkapannya yang ganjil. Salah satunya, “Tuhan tidak perlu dibela karena Tuhan sudah Maha Segalanya. Tetapi belalah mereka-mereka yang diperlakukan tidak adil dan diskriminatif”. Walau begitu, Gus Dur adalah termasuk aktivis kemanusiaan. Ia memperjuangkan kesetaraan umat manusia, terutama di Indonesia, baik melalui karya, pemikiran maupun laku hidup sehari-hari.

Tidak berlebihan jika penulis menjuluki Gus Dur sebagai bapak sosialisme dari pesantren abad ke-21 ini. Mengapa? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu saja, memerlukan argumentasi dan analisa yang kuat dengan menelisik rekam jejak dan sepak terjang perjuangan Gus Dur.

Secara pribadi, penulis tidak mengenal sosok Gus Dur bahkan tidak pernah berjabat tangan secara langsung. Penulis hanya mengenal dari buah pemikiran dan gagasannya yang ditelurkan dalam sebuah karya. Hasil dari pengamatan penulis dari apa yang dibaca, dilihat, dan dicermati ihwal perjalanan hidup dan sepak terjangnya, terutama dalam kemasyarakatan dan keberagamaan, dapat direfleksikan ke dalam 4 hal mengapa Gus Dur oleh penulis layak dijuluki Bapak sosialisme di abad ke-21 ini.

Pertama, Gus Dur seorang pesantren tulen. Sudah jamak diketahui bersama bahwa pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Sebagai lembaga tertua, pesantren memainkan peranan penting dalam penyebaran dakwah Islam di bumi Nusantara. Sejak kali pertama berdiri, pesantren mendeklarasikan diri sebagai lembaga pusat kajian ilmu-ilmu keislaman (tafaqquh fid-dien). Kontribusinya begitu besar terhadap tegaknya Islam Ahlussunnah Waljamaah sampai saat ini.

Kendati demikian, misi utama pesantren adalah membentuk akhlak seorang santri, selain mencetak para kader-kader ulama. Alih-alih mengajarkan ilmu-ilmu agama, akhlaklah yang diutamakan. Tidak mengherankan, jika di pesantren akhlak memiliki posisi (kedudukan) yang strategis bahkan menjadi prioritas utama.

Tak hanya itu, pesantren juga mengajarkan tentang pentingnya sikap toleransi terhadap sesama, baik kepada santri ataupun non-santri. Dengan posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, adalah wajar jika pesantren tidak membedakan status sosial dan kelas masyarakat. Artinya, siapa saja yang berkeinginan untuk mempelajari atau memperdalam pengetahuan keagamaan Islam, diperbolehkan memasuki lembaga tersebut.

Sejarah mencatat bahwa pesantren, dengan model dan sikapnya yang demokratis-egaliter, menjadikannya sebagai lembaga yang banyak diminati oleh masyarakat. Bahkan, di masa awal berdirinya pesantren, masyarakat secara sukarela dan berbondong-bondong mendatanginya guna untuk memeluk agama Islam.

Sebagai orang yang dilahirkan dari rahim pesantren dan keluarga yang taat beragama, yang termasuk cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari dan putra dari Menteri Agama Pertama pada masa pemerintahan Orde Lama (Soekarno), KH Wahid Hasyim, adalah laku hidupnya yang acapkali mencerminkan sosok seorang santri tulen atau agamawan sejati. Walaupun ia berada dalam situasi dan kondisi yang berbeda.

Ini artinya, tempaan pendidikan keluarga dan lingkungan pesantren (tempat Gus Dur dibesarkan) serta model pendidikan pesantren yang demokratis-egaliter itu, mengantarkan Gus Dur menjadi sosok yang memiliki pemahaman keagamaan yang kuat, selain memiliki kepribadian luhur. Dengan bermodalkan pengetahuan keagamaan yang mendalam, terutama pemahaman akan Islam sebagai Rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin) menjadikan Gus Dur sosok yang memiliki sikap toleransi kuat, dan bahkan beliau telah menerapkan dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata.

Kedekatannya dengan umat dan para pemuka agama, baik Islam maupun non-muslim adalah salah satu wujud konkret Gus Dur. Juga keberpihakannya terhadap kelompok minoritas, termarginalkan, rasa toleransi dan penghormatannya terhadap agama dan keyakinan yang berbeda dengan Gus Dur. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa betapa percaya dirinya Gus Dur akan ajaran agama yang diyakininya. Ini juga sebagai bukti konkret bahwa dirinya sebagai sosok seorang tokoh humanis sejati. Maka tidak mengherankan, apabila Gus Dur banyak dihormati dan disegani oleh banyak orang. Bukan hanya umat Islam, melainkan juga non-muslim.

Kedua, Gus Dur seorang negarawan sejati. Walaupun masa pemerintahan Gus Dur tak bertahan lama, tetapi ia telah banyak menorehkan prestasi yang gemilang dengan melakukan terobosan-terobosan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Demokrasi dan kesetaraan (egalitarian), terutama dalam bidang hak-hak sosial dan politik warga negara, adalah prioritas utama. Sehingga, sekat-sekat diskriminasi dan kebebasan yang sudah lama mati Gus Dur buka kembali.

Tentu saja, ini menjadi angin segar bagi kelompok minoritas yang pada awalnya dimarginalkan. Namun setelah Gus Dur menjabat presiden, mereka memiliki kesempatan untuk turut serta memutuskan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini merupakan langkah yang tepat bagi seorang Gus Dur guna menghindarkan gerakan separatisme yang mulai bermunculan kala itu. Juga, kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkebudayaan beliau beri ruang untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan keberagaman bangsa Indonesia.

Bagi Gus Dur, kebebasan dan kemerdekaan adalah hak bagi setiap warga negara. Negara wajib melindunginya sesuai dengan konstitusi. Perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas dan ter-marginalkan wajib dilakukan dikarenakan termasuk dari amanat Undang-Undang Dasar. Artinya, keberagaman atau pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia adalah suatu keniscayaan yang wajib diakui dan dijaga sebagai bentuk komitmen bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perundang-undangan yang dianggap tak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, oleh Gus Dur dihapus. Bahkan, pada masa pemerintahannya, Gus Dur pernah bersitegang atau bertentangan dengan MPR dan DPR dengan dikeluarkannya dekrit pembubaran akan lembaga tersebut. Pertentangan ini mencapai klimaks dengan pemakzulan Gus Dur dari jabatannya sebagai Presiden. Sebagai konsekuensi logis atas kebijakannya, Gus Dur dengan jiwa besar menerima pelengseran tersebut.

Walaupun berakhirnya Gus Dur sebagai pemimpin negeri ini secara tidak terhormat, tetapi masih banyak rakyat yang mencintainya. Hal ini dikarenakan model dan cara Gus Dur memimpin begitu dekat dan bermuara pada kepentingan rakyat bahkan kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Dalam kepemimpinannya, Gus Dur berpedoman pada kaidah tasharuf al-Imam ala ar-ra’iyyah manutun bi al-maslah (kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyatnya harus mempertimbangkan kesejahteraan mereka). Tipologi inilah yang membuat Gus Dur selalu melekat dalam hati sebagian besar masyarakatnya bahkan hingga berpulangnya ke sisi Allah swt.

Ketiga, Gus Dur seorang cendekiawan atau intelektual. Selain memperdalam ilmu di pesantren, Gus Dur juga pernah mengenyam pendidikan tinggi, khususnya tentang keagamaan pada Fakultas Syariah Universitas Al-azhar, Kairo, Mesir (1964-1966) serta kiprahnya di pelbagai organisasi keagamaan, baik tingkat nasional maupun dunia, mengantar Gus Dur sebagai sosok pribadi yang mempunyai pengetahuan luas, mendalam, dan universal.

Berbagai ilmu pengetahuan ia pelajari dan beberapa bahasa juga dikuasainya. Ini menunjukkan bahwa Gus Dur adalah seorang cerdik-cendekia yang pernah dimiliki bangsa ini. Komitmen dan kecintaannya akan ilmu pengetahuan tak ada seorang pun yang meragukan. Kebebasan intelektual yang selama ini Gus Dur perjuangkan patut kita kagumi dan teladani. Pemikirannya sangat khas. Ia mengkomparasikan antara pemikiran ke-Islam-an dengan ke-Indonesia-an dalam konteks bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah autentisitas pemikiran Gus Dur yang jarang dimiliki kebanyakan orang.

Kapasitas keilmuan yang dimiliki dan diyakini menjadikan Gus Dur senantiasa berpedoman pada Al-Quran dan hadis sebagai landasan berpikir dan bertindaknya. Artinya, sebagai Muslim yang taat beragama, Gus Dur dalam melakoni hidup, selain berikhtiar, ia juga melakukan penyerahan secara total kepada Sang Pencipta (Allah Swt.). Juga menjalankannya dengan sikap rendah hati, santun, tegas, lugas, dan tanpa beban sedikit pun. Dari apa yang dipahami dan amalkan dalam laku hidupnya, menunjukkan bahwa Gus Dur seorang Muslim yang merepresentasikan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.

Keempat, Gus Dur seorang pejuang kemanusiaan. Dalam memperjuangkan kemanusiaan, Gus Dur tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dalam ajaran Islam. Sebab, bagi Gus Dur, sejak kali pertama Islam diturunkan membawa misi dan pesan-pesan perdamaian bagi umat manusia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta memberikan penghargaan terhadap kehidupan sosial.

Seperti sudah jamak diketahui bersama bahwa Islam menaruh perhatian lebih pada manusia (sangat memuliakan). Ini bisa ditilik dari perlindungan Islam atas hak dasar manusia, yaitu hak hidup, hak beragama, hak kepemilikan, hak profesi, dan hak berkeluarga. Karena itu, memperjuangkan kemanusiaan adalah perintah mutlak yang langsung berasal dari Tuhan. Dan Gus Dur, sudah melakukan hal ini dalam bentuk sikap dan perbuatannya selama ini.

Keberpihakan Gus Dur terhadap wong cilik, kelompok minoritas, dan termarginalkan, merupakan bukti konkret dari perjuangannya. Artinya, Gus Dur berupaya menjembatani antara Islam, kemanusiaan, dan kebudayaan di ranah kebangsaan dengan komitmennya atas kesejahteraan umat manusia, terlebih warga negara Indonesia. Dengan kata lain, perjuangan yang dilakukan Gus Dur adalah sebuah proses memanusiakan manusia tanpa memandang perbedaan secara primordial setiap individu.

Sebagaimana ungkapannya yang sudah masyhur di telinga kita, yakni “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya”.

Namun demikian, bapak sosialisme dari pesantren abad ke-21 yang kontribusinya begitu besar terhadap bangsa Indonesia secara khusus dan dunia secara umum, kini telah lama meninggalkan kita, tepatnya tahun 2009 (12 tahun) silam. Walau begitu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tetap hidup sampai saat ini melalui wacana pemikiran, gagasan, dan teladan hidup yang diwasiatkan pada kita semua. Ini berarti, tanggung jawab sekarang ada ditangan kita semua sebagai generasi penerus bangsa yang mencintainya. Lantas apa yang sekarang dapat kita lakukan untuk melanjutkan tugas dan tanggung jawab yang tengah diwariskan tersebut? Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan