Gus Hikam Mencari Surga

49 views

“Apakah menurut Abah Yai seluruh amal ibadahku sudah cukup untuk menjadi penghuni surga?” Gus Hikam bertanya kepada Abah Yai dengan raut wajah penuh pengharapan.

“Memangnya mengapa engkau bertanya seperti ini padaku? Tidakkah baik buruknya manusia hanya Allah yang mengetahui?” seseorang yang disebut Abah Yai itu merasa kebingungan mendapat pertanyaan Gus Hikam tersebut.

Advertisements

“Engkau benar, Abah. Tapi setidaknya sekarang saya sudah menyempurnakan rukun Islam yang kelima.”

Abah Yai semakin terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Gus Hikam. Abah Yai adalah seorang pimpinan pondok pesantren. Nama aslinya adalah Khalid bin Hasan. Akan tetapi, orang-orang sekitar maupun para santri memanggilnya Abah Yai. Dipanggil Abah mungkin karena usianya yang sudah sepuh, serta panggilan Yai diambil dari kata kiai, agar lebih mudah diucapkan.

Pagi ini, Abah Yai bersama Gus Hikam baru pulang menunaikan ibadah haji. Sembari menunggu bus yang akan mengantarkan mereka ke rumah masing-masing, terjadi perbincangan hangat di antara mereka berdua.

“Coba ceritakan,” Abah Yai diam sejenak memandang wajah Gus Hikam yang ada di sampingnya sekilas, lalu tersenyum, “Apa gerangan yang membuat engkau begitu yakin bahwa seluruh amalmu mampu membawamu ke dalam surga?”

“Tidakkah engkau sudah mengenalku lama, Abah? Aku adalah seorang ahli ibadah. Siang dan malam waktuku hanya untuk beribadah kepada Allah. Setiap malam aku juga selalu terjaga dari tidur, untuk bersujud kepada Allah. Bukankah Allah menjamin surga bagi hamba-Nya yang rajin salat tahajud?”

Abah Yai manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya yang sudah memutih sembari mendengar cerita Gus Hikam. Sebenarnya ia pun sudah lama mengenal Hikam, si ahli ibadah. Orang-orang memanggilnya demikian, karena di usianya yang terbilang masih muda, Gus Hikam menjadi panutan di kampungnya. Sebab, ia tak pernah alpa melaksanakan salat wajib maupun salat sunah.

Sebelum menjadi seperti sekarang ini, Gus Hikam dulunya juga merupakan santri di pondok pesantren yang dipimpin oleh Abah Yai. Hingga saat beranjak remaja, Gus Hikam semakin menunjukkan kesalehannya. Gus Hikam bukanlah seorang putra kiai, hingga mendapat gelar “Gus”. Ia hanyalah putra dari pasangan yang sama-sama petani. Bapaknya sudah meninggal saat Gus Hikam berusia dua tahun. Ia tinggal berdua bersama ibunya di gubuk dekat area pemakaman. Namun, meski bukan lahir dari keluarga kiai, atau pun memiliki darah ulama, dari sisi keilmuannya yang tinggi dan perilaku sosialnya yang mulia, Hikam dianggap pantas menyandang gelar “Gus”. Dari sanalah derajat keluarga Gus Hikam mulai terangkat.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan