“Apakah menurut Abah Yai seluruh amal ibadahku sudah cukup untuk menjadi penghuni surga?” Gus Hikam bertanya kepada Abah Yai dengan raut wajah penuh pengharapan.
“Memangnya mengapa engkau bertanya seperti ini padaku? Tidakkah baik buruknya manusia hanya Allah yang mengetahui?” seseorang yang disebut Abah Yai itu merasa kebingungan mendapat pertanyaan Gus Hikam tersebut.
“Engkau benar, Abah. Tapi setidaknya sekarang saya sudah menyempurnakan rukun Islam yang kelima.”
Abah Yai semakin terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Gus Hikam. Abah Yai adalah seorang pimpinan pondok pesantren. Nama aslinya adalah Khalid bin Hasan. Akan tetapi, orang-orang sekitar maupun para santri memanggilnya Abah Yai. Dipanggil Abah mungkin karena usianya yang sudah sepuh, serta panggilan Yai diambil dari kata kiai, agar lebih mudah diucapkan.
Pagi ini, Abah Yai bersama Gus Hikam baru pulang menunaikan ibadah haji. Sembari menunggu bus yang akan mengantarkan mereka ke rumah masing-masing, terjadi perbincangan hangat di antara mereka berdua.
“Coba ceritakan,” Abah Yai diam sejenak memandang wajah Gus Hikam yang ada di sampingnya sekilas, lalu tersenyum, “Apa gerangan yang membuat engkau begitu yakin bahwa seluruh amalmu mampu membawamu ke dalam surga?”
“Tidakkah engkau sudah mengenalku lama, Abah? Aku adalah seorang ahli ibadah. Siang dan malam waktuku hanya untuk beribadah kepada Allah. Setiap malam aku juga selalu terjaga dari tidur, untuk bersujud kepada Allah. Bukankah Allah menjamin surga bagi hamba-Nya yang rajin salat tahajud?”
Abah Yai manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya yang sudah memutih sembari mendengar cerita Gus Hikam. Sebenarnya ia pun sudah lama mengenal Hikam, si ahli ibadah. Orang-orang memanggilnya demikian, karena di usianya yang terbilang masih muda, Gus Hikam menjadi panutan di kampungnya. Sebab, ia tak pernah alpa melaksanakan salat wajib maupun salat sunah.
Sebelum menjadi seperti sekarang ini, Gus Hikam dulunya juga merupakan santri di pondok pesantren yang dipimpin oleh Abah Yai. Hingga saat beranjak remaja, Gus Hikam semakin menunjukkan kesalehannya. Gus Hikam bukanlah seorang putra kiai, hingga mendapat gelar “Gus”. Ia hanyalah putra dari pasangan yang sama-sama petani. Bapaknya sudah meninggal saat Gus Hikam berusia dua tahun. Ia tinggal berdua bersama ibunya di gubuk dekat area pemakaman. Namun, meski bukan lahir dari keluarga kiai, atau pun memiliki darah ulama, dari sisi keilmuannya yang tinggi dan perilaku sosialnya yang mulia, Hikam dianggap pantas menyandang gelar “Gus”. Dari sanalah derajat keluarga Gus Hikam mulai terangkat.
Gus Hikam juga kerap mengisi pengajian di kampung-kampung. Jemaahnya pun sangat banyak bila ia yang menjadi mubalig. Bahkan Gus Hikam menjadi idola kaum ibu, selain karena pemahaman agamanya yang cukup mumpuni, ia juga memiliki paras yang tampan. Tak ayal banyak gadis di kampungnya mendambakan Gus Hikam untuk mempersuntingnya.
“Benar apa yang kau ucapkan itu, Gus. Lalu amalan apalagi yang telah kau perbuat untuk memastikan diri menjadi penghuni surga?”
“Saya juga seseorang yang gemar bersedekah kepada orang yang lebih membutuhkan. Bahkan sebagian harta yang saya miliki, saya belanjakan di jalan Allah,” ucapnya penuh keyakinan.
Abah Yai terus bertanya perihal amalan Gus Hikam. Sampai pada akhirnya, Abah Yai bertanya perihal sikap Gus Hikam terhadap keluarga, sanak saudara, tetangga, bahkan saudara sesama muslim. Semuanya dijawab oleh Gus Hikam dengan baik, kecuali perihal Ibu.
“Sungguh, aku telah berbuat baik kepada saudara, tetangga, bahkan saudara sesama muslim. Tetapi ada satu yang belum saya perlakukan dengan baik.” Gus Hikam terdiam sejenak. Wajahnya menunduk. Tiba-tiba air bening mengalir dari sepasang mata Gus Hikam. Sementara Abah Yai tetap setia menunggu santrinya tersebut melanjutkan ceritanya.
“Sa—saya belum,” Gus Hikam menghentikan ucapannya sembari mengusap air mata di kedua pipinya, “Saya belum memperlakukan ibu saya dengan baik, Kiai.”
“Apa maksudmu, Gus? Tidakkah engkau seorang pendakwah, yang selalu mengajarkan jemaahmu untuk berbuat baik kepada ibu dan bapak? Mengapa engkau belum memperlakukan ibumu dengan baik?” Abah Yai memotong ucapan Gus Hikam, karena tidak percaya seorang dai semacam Gus Hikam belum memperlakukan ibunya dengan baik.
Pikiran Gus Hikam berputar pada hari di mana ia hendak berangkat haji.
“Kemarin, saya bertekad untuk berangkat haji dalam keadaan ekonomi yang masih serba kekurangan. Pada saat yang bersamaan, ibu saya sakit. Namun, saya tetap bersikeras untuk pergi ke Tanah Suci,” ungkap Gus Hikam.
Masih terngiang dalam pikiran Gus Hikam ketika ia lebih mementingkan pergi ke Tanah Suci daripada merawat ibunya yang sedang sakit. Kala itu, Gus Hikam amat mendambakan untuk menginjakkan kaki di Tanah Suci, mencium Hajar Aswad, dan salat di dekat Kakbah.
“Apa kau menginginkan mengunjungi Tanah Suci, wahai anakku?” tanya ibunya.
Gus Hikam hanya mengangguk sembari menatap lekat wajah renta ibunya.
“Kau juga menginginkan surga?” lanjut ibunya.
Kali ini tak ada respons dari Hikam. Ia berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jawaban apa pun untuk ibunya. Ia tahu, bahwa ibunya tak memiliki uang yang cukup untuk memberangkatkan dirinya ke Tanah Suci. Untuk itu, siang dan malam waktunya ia gunakan untuk bekerja, demi mengumpulkan uang untuk berangkat haji. Meskipun sibuk bekerja, Gus Hikam tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat.
Akibat kesibukan Gus Hikam dalam mengumpulkan uang dan memperbanyak amal ibadah, ia sudah jarang memperhatikan ibunya. Ia jarang sekali ada di rumah. Pergi selepas subuh, dan pulang hingga larut malam. Bagi Hikam, wajib rasanya mengunjungi Tanah Suci, apalagi ia seorang pendakwah. Tak lengkap rasanya jika seorang pendakwah tak menyandang gelar “Haji”.
Hingga saat impiannya hampir terwujud, tepatnya 40 hari sebelum keberangkatannya ke Tanah Suci, ibunya jatuh sakit. Gus Hikam dilanda kebimbangan. Di satu sisi impiannya sudah hampir terwujud, namun di sisi lain ibunya tak ada yang merawat. Akhirnya Gus Hikam memutuskan untuk tetap berangkat ke Tanah Suci. Ia bisa menitipkan ibunya kepada tetangganya selama ia di Tanah Suci.
“Jadi, kau memilih berangkat haji daripada mengurus ibumu yang sedang sakit?” pertanyaan Abah Yai membangunkan lamunan Gus Hikam.
Abah Yai menatap tajam wajah Gus Hikam. Tak ada jawaban keluar dari mulut Gus Hikam. Wajah Abah Yai seperti kecewa mendengar pengakuan Gus Hikam terkait keputusannya itu.
“Kau bukan ahli surga, wahai Gus Hikam.” Suara Abah Yai sedikit meninggi, disertai dengan penekanan.
Gus Hikam tiba-tiba terperagah. Ia agak sakit hati dengan ucapan gurunya itu. Namun, Gus Hikam mencoba untuk tetap tenang.
“A—apa? Apa yang membuat Abah Yai berkata demikian? Apakah amalan saya selama ini masih belum cukup untuk menggapai surganya Allah?”
“Aku bukanlah seseorang yang berhak menghukumi sesuatu. Apalagi menghukumi sesuatu yang bukan porsinya. Sungguh, surga dan neraka itu urusan Illahi. Aku berlindung dari godaan setan yang terkutuk,” Abah Yai berkali-kali mengucap istighfar setelahnya.
Gus Hikam semakin kebingungan dengan ucapan gurunya itu.
“Al-jannatu tahta aqdaamil ummahaat. Surga itu di bawah telapak kaki ibu.” Abah Yai berhenti sebentar dan menghela napas panjang, “Biarpun salatmu beribu-ribu rakaat, sedekahmu berjuta-juta dinar, hajimu berkali-kali, tapi saat kau gores hati ibumu, surga bukan lagi milikmu,” lanjut Abah Yai.
Ucapan Abah Yai sangat menohok batin Gus Hikam. Ia menyesali atas perbuatannya. Keinginannya untuk melaksanakan Rukun Islam yang kelima, justru mengabaikan ibunya sendiri.
“Kau menginginkan surga, Gus?” tanya Abah Yai lagi, “Lekas pulanglah! Surgamu ada di rumah!” tukasnya.
Usai mendengar titah Abah Yai, perbincangan berhenti sampai di situ. Sementara bus terus melaju mengantarkan jemaah haji dan Gus Hikam terus bergolak dengan penyesalannya.
Setibanya di tempat pemberhentian jemaah haji, Gus Hikam segera pulang ke rumah. Kurma dan air zamzam pun tak luput ia bawa untuk ibunya.
Sesampainya di rumah, Gus Hikam mencari keberadaan ibunya. Dilihatnya seorang perempuan renta terbaring di atas kasur. Namun, ibunya sedang tertidur pulas. Gus Hikam tak ingin mengganggunya, lantas ia mengurungkan niatnya untuk meminta maaf.
Keesokan harinya, Gus Hikam kembali menemui ibunya di kamar. Segelas air zamzam dan lima butir kurma ia bawakan untuk ibunya. Keinginan ibunya untuk mengecap segarnya mata air dari Masjidilharam itu serta manisnya buah kurma akan segera terpenuhi, pikir Gus Hikam. Namun, lagi-lagi ibunya masih dalam keadaan tertidur. Gus Hikam mencoba membangunkan, berkali-kali ia menggoyangkan tubuh renta ibunya, namun masih tidak ada respons.
Rasa cemas pun melanda Gus Hikam. Deru napas dari hidung ibunya tak terasa. Nadinya pun sudah tak berdetak. Ia mulai menyadari bahwa ibunya telah pergi. Di hadapannya sekarang ini hanyalah jasad yang telah terbujur kaku. Betapa penyesalan amat dirasakannya. Bahkan ibunya pergi saat ia tak ada di sampingnya.
Terlambat Gus Hikam menyadari itu semua. Ucapan maaf terus keluar dari bibir mubaligh itu. Diciumnya kaki legam ibunya berkali-kali, yang konon katanya menyimpan surga di bawahnya.
Yogyakarta, Mei 2021.
Ilustrasi: “Nuriah” karya Jeihan dari www.dkv-unm.com.