Hari-hari ini, nyaris tak ada yang selantang Gus Islah dalam menantang gerakan Wahabisme-Salafisme atau intoleranisme, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme atas nama agama. Biasanya, meskipun menolak, mayoritas yang berpaham moderat lebih banyak diam, menjadi silent majority. Tapi kini telah muncul penantang dengan suara lantang yang datang dari Pulau Garam, Madura.
Namanya Islah Bahrawi, biasa disapa Gus Islah. Pria bertubuh gempal ini dilahirkan di Bangkalan, Madura, pada 21 April 1971 dari pasangan H Bahrawi Qorib dan Hj Faizah Zayyadi. Gus Islah memulai pendidikan dasar di SDN Kranggan Timur, Kecamatan Galis, Bangkalan, tahun 1977. Kemudian, ia melanjutkan ke SMPN 1 Blega dan seterusnya ke ke SMAN 2 Bangkalan. Saat duduk di bangku SMA inilah, Gus Islam mulai nyantri di Pondok Pesantren Syaikhona Muhammad Kholil, Demangan.
Dari kecil, Gus Islah lebih banyak diasuh oleh kakeknya yang seorang kiai di Madura. Kakek Gus Islah ini teman seangkatan dengan Kiai Asad Syamsul Arifin, Situbondo, Jawa Timur. Gus Islah harus tinggal bersama kakeknya karena kedua orangtuanya harus bermukim di Jakarta lantaran tidak aman di Madura. Musababnya, orang tuanya menjadi incaran penguasa lantaran getol berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di zaman itu, berafiliasi selain dengan Golongan Karya (Golkar) dianggap “musuh” penguasa.
Adu Nasib ke AS
Setelah lulus SMA pada 1989, Gus Islah menyusul kedua orangtuanya ke Jakarta. Meskipun lahir dari keluarga kurang mampu yang berjualan besi tua, Gus Islah ngotot untuk bisa kuliah. Di Ibu Kota, Gus Islah mengambil studi Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Nasional (Unas). Agar kuliahnya tak putus di tengah jalan, Gus Islah nyambi bekerja. Saat itu, ia bekerja sebagai wartawan Suara Pembaharuan selama 2,5 tahun. Di samping itu, ia juga mendirikan perusahaan kontraktor pameran bersama dengan seorang temannya.
Setelah lulus kuliah, pada 1997 Gus Islah menikahi Musdalifah dan terus melanjutkan usahanya. Sayangnya, bisnisnya ikut terdampak krisis moneter dan ia harus terlilit utang yang ketika itu nilainya sekitar Rp 400 juta. Gus Islah akhirnya memutuskan untuk merantau ke Amerika Serikat mencari kerja. Ia berangkat ke negeri Paman Sam dengan mengikuti program pemberangkatan mahasiswa untuk memperlancar mendapatkan visa.
Semula, karena visanya untuk belajar, Gus Islah mencoba mencari lembaga pendidikan untuk belajar di Virginia. Namun, di lembaga yang dituju itu nama Islah Bahrawi tak tercatat. Ia kemudian pergi ke New York, dan berharap bisa survive meskipun tidak memiliki siapa-siapa. Namun, semua itu di luar ekspektasi. Selama tujuh bulan di New York, Gus Islah menjadi gelandangan dan hanya bisa tidur di pinggir jalan. Ketika lapar, ia harus mengais sisa-sisa makanan di belakang restoran.
Akhirnya, untuk bertahan hidup, Gus Islah bekerja di sebuah restoran dengan tugas mencuci piring. Setelah memiliki cukup uang, dia memilih pindah ke California agar bisa tinggal bersama saudaranya. Untuk memperpanjang visanya, Gus Islah mencari lembaga pendidikan, dan bisa masuk Zaytuna Institut yang saat itu mahasiswanya baru 9 orang. Setelah terjadi serangan bom Menara Kembar pada 2021, visanya tak diperpanjang dan terpaksa Gus Islah kembali ke Tanah Air pada 2004.
Dicari Densus 88
Kesulitan hidup di negeri Paman Sam itu tak menyurutkan ghirah Gus Islah untuk mendalami banyak disiplin ilmu. Setidaknya, selama berada di AS, Gus Islah sudah melahap sekitar 2000 buku, terutama dalam bidang filsafat, filsafat Islam, dan sejarah Islam. Buku-buku yang dilahap datang dari berbagai periode dan bahasa. Mulai dari kitab-kitab klasik berbahasa Arab karya sarjana-sarjana muslim awal sampai terbitan modern berbahasa Inggris karya sarjana-sarjana non-Muslim.
Sayangnya, ketika berada di Tanah Air, Gus Islah sempat tersandung masalah hukum dan harus menjalani kurungan penjara selama 22 bulan. Rupanya, selama dalam penjara, Gus Islah semakin menggilai bacaan. Selama dalam penjara itu Gus Islah telah membaca 2000 buku, termasuk buku-buku filsafat non-Islam.
Dengan literatur yang demikian kaya dan beragam, setelah keluar dari penjara, Gus Islah mulai menuliskan pemikiran-pemikirannya, gagasan-gagasan atau ide-idenya melalui media sosial (medsos), di antaranya di Instagram, Facebook, dan Twitter. Selain itu, ia juga membuat video tentang kerusuhan-kerusuhan radikalisme dan tinjauan terorisme 2000-2009 yang diunggah di medsosnya. Tulisan-tulisan dan video-videonya yang diunggah di medsos itu didasari dari pengalaman saat mempelajari tentang radikalisme dan terorisme di beberapa negara konflik, seperti Afrika, India, dan Pakistan.
Selain itu, Gus Islah juga menulis buku, di antaranya Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish Madjid dan Intoleransi dan Radikalisme Kuda Troya Politik dan Agama. Karena tulisan-tulisannya itu, Gus Islah akhirnya dicari-cari Detasemen Khusus Antiteror 88 Kepolisian Indonesia. Gus Islah diminta semakin banyak membuat tulisan-tulisan dengan misi mengadang gerakan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Bahkan, kemudian, Gus Islah diangkat menjadi tenaga ahli bidang Pencegahan Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme Markas Besar Kepolisian Indonesia.
Menantang Wahabisme
Beberapa tahun belakangan, Gus Islah yang juga menjadi Direktur Jaringan Islam Moderat ini jarang berada di rumah bersama keluarga. Waktunya lebih banyak dihabiskan di jalanan, mengunjungi berbagai daerah di seluruh Indonesia untuk memberikan pemahaman bahwa paham-paham yang penyebarannya dimotori kelompok Wahabi-Salafi adalah penyesatan dan penuh kebohongan.
Sekali waktu kita akan melihat Gus Islah berbicara, secara berapi-api, di depan murid-murid SMA di suatu daerah. Di lain waktu, ia terlihat memberikan presentasi di depan aparat kepolisian atau pemerintah. Sering pula Gus Islah berbicara lantang di depan kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, atau dari layar televisi.
Di mana-mana, kapan saja, Gus Islah selalu berteriak dengan lantang bahwa sistem khilafah yang didengung-dengungkan sebagai sistem yang diciptakan oleh Allah atau didasarkan pada perintah Tuhan dan Nabinya adalah bohong belaka. Menurutnya, tak ada sistem khilafah pasca kenabian, dan Nabi Muhammad pun tidak meninggalkan sistem pemerintahan yang baku.
“Semua itu hanya akal-akalan yang dibuat oleh kelompok Khawarij yang diteruskan kelompok Wahabi-Salafi untuk berebut kekuasaan atas nama agama. Pengikut Wahabi-Salafi yang tidak percaya, ayo saya tantang berdebat untuk membuktikan kebenarannya,” demikian ungkapan yang sering dilantangkan Gus Islah di berbagai kesempatan.
Berdasarkan literatur klasik, kitab-kitab yang dikarang sarjana-sarjana muslim awal, Gus Islah memastikan bahwa dalam periode Khalifatur Rasyidin, yang berlaku adalah sistem musyawarah (syuro )—bagian dari demokrasi di era modern. Dan sistem itu sudah ada sejak zaman Romawi yang disebut res publica romana. Kemudian, di zaman Khalifah Dinasti Muawiyah, yang berlaku adalah sistem mamluk atau kerajaan. Sistem ini juga sudah ada ratusan tahun sebelum Islam lahir, yang disebut monarki absolut. Begitu pula di masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah yang menerapkan sistem ahlul halli wal aqdi. Sistem ini pernah diterapkan di Byzantium jauh sebelum Islam.
Jadi, di mata Gus Islah, khilafahisme tak lain sekadar perebutan politik kekuasaan dengan menunggangi agama. Gerakan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme yang telah menjadi ideologi transnasional yang mendesakkan sistem khilafah ini, menurut Gus Islah, harus dilawan karena membahayakan keutuhan bangsa Indonesia.
“Ayo kita lawan gerakan mereka,” ajakan ini sering diteriakkannya di berbagai tempat, sesering ia menerima ancaman persekusi dan pembunuhan. Ia mengaku sudah mewakafkan hidupnya untuk menentang dan menantang gerakan yang disokong kelompok-kelompok Wahabi-Salafi ini.
Jangan biarkan Gus Islah sendirian…