Awan bergumpal-gumpal di langit desa Mentaraman. Hamparan biru dengan luas tak terukur yang menjadi atap bumi itu berselubung gelap. Di balik kegelapan awan sang mentari sedang bermuram durja. Tak berapa lama kemudian turun gerimis. Dalam hitungan detik, rintik hujan itu kemudian berubah menjadi hujan lebat. Bau tanah basah menyeruak. Ladang-ladang tandus yang retak oleh keringnya kemarau pun perlahan mengatup. Penantian para petani akan turunnya hujan telah terbayar lunas hari ini. Orang-orang pinggiran penghuni desa di tepi laut selatan itu pun bersorak- sorai.
Ketika orang-orang itu sedang merayakan kebahagiaan, seorang bocah dengan wajah bekunya sedang mengamati kucuran air hujan yang turun di teras rumahnya. Walaupun kedua bola matanya menatap tetesan air hujan itu namun kentara sekali bukan itu yang sedang dipikirkannya. Dia sedang meratapi betapa malang hidupnya. Wajahnya pias. Tak ada rona kebahagiaan sedikit pun. Sesekali ia mengamati anak-anak kecil bertelanjang dada yang berlari ke sana-ke mari di bawah derasnya guyuran air hujan. Namun keceriaan kedua anak kecil itu harus terhenti ketika ibu mereka datang memarahi.
Rumah Gus Jaka, bocah pemilik wajah murung itu, sedang ramai. Sanak keluarganya sedang berkumpul. Akan tetapi, untuk hari-hari selanjutnya rumah berdinding anyaman bambu itu akan mendulang sepi. Gus Jaka akan menghuninya seorang diri. Bapaknya telah wafat seminggu yang lalu. Dan sore ini bertepatan dengan acara kenduri tujuh harinya. Bocah kelas enam SD itu kini menjadi yatim piatu. Ibunya telah meninggal beberapa jam setelah melahirkan dirinya, dua belas tahun yang lalu. Entah dia akan hidup dengan siapa setelah hari-hari ini berlalu. Kehidupan suram membayangi masa depannya.
Seorang lelaki tua dengan titik-titik air menghiasi sebagian tubuhnya datang membawa setumpuk daun jati. Daun-daun berukuran lebar itu akan digunakan untuk membungkus nasi kenduri nanti malam.
“Ditaruh di mana daun jatinya ini, Yu?” tanya orang itu.
“Oalah kok repot-repot to, Lek Di? Ya sudah, ditaruh di atas dingklik saja,” jawab Yu Mes. Bibi Gus Jaka itu kemudian mengambil baju untuk dikenakan anak-anaknya.
Sementara itu, wajah murung Gus Jaka mengundang simpati Mukidi, lelaki pembawa daun jati dengan songkok berbeludru mengelupas di sana-sini yang bertengger di kepalanya. Sesekali mulut Mukidi menyedot rokok tingwe yang sedari tadi dia pegang. Kepulan asap disertai bau tembakau yang khas itu segera menguar di awang-awang.
“Gus Jaka sudah makan apa belum?” tanya Mukidi sambil mengelus pundak putra almarhum Mbah Syairozi itu.
Gus Jaka menjawab dengan gelengan kepala. Mukidi dapat memaklumi sikapnya. Anak itu sedang dirundung nestapa. Kepergian orang tua satu-satunya itu jelas merupakan pukulan telak bagi jiwanya, apalagi bagi anak seusia dirinya.
“Kata Mbah Rozi sebelum wafat, sampeyan akan dititipkan ke Kiai Dul. Sudah tahu Cah Bagus?” tanya Mukidi. Sebagai orang yang lama mengabdi pada Mbah Syairozi, Mukidi kerap mendapat pesan pribadi hingga hal-hal yang berkaitan dengan Gus Jaka, anak semata wayang kiai jadug itu.
Lagi-lagi Gus Jaka menggeleng.
“Walau sekarang Kiai Dul begitu tersohor, tapi dulu dia juga pernah mengaji pada bapakmu,” gumam Mukidi. Gus Jaka masih tetap membisu. Tapi ucapan Mukidi itu memancing rasa penasarannya.
“Iya Le, nanti kamu biar diantar Lek Mukidi, nyantri ke Mbah Dul; biar pondok peninggalan bapakmu ini ada yang meneruskan kelak,” sahut Yu Mes, bibi Gus Jaka.
“Nggeh, Bik,” sahut Gus Jaka dengan suara lirih.
“Kapan kamu mau saya antar ke Gedangan, Le?” tanya Mukidi.
“Kapan Kiai Dul mengaji pada bapak, Lek?” bukannya menjawab pertanyaan Mukidi, Gus Jaka justru mengajukan pertanyaan lain.
“Dulu Kiai Dul muda itu orang yang jahat. Suka ilmu perdukunan. Bahkan kemudian sering menyantet orang. Dia baru tersadar atas kesalahannya ketika tak berhasil menyantet bapakmu. Mbah Rozi itu sundul langit ilmunya, tapi dia berhasil menyembunyikan dirinya di balik pondok kecil yang diasuhnya ini,” papar Mukidi.
Semakin penasaranlah Gus Jaka. “Setelah tobat dia memperdalam ilmu agama pada Mbah Rozi. Meski bapakmu tidak dianugerahi banyak murid, tapi yang pernah belajar padanya rata-rata mendapat ilmu yang barokah. Kiai Dul kemudian melanjutkan belajar ke Kiai Saleh sampai dijadikan menantunya itu.”
Gus Jaka mendengarkan dengan antusias.
“Andaikan berhasil menyantet bapakmu, mungkin dia tidak akan seperti sekarang,” sambung Mukidi.
“Ssst. Anak kecil jangan diberitahu rahasia masa lalu, Lek!” sergah Yu Mes.
“Bapakmu selain alim juga sakti. Orang-orang PKI dibuat lumpuh ketika mau menyerang bapakmu. Obor yang hendak dipakai untuk membakar pondok pun mendadak padam. Ketika itu Gus Jaka masih bayi, benar begitu Yu?” imbuh Mukidi, tak menghiraukan ucapan Yu Mes yang melarangnya menceritakan masa lalu.
“Sudah lupa, Lek,” timpal Yu Mes yang baru selesai memakaikan baju kedua anaknya.
Sebenarnya bukan tanpa alasan mengapa Siti Miskiyyah atau yang kerap dipanggil Yu Mes itu melarang Mukidi bercerita tentang masa lalu. Ia hanya tidak ingin Gus Jaka atau anak-anaknya mendengar sisi hitam dari Kiai Dul. Apalagi tidak lama lagi Gus Jaka akan nyantri pada kiai itu. Padahal, mengetahui keburukan guru bagi seorang santri adalah sebuah malapetaka. Berpikir buruk pada guru yang membimbing hati akan menjadi musabab atas sulitnya memahami ilmu serta sulitnya mendapat keberkahan dari ilmu itu.
“Wah, Yu Mes ki piye to? Zaman dulu para kiai itu sakti-sakti, karena kesaktian itu penting, untuk membela diri dan menopang perjuangan menegakkan agama. Bahkan, karena kesaktiaannyalah, Kiai Dul kemudian diambil menantu oleh Kiai Saleh Gedangan,” mulut Mukidi terus memburai kata-kata.
“Kesaktian Kiai Dul memang dibutuhkan untuk menjaga Kiai Saleh dari kebrutalan orang-orang PKI.” Yu Mes akhirnya tersulut untuk membicarakan masa lalu.
“Kalau sampeyan sakti apa nggak Lek?” celetuk Karimun putra Yu Mes itu disambut tawa oleh Mukidi. Lelaki yang bermukim di sebelah pondok itu menjewer pipi Karim yang mirip bakpau.
“Sampai sekarang nggak nikah-nikah karena tirakat mencari kesaktian, iya Lek?” Yu Mes semakin tertawa.
Mukidi tersipu malu.
“Bagaimana kisahmu dengan Boirah itu?” sentil Yu Mes lagi.
“Ah, Yu Mes ini mengungkit-ungkit masa lalu saja.” Mukidi menyalakan tingwe-nya yang padam karena ditinggal ngobrol. Ujung rokoknya itu memang sedikit basah, entah oleh karena tempias hujan ataukah oleh ludahnya sendiri.
“Atau ingin kukenalkan pada putrinya Mbak Jebrak?”
“Yu Mes semakin ngelantur, masak kakek-kakek begini dikenalkan pada balita?”
“Lebih baik ngelantur membahas masa depan daripada mengungkit-ungkit masa lalu yang nggak penting lagi to Lek Di?”
Setelah lelah bercakap-cakap dan merasa tersudutkan, Mukidi akhirnya memutuskan untuk melangkah pulang. Selembar daun jati digunakannya sebagai payung untuk menangkis guyuran gerimis. Lelaki itu terus berjalan dalam rinai hujan, meninggalkan kepulan asap tingwe yang menguarkan bau khas di udara.
Malamnya hujan telah reda. Namun gemercik air sisa hujan yang mengalir di selokan masih terdengar. Riuh suara katak yang bernyanyi masih pula terdengar nyaring. Dalam kegelapan malam itu terlihatlah pendar-pendar cahaya obor yang berjalan beriringan. Mereka adalah orang-orang yang pulang dari acara kenduri tujuh hari meninggalnya Mbah Syairozi. Orang tua Gus Jaka satu-satunya itu sebenarnya belumlah begitu tua, umurnya belum genap enam puluh tahun, kekeramatannyalah yang membuat panggilan “mbah” tersemat dalam namanya. Sayang sekali Mbah Syairozi terlalu cepat berpulang. Sedangkan, Gus Jaka masih terlalu kecil untuk menjadi penggantinya dalam meneruskan estafet kepengasuhan pesantren.
Di luar bangunan rumah sederhana itu malam telah kembali berselimut hujan. Suara mendentingnya ketika jatuh di atas genting atau menumbuk dedaunan menimbulkan suara riuh. Sesekali suara guntur menggelegar di langit. Sesekali pula cahaya kilat menerobos dinding rumahnya. Dinding yang terbuat dari bilah-bilah kayu jati itu tak mampu menahan kilatan cahaya yang begitu terang menerobos masuk. Gus Jaka menyelimuti tubuhnya dengan sarung lusuh peninggalan bapaknya. Berharap suara hujan yang telah sudi menemani malam yang sunyi itu akan segera mengantarkannya ke alam mimpi.
Ketika kedua matanya mulai berkesiut diterpa kantuk terdengarlah suara ketukan dari arah pintu.
“Ada apa Lek?” teriak Gus Jaka setelah membiarkan agak lama ketukan di pintu itu tak kunjung berhenti.
Terdengarlah suara berderit mirip kambing tercekik.
“Lho kok tahu kalau aku, Le?” bisik Mukidi seraya mendekati Gus Jaka yang meringkuk di amben ruang tamu.
Meskipun Mbah Syairozi merupakan sosok kiai dengan pengaruh luas di pesisir selatan itu, akan tetapi rumahnya cukup sederhana. Murid Kiai Saleh itu memang terkenal dengan sifat zuhud, tidak terlena oleh kemewahan. Bahkan dia memilih tak menikah lagi ketika ditinggal wafat istrinya. Padahal saat itu dia masih cukup muda. Kesenangan dunia seolah tak menarik lagi bagi hatinya.
“Bau rokok tingwe itu cukup menunjukkan siapa dirimu, Lek,” tukas Gus Jaka, masih dalam balutan sarung. Mukidi tertawa terkial, menyemburkan asap rokok serta menampakkan beberapa gigi yang telah tanggal.
“Kang-kang santri nggak ada yang ke sini?” tanya Mukidi.
“Nggak ada, Lek. Tak ada lagi yang dicari di sini. Mereka telah pulang setelah kenduri tadi,” sahut Gus Jaka.
“Nanti kamu akan dicari banyak orang, kamu akan dibutuhkan oleh umat. Pondok ini akan besar di tanganmu, Le.”
“Jangan sok jadi peramal, Lek. Lagi pula bapak sudah cukup berbahagia dengan pondok sederhana ini,” tangkis Gus Jaka.
“Jadilah orang besar, Le. Dengan begitu tanganmu akan kuat untuk membela yang lemah. Kiai-kiai langgar tak akan mati terbunuh PKI jika ada kekuatan yang membela. Contoh orang besar ya Kiai Dul itu. Jadilah seperti dia. Semakin rindang sebuah pohon, semakin banyak yang bisa berteduh di bawahnya.” Sembari menyemburkan asap tingwe Mukidi terus menyemburkan kata-kata.
“Wah. Sampeyan sudah cocok jadi badalnya bapak, Lek Di. Kata-katamu manis seperti air tebu,” tukas Gus Jaka sembari berguling ke kiri membelakangi pengasuhnya itu. Semenjak kecil Gus Jaka memang diasuh oleh Mukidi, santri sepuh bapaknya yang tak kunjung menemukan pasangan hidup.
“Gus,” panggil Mukidi dengan suara lirih. Gus Jaka tak menyahut. Ia telah terbiasa dengan tingkah orang tua yang konyol itu.
“Tadi siang bibimu itu terus bertanya tentang jodohku. Hmmm. Apa mungkin dia menyimpan suatu perasaan padaku? Seorang perempuan selalu punya caranya sendiri untuk menggapai hati lelaki, kan begitu, Gus?” tanya Mukidi yang kini tengah bertele di atas kursi kayu jati.
“Gus, bukankah seorang santri abdi ndalem sepertiku ini sering mendapat durian runtuh dalam perjalanan hidupnya? Bukankah Yu Mes sudah saatnya mengakhiri masa menjandanya?”
“Gus,” panggil Mukidi.
“Le!” Mukidi mengganti cara memanggil putra kiainya itu.
Dan betapa kecewanya Mukidi mendapati panggilannya ternyata dijawab dengan suara dengkuran oleh Gus Jaka. Mukidi lantas terdiam dalam lamunan. Malam-malam dingin masih akan terus menemani dan menyiksanya. Sarung di lehernya lantas ia selimutkan ke seluruh tubuh, berharap mimpi menyandingi Yu Mes akan menjadi nyata dalam tidur. Betapapun kokoh sebuah mimpi dibangun, ia tak akan pernah jadi nyata sebelum bisa tidur; begitu Mukidi berkeyakinan.
* * *
Mentaraman, 30/9/20