Judul : Gus
Penulis : Dian Nafi
Penerbit : Kakilangit Kencana
Terbit : Desember 2014
Tebal : 198 halaman
Beberapa bulan terakhir, novel pesantren sedang ramai sekali dibicarakan. Mulai dari novel Hati Suhita karya Khilma Anis yang terjual sampai puluhan ribu eksemplar tanpa lewat penerbit mayor maupun toko buku besar, lalu novel Dua Barista karya Najhaty Sharma yang juga laris manis, disusul dengan novel Hilda karya Muyassaroh Hafidzoh dan DUR karya Nisaul Kamilah.
Menarik melihat bagaimana penulis-penulis baru terus bermunculan dengan karya-karya mereka masing-masing. Tentu saja Khilma Anis tidak bisa dimasukkan dalam kategori penulis baru karena karier kepenulisannya sudah dimulai bertahun lalu sejak ia pertama menulis Jadilah Purnamaku Ning dan diterbitkan Matapena pada 2008.
Tetapi, bercerita soal novel pesantren, kita tidak bisa melupakan Dian Nafi. Dia adalah seorang penulis berlatar belakang pesantren yang sangat produktif. Ia sudah menulis puluhan buku tunggal yang diterbitkan oleh Grasindo, Jendela, Zikrul Hakim, Quanta, Elexmedia, Bentang, Gramedia Pustaka Utama, Leutika, Hasfa, Imania, Mizan, Familia, Qudsi, Bypass, Javalitera, Plotpoint, Diandra, Bunyan, Bypass, Kakilangit Kencana, dan lain sebagainya.
Beberapa tulisan lainnya juga tergabung di berbagai antologi yang jumlahnya tak terhitung lagi saking banyaknya. Selain itu, Dian Nafi juga aktif di berbagai komunitas dan sering menjadi mentor dalam penulisan-penulisan termasuk penulisan sastra. Salah satu novel Dian Nafi yang berkisah tentang kehidupan pesantren adalah Gus. Novel setebal 198 halaman ini pertama terbit pada 2014 dan diterbitkan oleh Kakilangit Kencana. Meskipun tidak sepopuler novel-novel pesantren yang belakangan terbit, Gus ini sangat sayang dilewatkan.
Novel Gus ini bercerita tentang Mafazi, seorang Gus yang diharapkan untuk menjadi penerus orang tuanya dalam mengasuh pesantren, namun sama sekali tidak memiliki ambisi untuk menjadi kiai apalagi mengasuh pesantren. Ia berusaha “lari dari tanggung jawabnya”, jarang pulang ke rumah, dan menggunakan kuliahnya sebagai alasan. Sampai kemudian, terjadilah tragedi kebakaran di lingkungan pesantren di rumahnya yang mengubah banyak hal dan menjadi awal dari rentetan konflik tak berkesudahan.
Tak lama setelah peristiwa kebakaran, ibu Mafazi sakit dan meninggal. Padahal, ibunya termasuk salah satu sosok yang sangat berperan penting dalam keberlangsungan pendidikan pesantren keluarganya. Mafazi bimbang, antara keinginannya untuk fokus pada kuliah dan mimpi-mimpinya atau memenuhi impian ibunya; menjadi kiai dan pengasuh pesantren.
Belum juga kebimbangan itu usai, ayahnya tiba-tiba memutuskan untuk menikah lagi. Keputusan itu membuat Mafazi dan kedua saudara kandungnya terguncang. Apalagi istri baru ayahnya memiliki seorang putra yang sangat alim dan menjadi idaman; Harun namanya. Mafazi yang selama ini tidak berhasrat menjadi penerus ayahnya sebagai pengasuh pesantren tiba-tiba merasa terancam dengan kehadiran Harun.
Dian Nafi menceritakan alur dalam novel ini dengan sangat mengalir dan memikat. Penokohan yang dibangunnya juga kuat dan sangat manusiawi. Bahwa keluarga kiai yang menjadi pengasuh pesantren besar pun juga adalah manusia-manusia biasa, yang juga merasa kecewa, sedih, marah. Cerita utama dalam novel ini juga sangat akrab dengan yang kita jumpai sehari-hari; bahwa ada banyak Gus dan Ning yang tidak berhasrat menjadi penerus orang tuanya di pesantren dan berusaha untuk “lari” dengan kuliah atau kegiatan-kegiatan lainnya.
Selain itu, dalam novel Gus, alih-alih memenuhi isi ceritanya dengan dakwah atau khotbah, Dian Nafi menggunakan narasi-narasi yang sangat mengalir untuk memberikan hikmah atau pelajaran bagi pembaca. Sayang sekali novel ini jarang dibicarakan atau bahkan juga tidak begitu dikenal oleh masyarakat, khususnya dari kalangan santri, padahal jika dibandingkan dengan novel-novel berlatar pesantren yang belakangan terbit, cerita yang diusung novel Gus dan penceritaan Dian Nafi yang memikat ini juga tidak kalah menarik.