Saya kagum kepada Gus Ulil yang selalu prihatin dan aktif dalam memperjuangkan nasib Nahdlatul Ulama (NU). Saya juga kagum kepadanya sebagai intelektual NU yang terbuka dan senang menerima kritik. Melalui tulisan ini, saya berusaha membuat beliau senang untuk ke sekian kalinya. Kritik ini saya tulis untuk tulisan beliau di Kompas yang kemudian dilengkapi di laman Facebook-nya.
Saya tidak akan menyampaikan kritik serupa dengan apa yang ditulis oleh Ustaz Wahid, bahwa Gus Ulil keliru dalam menentukan mahallun niza’ (masalah yang diperdebatkan) yang ramai di ruang publik sekarang —meskipun agaknya memang benar seperti yang dikatakan oleh Ustaz Abdul Wahid.
Namun, saya termasuk di antara orang yang hampir benar ditebak oleh Ustaz Wahid— tanggapan saya kepada Gus Ulil bukan soal hukum tambang, melainkan soal kelayakan NU dalam mengelola tambang. Hanya, nilai kelayakan tersebut nantinya akan mendampingi tulisan ini menuju hukum pengelolaan NU terhadap tambang—inilah maksud kata ‘hampir benar’ di atas. Soal tambang saya sepakat bahwa itu halal, sepanjang ia dibutuhkan, artinya tidak mutlak.
Saya hendak menanggapi penerapan Gus Ulil terhadap kaidah fikih, idzaa ta’aradlat mafsadataani ru’iya akhaffuhuma (jika terdapat pertentangan dua mafsadah maka hendaknya dipilih yang paling ringan). Gus Ulil menegaskan bahwa dilema dua mafsadah dalam mengelola tambang adalah antara memakai batu bara tetapi menimbulkan emisi karbon yang bisa menyebabkan pemanasan global, atau menghentikannya sama sekali, tetapi bisa menimbulkan kekacauan yang luar biasa. Begitu tegasnya dalam tulisan di akun Facebook beliau.
Dua mafsadah tersebut tidak tepat digunakan untuk menjawab layakkah NU mengelola tambang. Satu alasan untuk itu, adalah karena pada kenyataannya mafsadah tersebut tidak didapati dalam kasus pengelolaan NU terhadap tambang batu bara.
Adalah tepat jika dua mafsadah tersebut digunakan untuk menjawab soal pengelolaan tambang secara umum —memandang pada kebutuhan manusia terhadap batu bara sehingga harus dilakukan— bukan pengelolaan tambang oleh NU secara khusus —yang memandang pada siapa yang selayaknya mengelola. Betul memang, bahwa mafsadah dari mengelola tambang itu lebih ringan dari tidak mengelolanya sama sekali. Tapi, siapakah yang layak mengelola tambang itu? Apakah NU saat ini menjadi bagian dari pihak yang layak mengelola tambang batu bara?