Gus Ulil dan Mafsadah Tambang yang Keliru

80 views

Saya kagum kepada Gus Ulil yang selalu prihatin dan aktif dalam memperjuangkan nasib Nahdlatul Ulama (NU). Saya juga kagum kepadanya sebagai intelektual NU yang terbuka dan senang menerima kritik. Melalui tulisan ini, saya berusaha membuat beliau senang untuk ke sekian kalinya. Kritik ini saya tulis untuk tulisan beliau di Kompas yang kemudian dilengkapi di laman Facebook-nya.

Saya tidak akan menyampaikan kritik serupa dengan apa yang ditulis oleh Ustaz Wahid, bahwa Gus Ulil keliru dalam menentukan mahallun niza’ (masalah yang diperdebatkan) yang ramai di ruang publik sekarang —meskipun agaknya memang benar seperti yang dikatakan oleh Ustaz Abdul Wahid.

Advertisements

Namun, saya termasuk di antara orang yang hampir benar ditebak oleh Ustaz Wahid— tanggapan saya kepada Gus Ulil bukan soal hukum tambang, melainkan soal kelayakan NU dalam mengelola tambang. Hanya, nilai kelayakan tersebut nantinya akan mendampingi tulisan ini menuju hukum pengelolaan NU terhadap tambang—inilah maksud kata ‘hampir benar’ di atas. Soal tambang saya sepakat bahwa itu halal, sepanjang ia dibutuhkan, artinya tidak mutlak.

Saya hendak menanggapi penerapan Gus Ulil terhadap kaidah fikih, idzaa ta’aradlat mafsadataani ru’iya akhaffuhuma (jika terdapat pertentangan dua mafsadah maka hendaknya dipilih yang paling ringan). Gus Ulil menegaskan bahwa dilema dua mafsadah dalam mengelola tambang adalah antara memakai batu bara tetapi menimbulkan emisi karbon yang bisa menyebabkan pemanasan global, atau menghentikannya sama sekali, tetapi bisa menimbulkan kekacauan yang luar biasa. Begitu tegasnya dalam tulisan di akun Facebook beliau.

Dua mafsadah tersebut tidak tepat digunakan untuk menjawab layakkah NU mengelola tambang. Satu alasan untuk itu, adalah karena pada kenyataannya mafsadah tersebut tidak didapati dalam kasus pengelolaan NU terhadap tambang batu bara.

Adalah tepat jika dua mafsadah tersebut digunakan untuk menjawab soal pengelolaan tambang secara umum —memandang pada kebutuhan manusia terhadap batu bara sehingga harus dilakukan— bukan pengelolaan tambang oleh NU secara khusus —yang memandang pada siapa yang selayaknya mengelola. Betul memang, bahwa mafsadah dari mengelola tambang itu lebih ringan dari tidak mengelolanya sama sekali. Tapi, siapakah yang layak mengelola tambang itu? Apakah NU saat ini menjadi bagian dari pihak yang layak mengelola tambang batu bara?

Sebagaimana Gus Ulil tegaskan, dan saya setuju, bahwa analisis masalah ini lebih pas menggunakan fikih lingkungan yang cenderung terperinci. Namun, Gus Ulil justru membantah dukungannya terhadap fikih yang terperinci itu; bahwa beliau membawa masalah ini secara umum, tidak secara khusus. Beliau membawa dua mafsadah pengelolaan tambang secara umum, bukan pengelolaan tambang oleh organisasi keagamaan saat ini dan di negara ini, sebagaimana seharusnya beliau bahas.

Begini menurut kami, ketika hukum pengelolaan tambang itu pada hakikatnya haram karena memiliki mafsadah terhadap lingkungan, tentunya ia dituntut memberikan alasan untuk dilanjutkan. Alasan ini adalah untuk menentukan kadar cukup dan wajar dalam melakukannya.

Hal ini didasarkan pada kaidah fikih ma ubiha lidldlarurati yuqoddaru bi qadriha (hal-hal yang dibolehkan karena alasan darurat itu dilakukan secukupnya saja). Tentu saja pengelolaan tambang adalah yang dilegalkan sebab alasan darurat, sehingga ada batas dalam melakukannya.

Pertanyaannya sekarang —untuk membatalkan dua mafsadah yang Gus Ulil sebutkan— apakah alasan NU menerima izin tambang tersebut? Jawabannya adalah untuk menambah sumber pendanaan organisasi NU, sebagaimana yang sudah disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.

Dari itu, dua mafsadah yang harusnya dijadikan dilema adalah antara bertambahnya emisi karbon yang dapat membantu memperparah pemanasan global dengan mengelola tambang atau NU tidak mendapat sumber pendanaan dari tambang dengan tidak mengelola tambang batu bara.

Hal ini karena pada senyatanya meskipun NU menolak izin tersebut, apa yang oleh Gus Ulil katakan sebagai mafsadah yang berangkat dari terminasi batu bara itu tidak akan terjadi. Apa iya dengan NU menolak izin tersebut, lalu sejuta siswa kehilangan kesempatan belajar karena tidak ada listrik? Atau jangan-jangan dengan menerima izin tambanglah hal tersebut bisa terjadi, meskipun secara lambat? Dari ini jelas mafsadah yang mana yang lebih ringan untuk diambil.

Kekeliruan Gus Ulil tersebut berangkat dari penyamaan antara mafsadah orang berhaji dengan mafsadah mengelola tambang. Dilema menghadapi dua mafsadah dalam mengelola tambang tidak sama dengan mafsadah yang Gus Ulil sebutkan pada contoh kaidah tersebut.

Beliau mencontohkan orang kelaparan yang sedang melakukan haji yang dihadapkan pada dua pilihan saja, yaitu antara makan bangkai atau memakai hewan buruan yang keduanya sama-sama haram dilakukan. Tentu ini hampir sama —berarti berbeda— dengan masalah NU dalam mengelola tambang.

Mafsadah yang muncul pada kasus orang yang melakukan haji adalah mafsadah yang hanya bisa diatasi oleh individu tersebut, sehingga kewajiban tersebut —ia wajib sebab ia legal setelah adanya larangan— bisa gugur dengan tindakan orang terkait. Dan tindakan tersebut sudah dinilai cukup dengan satu kali saja.

Sementara, mafsadah yang terdapat pada pengelolaan tambang batu bara adalah mafsadah yang hanya bisa diatasi oleh banyak pihak yang tak tertentu. Jika demikian, maka kewajiban mengelola tambang —ia wajib sebab ia legal setelah adanya larangan— itu disebut fardu kifayah, bukan wajib personal sebagaimana dalam kasus haji, yang konsekuensinya adalah bisa gugur dengan dilakukan oleh segelintir orang.

Sementara itu, fakta lapangan mengatakan bahwa sudah cukup mafsadah tersebut diatasi oleh pihak yang saat ini sedang menjalankannya. Maka, jika tindakan tersebut sudah dapat mengatasi mafsadah yang ada kewajiban mengelola tambang menjadi gugur dan kembali pada hukum awal, yaitu haram. Dan itulah batas kadar cukup yang tidak boleh dilewati, sehingga NU tidak punya alasan yang dapat diterima untuk mengambil wilayah tersebut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan