Saya teringat salah satu esai A.Z. Hamdi dalam “Sebagai Laki-laki Saya Sangat Tersinggung” (2022). Ia bercerita bagaimana pertanyaan-pertanyaan tak terduga meluncur dari bibir anaknya beberapa saat menjelang lelap. Selain saat buang hajat, menjelang tidur memang memantik manusia untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak lazim. Maksud tidak lazim di sini ialah pertanyaan yang mungkin diabaikan dan tak dipikirkan banyak orang.
Sayangnya, pertanyaan tersebut tumpul ketika berhadapan dengan maujud bernama agama. Ada sederet pertanyaan penting yang secara sadar ditinggalkan. Dengan bahasa lain, terdapat semacam keengganan mempertanyakan hal yang dianggap pakem dalam agama. Tatkala seseorang nekat untuk mempertanyakan itu, konsekuensinya adalah anggapan mungkar—kalau tidak murtad.
Seyogianya, tidak salah bertanya dan mempertanyakan apapun. Kesimpulan-kesimpulan besar dan luar biasa tidak akan pernah hadir tanpa pertanyaan mendasar. Sebuah jawaban cemerlang semata-mata hadir dari pertanyaan yang terlebih dahulu ada. Sayangnya, tidak sedikit umat Islam yang menganulir pertanyaan mendasar itu, alih-alih menjawabnya.
Sebagai amsal, pertanyaan apakah Al-Qur’an itu kalam Allah atau perkataan Nabi Muhammad ketika ditanyakan hari ini akan bernuansa sensitif dan sangat berisiko. Daripada menjawab pertanyaan tersebut, sebagian akan menuding dengan nada apologi “kamu menuduh Al-Qur’an buatan Nabi Muhammad.” Dengan realitas yang seperti itu, tidak sedikit orang yang memilih mati penasaran daripada mengutarakan pertanyaan substansial.
Di tengah iklim yang semacam itu pula, buku ini hadir untuk mempertanyakan hal-hal yang kerap kita hindari. Bahkan, sejak dari mukadimah saja sudah mengentak. Tidak lain adalah pembahasan apakah Al-Qur’an kalam Allah atau Nabi Muhammad. Pada bagian ini Mun’im mengelaborasi intelektual muslim asal Pakistan, Fazlur Rahman.
Pertanyaan Seputar Al-Qur’an
Dalam pandangan Rahman, ini tesis yang diperkuat oleh penulis pada bab pertama, Al-Qur’an itu merupakan kalam Allah sekaligus perkataan Nabi Muhammad. Ini berarti bahwa lafaz-lafaz yang kita lihat saat sekarang tidak langsung turun dari Allah, melainkan ekspresi Nabi Muhammad. Kendati demikian, Mun’im tidak menafikan bahwa persoalan apakah Al-Qur’an turun secara lafaz atau makna memantik perdebatan yang serius.