Hal-hal yang Terlupakan dan Tak Ditanyakan

208 kali dibaca

Saya teringat salah satu esai A.Z. Hamdi dalam “Sebagai Laki-laki Saya Sangat Tersinggung” (2022). Ia bercerita bagaimana pertanyaan-pertanyaan tak terduga meluncur dari bibir anaknya beberapa saat menjelang lelap. Selain saat buang hajat, menjelang tidur memang memantik manusia untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak lazim. Maksud tidak lazim di sini ialah pertanyaan yang mungkin diabaikan dan tak dipikirkan banyak orang.

Sayangnya, pertanyaan tersebut tumpul ketika berhadapan dengan maujud bernama agama. Ada sederet pertanyaan penting yang secara sadar ditinggalkan. Dengan bahasa lain, terdapat semacam keengganan mempertanyakan hal yang dianggap pakem dalam agama. Tatkala seseorang nekat untuk mempertanyakan itu, konsekuensinya adalah anggapan mungkar—kalau tidak murtad.

Advertisements

Seyogianya, tidak salah bertanya dan mempertanyakan apapun. Kesimpulan-kesimpulan besar dan luar biasa tidak akan pernah hadir tanpa pertanyaan mendasar. Sebuah jawaban cemerlang semata-mata hadir dari pertanyaan yang terlebih dahulu ada. Sayangnya, tidak sedikit umat Islam yang menganulir pertanyaan mendasar itu, alih-alih menjawabnya.

Sebagai amsal, pertanyaan apakah Al-Qur’an itu kalam Allah atau perkataan Nabi Muhammad ketika ditanyakan hari ini akan bernuansa sensitif dan sangat berisiko. Daripada menjawab pertanyaan tersebut, sebagian akan menuding dengan nada apologi “kamu menuduh Al-Qur’an buatan Nabi Muhammad.” Dengan realitas yang seperti itu, tidak sedikit orang yang memilih mati penasaran daripada mengutarakan pertanyaan substansial.

Di tengah iklim yang semacam itu pula, buku ini hadir untuk mempertanyakan hal-hal yang kerap kita hindari. Bahkan, sejak dari mukadimah saja sudah mengentak. Tidak lain adalah pembahasan apakah Al-Qur’an kalam Allah atau Nabi Muhammad. Pada bagian ini Mun’im mengelaborasi intelektual muslim asal Pakistan, Fazlur Rahman.

Pertanyaan Seputar Al-Qur’an

Dalam pandangan Rahman, ini tesis yang diperkuat oleh penulis pada bab pertama, Al-Qur’an itu merupakan kalam Allah sekaligus perkataan Nabi Muhammad. Ini berarti bahwa lafaz-lafaz yang kita lihat saat sekarang tidak langsung turun dari Allah, melainkan ekspresi Nabi Muhammad. Kendati demikian, Mun’im tidak menafikan bahwa persoalan apakah Al-Qur’an turun secara lafaz atau makna memantik perdebatan yang serius.

Dengan mengetengahkan itu, ia seolah menegaskan bahwa pertanyaan tersebut tidak untuk ditolak. Melainkan dicarikan jawabannya yang presisi, bukan merepresi pertanyaannya. Sebab, persoalan kalam Tuhan ini sudah eksis bahkan berabad-abad lalu. Walaupun, ia juga mengakui bahwa pandangan Tuhan hanya menyampaikan maknanya saja menjadi marjinal di abad ke-14 dan ke-15 M.

Selain problematika status kalam Ilahi, bab berikutnya membahas persoalan mushaf Al-Qur’an. Mushaf yang bisa kita lihat dan raba hari ini tidak ujuk-ujuk menjadi baku. Apalagi saat itu terdapat banyak mushaf milik para sahabat. Dominasi mushaf Utsmani hari ini, tidak bisa dipisahkan dari intrik politik dan relasi kekuasaan. Pembahasan semacam ini tidak akan pernah hadir tanpa pertanyaan mendasar seputar kodifikasi Al-Qur’an.

Kita mungkin akan menganggap bahwa sejarah Al-Qur’an telah selesai. Namun, bagi sarjana kritis seperti Mun’im jawabannya adalah tidak. Ia dengan cermat mencari celah untuk kemudian dipikirkan dan didiskusikan kembali. Penting untuk kita catat bersama bahwa bersikap kritis tidak lantas meniscayakan berkurangnya iman. Hemat saya, sikap kritis adalah satu hal, iman adalah hal lain.

Hubungan Lintas Iman

Topik lain yang menjadi pembahasan di sini ialah terkait dengan seputar keberagaman. Untuk kesekian kalinya saya katakan bahwa Mun’im berani menggugat kesimpulan yang selama ini dianggap final. Tidak tanggung-tanggung, satu bab ia habiskan untuk mendiskusikan secara mendalam ihwal nikah lintas agama. Kemudian disambung dua bab berikutnya yang mendiskusikan pluralisme agama. Tidak berlebihan manakala saya katakan bahwa buku ini berupaya untuk memermak kembali raut keberagaman.

Dalam benak kita, ketika disebutkan nikah beda agama, maka yang muncul pertama kali adalah kata haram. Nampaknya hal tersebut sudah tertanam kuat di alam bawah sadar. Sebagai implikasinya, tidak ada ruang untuk melangsungkan nikah beda agama. Saya sodorkan bukti konkret yang terjadi beberapa minggu lalu. Seorang biduan dan biduanita hendak melangsungkan pernikahan padahal berbeda iman. Mereka tahu konsekuensinya, sehingga sang biduanita memilih untuk mengonversi keyakinannya.

Apa yang hendak saya katakan bahwa persoalan nikah beda agama adalah pantangan tersendiri. Saya mengapresiasi kejantanan penulis tatkala mendiskusikan topik ini dalam satu bab khusus. Seolah menjadi ciri khasnya, ia memperkenalkan intelektual sebelumnya yang membahas persoalan ini secara ekstensif. Kali ini nama yang ia pilih adalah ulama jebolan Al-Azhar Mesir, Abdullah al-‘Alayli. Sebagaimana kita duga, penulis mempunyai kesimpulan yang berbeda dengan pandangan mainstream ulama.

Lebih daripada itu, ia juga berupaya untuk mematahkan anggapan bahwa nikah beda agama akan menggadaikan keyakinan. Perlu diingat bahwa nikah beda agama yang dipersoalakan di sini ialah ketika seorang muslimah hendak menikah dengan nonmuslim. Penulis mengulas penelitian empiris yang dilakukan oleh Ayse Elmali-Karakaya. Konklusi pokoknya ialah kekhwatiran ulama akan lunturnya identitas Islam dalam pernikahan lintas iman secara faktual tidak terkonfirmasi. Artinya, itu hanyalah kekhawatiran tanpa basis yang jelas—kalau tidak dibilang waham.

Itulah dua pokok besar yang saya tarik dari buku ini. Rasanya tidak mungkin untuk mendiskusikan keseluruhan isinya. Mengingat buku ini tidak secara khusus membahas satu topik, melainkan ragam persoalan. Kendati begitu, sebagaimana saya ulang-ulang, Mun’im berhasil mempertanyakan ulang hal-hal yang membuat kita sungkan untuk mengungkapkannya. Kiranya, tulisan yang berjudul Smith dan Pertanyaan yang Tak (Lagi) Ditanyakan merepresentasikan penulisnya: Mun’im Sirry yang (selalu) berani!

Data Buku:

Judul: Think Outside the Box Membebaskan Agama dari Penjara Konservatisme
Penulis: Mun’im Sirry
Penerbit: SUKA Press
Tahun: Pertama, Maret 2024
Isi: 466 Halaman
ISBN: 978-623-7816-86-7

Multi-Page

Tinggalkan Balasan