Gus Dur dan Kehidupannya bagaikan seribu satu pintu misteri yang disuguhkan khususnya untuk bangsa ini. Lewat satu dari sekian pintu itu saja, akan ditampakkan segudang ilmu, lorong pustaka, yang tiada mengenal bosan bila memasukinya. Satu dari sekian banyak kisah yang telah beredar, yang berkaitan tentang Gus Dur adalah kisah yang berlatar belakang di Mesir.
Kisah ini berawal ketika Kiai Syukri muda (KH Abdullah Syukri Zarkasyi Gontor, Allahu yarham), yang kala itu menjadi mahasiswa baru di Kairo, Mesir. Mau tak mau, status mahasiswa baru mengharuskannya berkunjung, sowan, kepada sesepuh, mahasiswa senior, yang ada di sana, yang tak lain dan tak bukan adalah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, Allahu yarham). Bukan Gus Dur namanya tak menjadikan para mahasiswa baru melewati perpeloncoan darinya, tidak terkecuali Kiai Syukri muda.
Singkat cerita, Kiai Syukri muda bertamu, dan diterima oleh Gus Dur. Untuk menjamu tamunya, Gus Dur meminta Gus Mus (KH Mustofa Bisri), yang memang satu atap tinggal bersamanya, untuk memasakkan air.
“Mus, tolong masakkan air,” pinta Gus Dur kepada Gus Mus.
“Nggih, Gus,” jawab Gus Mus, yang langsung ke dapur memasakkan air.
Benar saja, perpeloncoan pun dimulai. Tidak berselang lama, Gus Dur kembali menemui Kiai Syukri muda, dengan membawa gelas dan sepotong celana dalam. Ya, sepotong celana dalam. Sembari menanyakan kabar, dengan santainya beliau mengelap gelas itu dengan celana dalam yang dibawanya tadi, di depan mata Kiai Syukri.
“Yok opo kabare Gontor?” (Bagaimana kabarnya Gontor?)
“Abah piye, sehat?” (Abah bagaimana kabarnya?)
“Gontor saiki piro santrine?” (Gontor sekarang santrinya berapa?)
Terus saja pertanyaan basa basi itu beliau lontarkan sembari tak henti mengelap-elap seluruh bagian dari gelas itu, dengan sepotong celana dalam tadi, tanpa terluput satu inci pun. Entah bagaimana perasaan Kiai Syukri ketika itu. Yang jelas, tak begitu lama, Gus Mus mengabarkan kalau airnya sudah matang.
“Gus, sudah matang ini,” kata Gus Mus mengabarkan.
Gus Dur pun masuk, dan sesaat kemudian kembali dengan membawa gelas beserta lepeknya yang telah terseduh kopi. Sembari berjalan, terlihat, beliau mengaduk kopi itu menggunakan batang sikat gigi. Masih dengan gayanya yang santai, beliau suguhkan kopi itu sepaket dengan gagang sikatnya.
“Monggo, disambi,” Gus Dur mempersilakan tamunya minum.
Begitulah salah satu kisah dari kenakalan Gus Dur yang sempat beliau ceritakan kepada Cak Nun (Emha Ainun Najib). Tentu saja, kisah itu membuat seorang Cak Nun kepalang mangkel, kesal, karena Kiai Syukri tidak lain adalah gurunya Cak Nun. Tetapi, di balik itu semua, “Inilah yang seringkali disebut dengan kemesraan. Di mana, bukan lagi soal hal-hal yang tampak di muka, melainkan apa saja yang ada di balik itu semua.”
Bila kisah tadi hanya kita lihat sepintas, dari luarnya saja, maka semua perilaku seorang Gus Dur itu hanya menjadi sebuah joke ataupun anekdot yang sering dianggap “nyleneh” dan “mblunat” (salah satu istilah orang Jombang untuk menyifati orang yang banget nakalnya).
Sebagaimana yang pernah Ning Alissa katakan perihal Bapaknya, “Yang perlu kita ambil dari diri seorang Gus Dur adalah ilmu dan mutunya, bukan kebiasaan-kebiasaannya (perilakunya yang nyeleneh).”
Oleh karena itu, jika kita kembali pada kisah di awal tadi, ada beberapa i’tibar yang dapat kita petik, salah satunya soal sudut pandang lain. Di mana, celana dalam yang buat ngelap gelas itu ternyata celana dalam bersih, yang belum dipakai sama sekali. Pun, sikat gigi yang dijadikan untuk mengaduk kopi itu juga masih baru buka segel.
Namun, karena kebanyakan orang telanjur termakan stigma umum, lazimnya akan menimbulkan kesan tanya dalam batinnya. Sikat gigi yang biasa digunakan untuk membersihkan gigi kok malah dibuat mengaduk kopi. Begitupun dengan kain yang bersih, menjadi terkesan “bagaimana gitu”, karena telah berwujud “celana dalam”.
Orang bakal dibuat bingung. Namun, itu bukan kebingungan hakiki. Melainkan, kebingungan budaya. Kebingungan yang disebabkan oleh perbuatan yang di luar kewajaran, atau bahkan menyalahi adat kebanyakan orang (khoriqul adat).
Oleh Gusdur, hal-hal demikian itu ditolak lewat beberapa kebiasaan yang seringkali “nyeleneh”. Seperti moment pasca beliau dimakzulkan. Di mana, pada saat itu, ketegangan terjadi di mana-mana. Namun, dengan santainya, beliau mempertontonkan tindakan “nyelenehnya” lagi, keluar dari istana kepresidenan hanya dengan mengenakan kaus oblong dan celana pendek.
Sungguh, suatu momen yang mungkin hanya sekali dalam sejarah panjang peradaban umat manusia, di mana, dalam riwayat manapun, tidak ada dijumpai satupun kaisar, sultan, raja, ataupun presiden di belahan bumi mana pun, yang berani mempertontokan dirinya di depan publik, dengan hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek di depan pelataran istananya.
“Memang tidak ada yang resmi dalam diri seorang Gus Dur.” Oleh Rocky Gerung, ketika menggambarkan sosok Gus Dur, “Sebagai sosok yang tidak hanya mengalir, tapi memang tidak ingin ada aliran.”
Dalam perjalanan hidupnya, Gus Dur telah memberikan kita satu bab penting dalam demokrasi kita, yaitu kesetaraan. Gus Dur telah mengajarkan kita bagaimana cara membangun jalan pikiran, bukan lagi sekadar membangun jalan tol.
Lewat karya-karyanya, dan seluruh jejak dari rangkaian perjalanan hidupnya, kita akan sering mendapati cara pandangnya yang berbeda dari orang kebanyakan. Atau, dalam pengertian lain, Gus Dur sering memikirkan apa yang orang lain tidak sempat memikirkannya. Hingga terciptalah beragam joke dan anekdotnya yang khas, dan seringkali dirindukan, karena bisa melumerkan ketegangan. Terutama ketegangan-ketegangan yang kian menegang dewasa ini. Mungkin satu tanggapan beliau, dalam dialog imaji, ketika ditanya soal ketegangan yang kian menyelimuti negeri ini, “Memang orang-orang itu merepotkan.”
Al fatihah teruntuk Gus Dur. Waallahu a’lam bish showab.