Entah bagaimana cara kerjanya, ia tak mengerti, yang jelas kantuk yang ia tahan-tahan sedari tadi, sekonyong-konyong ngeclap begitu mendengar suara kiainya itu sampai pada kata hikayatun saat membaca sebuah kitab di depan para santri yang tampak ngapsaih, memaknai kitab masing-masing di malam yang mulai larut itu.
Tak hanya sekali ini; itu telah terjadi berkali-kali padanya.
Mushonif—penulis kitab—tersebut, kali ini mengisahkan seorang ulama yang mendapat julukan Ibnu Hajar alias Si Putra Batu. Diceritakan, sewaktu muda, setelah bertahun-tahun ngaji pada seorang guru tanpa mendapat sedikit pun ilmu, setengah putus asa ia meminta izin pada gurunya untuk mukim, pulang—menetap di rumahnya.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba turun hujan. Karena yang ia dapati di sekitar situ hanya sebuah goa, ia pun berlindung di dalamnya. Tak dinyana, di situ secercah pencerahan datang menimpuknya. Sebongkah batu besar tampak kokoh ngedeprok di depannya, sementara tetes demi tetes air yang turun secara konstan dan berulang jatuh menimpa satu lubang di permukaannya. Sekonyong-konyong ia kepikiran, apabila batu sekeras itu pada akhirnya luluh pada air yang terus menetesinya, harusnya otaknya pun dapat menampung ilmu demi ilmu yang terus diajarkan oleh gurunya.
Batal pulang, ia kembali ke tempat gurunya.
Dan setelah ngaji dengan ketekunan tingkat tinggi, beberapa tahun kemudian ia masyhur sebagai seorang ulama yang menulis sebuah kitab Hadits yang sampai sekarang terus dikaji.
Di saat yang lain, kiainya itu membacakan hikayatun yang menceritakan:
Suatu saat Umar bin Khatab berjalan menyusuri sebuah kota. Mendapati seekor burung emprit dijadikan mainan oleh seorang bocah, ia jatuh iba lalu membeli dan melepaskan burung itu.
Beberapa tahun kemudian, setelah wafat, beberapa orang bermimpi bertemu dengannya. Mereka bertanya bagaimana keadaanya; bagaimana Gusti Allah Ta’ala memperlakukannya. Umar bin Khatab menjawab: Allah telah mengampuni segala kesalahannya.
Kemudian mereka bertanya, ia mendapat perlakuan seperti itu apa karena kedermawanan, keadilan, atau kezuhudannya.
Umar ibn Khatab menjawab dengan mengisahkan:
Beberapa saat setelah dimakamkan, setelah semua orang meninggalkannya, dua malaikat terlihat sangar mendekat ke arahnya. Saking takutnya ia tak bisa mikir—seakan hilang akalnya. Namun saat mereka hendak menanyainya, sekonyong-konyong terdengar perintah untuk meninggalkannya— membebaskannya dari pertanyaan kubur. Gusti Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang telah mengampuninya karena rasa sayangnya pada seekor burung.
Selain dapat menghilangkan kantuknya, hikayat-hikayat seperti itu terasa lebih kuat menancap di ingatannya ketimbang pelajaran-pelajaran yang di-wulangkan oleh guru-gurunya di pesantren itu. Entahlah, pikirnya kemudian, barangkali karena ia tak secerdas teman-teman seangkatannya, terlebih soal hafalan. Rata-rata mereka lebih cepat khatam menghafal nadzoman ketimbang dirinya. Atau bisa jadi karena ia tak sesemangat mereka dalam mengaji; tak se-mempeng mereka dalam menghafal.
Tak bisa dimungkiri, mula-mula ia mondok karena dorongan orang tua—terutama ayahnya—yang ingin menjadikannya pinter ilmu agama. Waktu itu ia baru lulus Sekolah Dasar. Hari-hari pertama di pondok adalah hari-hari yang kelak kerap hinggap dalam kenangannya. Suasana yang sama sekali berbeda dengan di rumah, belum ada teman akrab, waktu tidur lebih malam, sementara pagi-pagi sekali pengurus pondok sudah ngoprak-ngoprak—membangunkannya untuk salat subuh berjamaah, kemudian ngaji dan setelah itu ngantre mandi sebelum berangkat ke sekolah.
Sebagai seorang bocah, wajar bila semua itu menjadikannya tak betah. Ditambah kerinduan kepada ibu dan ayah—kerinduan pada rumah— kerap datang menyergah; sebagai seorang bocah, wajar bila semua itu menjadikannya nelangsa.
Hingga beberapa hari kemudian ayahnya datang menjenguknya. Setengah merengek ia minta ikut pulang. Tetapi sebaliknya, ayahnya malah memintanya untuk bertahan: toh lama-kelamaan bakal kerasan.
Demi menyenangkannya, selain memberinya uang banyak untuk membeli jajan kesukaannya, ayahnya membawakan banyak makanan. Ia pun memakannya bareng teman-teman sekamar, dan tak dinyana, dari sini ia mulai akrab dengan mereka.
***
Hari demi hari berlalu. Kendati belum betah betul, ia mulai terbiasa menjalani aktivitas di pondok itu. Sampai suatu hari, saat ngaji ia mendengar gurunya bercerita:
Beberapa saat setelah pasukan Raja Namrud berhasil melemparkan Nabi Ibrahim masuk ke dalam kobaran api yang amat besar itu, seekor kodok—didorong rasa iba terhadap Sang Nabi—tampak prek-prek-an, bolak-balik mencolot untuk menyedot air yang ada di sekitar situ untuk kemudian ia semburkan demi memadamkannya. Sementara itu seekor cicak tampak semangat sekali berulang-ulang meniupi api supaya bertambah besar.
Kendati usaha keduanya sama-sama tak berhasil—tak memberi efek apa pun pada kobaran api itu—, Gusti Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang senang terhadap perbuatan si kodok, sebaliknya Dia bendu terhadap kelakuan si cicak.
Dari kejadian ini, lanjut gurunya, kelak Kanjeng Nabi Muhammad melarang sahabatnya yang meminta izin membelah seekor kodok untuk dijadikan obat, dan dibolehkannya umatnya membunuh seekor cicak.
Ia terpukau mendengar hikayat itu.
Dari sini ia mulai senang mengaji, terutama mendengar cerita-cerita seperti itu yang kadang diceritakan guru-gurunya di sela membacakan kitab atau di saat mereka dopokan di teras komplek kamarnya.
***
Bulan demi bulan berlalu. Kendati ia telah betul-betul betah manggon di pesantren itu, saat kerinduan kepada ibu dan ayah, kerinduan pada rumah, kerinduannya sebagai bocah datang menyergah, ia merasakannya dengan begitu dalam—begitu ungu. Syukurlah, ayahnya kerap datang menjenguknya. Kelak, setelah dewasa, saat ia mulai mandiri, disibukkan pekerjaan, agak berjarak dengan orang tuanya, ia mengenang saat-saat yang begitu dalam tersebut untuk mengingatkan diri agar tetap berbakti pada mereka.
Sementara itu hikayat demi hikayat makin banyak menumpuk di dalam kepalanya. Suatu saat, setelah dapat uang kiriman dari ayahnya, ia mentraktir temannya makan di kantin. Rampung makan ia menemukan cerita di selembar koran pembungkus nasi tadi. Seusai membacanya, ia mendapat kesan seperti saat mendengar hikayat-hikayat tersebut.
Waktu itu ia belum tahu yang dinamakan cerpen, cerita pendek.
Beberapa tahun kemudian, ketika pondok pesantren itu berhasil mendirikan sebuah perpustakaan, ia senang tak ketulungan. Tak jarang ia mendoakan kebaikan untuk orang-orang yang telah menyedekahkan buku ke perpustakaan itu. Karena melalui buku-buku yang dibacanya, kesukaannya pada cerita kian tersalurkan.
Minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu, karena koran-koran yang dibeli secara langganan oleh pengurus perpustakaan itu menyajikan cerita pendek juga tulisan yang kadang terkait dengannya. Kian banyak membacanya, ia kian ketularan ingin menulis cerita. Tak heran, saat temannya—seusai menyatakan ingin jadi seorang mufasir dan kelak melanjutkan ngaji ke Mesir lalu menanyai apa cita-citanya—, dengan mantap ia menjawab: ingin jadi penulis cerita!
Maka, yang terjadi kemudian, bermodal pengalaman beberapa kali pernah mengarang sewaktu pelajaran Bahasa Indonesia dan bacaannya selama ini, di sela kegiatan mengaji dan sekolah ia mencoba menulis cerita.
Mula-mula ia bingung harus menulis apa.
Seperempat jam kemudian satu gagasan merasuki kepalanya, tetapi ia gamang bagaimana memulai menuliskannya.
Setengah jam telah berlalu, tetapi satu kata pun belum tergurat di lembaran kertas itu.
Tak menyerah, ia berusaha mengingat nasihat-nasihat penulis yang pernah ia baca. Ah, ya, ia teringat: tulis apa yang paling kau ketahui; apa yang paling kau sukai.
Karena yang paling ia ketahui dan sukai adalah hikayat-hikayat seperti itu, ia pun coba menceritakan ulang lewat tulisan.
Suatu hari, tulisnya, seorang pemuda merenung di pinggir kali.
Untuk beberapa saat ia tampak berpikir, kemudian melanjutkan: Tiba-tiba ia melihat buah delima hanyut ke arahnya. Karena lapar ia mengambil lalu memakannya.
Setelah berhenti sejenak ia lanjut menuliskan: Namun karena sikap wira’i-nya pemuda itu menyesali perbuatannya. Ia tak tahu apakah pemilik buah itu ikhlas buahnya dimakan olehnya. Lalu ia bergegas menyusuri sungai itu. Mencari dari kebun mana buah itu jatuh.
Ketika menemukan pemilik kebun, ia pun meminta kehalalan buah itu. Pemilik kebun bersedia menghalalkannya dengan syarat pemuda itu mau menikahi anak gadisnya yang bisu, buta, dan tuli.
Meski awalnya keberatan, demi memperoleh kehalalannya, akhirnya ia setuju.
Di malam pertama ia bingung campur terpana: mendapati istrinya itu ternyata tidak bisu, tidak buta, juga tidak tuli. Malahan ia ayu sekali.
Ayah mertuanya pun menjelaskan, anak gadisnya itu bisu dalam arti mulutnya tak pernah mengucapkan kata-kata yang menyebabkan dosa, buta karena matanya tak pernah digunakan untuk maksiat serta tuli dari mendengarkan ucapan buruk.
Pemuda itu bersyukur sekali.
Bertahun-tahun kemudian, dari pasangan ini, lahir seorang mujtahid besar bernama Imam Syafi’i.
Demikianlah, akhirnya ia rampung menulis satu hikayat. Aneh, pikirnya, ada perasaan lega datang membuntutinya. Sejak saat itu ia belajar menulis cerita dengan cara menulis hikayat-hikayat serupa itu. Kendati di waktu awal-awal menulis ia sering merasa kesulitan, lama-lama setelah sering menulis, ia dapat mengatasinya.
Dan dari waktu ke waktu ia merasa tulisannya lebih baik daripada tulisan sebelumnya. Selain itu, ia mulai menulis cerita-ceritanya sendiri dan menyuruh temannya membaca serta mengomentarinya. Bagus, kata temannya, kenapa tak kau kirimkan ke koran atau situs yang memuat cerpen?
Persoalannya ia merasa tulisan-tulisannya masih terlalu pendek, setidaknya bila dibandingkan dengan cerpen-cerpen bacaannya selama ini. Sementara ia belum berani menuruti saran temannya itu, ia memperdalam pengetahuannya perihal dunia menulis lewat bacaan juga gendu-gendu rasa dengan teman-teman yang sama-sama suka menulis cerita. Dan, yang tak kalah penting: rutin menulis cerita.
Sampai suatu waktu ia membaca sebuah laman facebook mengabarkan sayembara menulis cerita pendek dengan tema terkait dunia pesantren. Kendati telah sering membaca kabar seperti itu, sampai sekarang ia belum pernah mengikutinya. Tetapi kali ini, ia ingin mengikutinya. Mungkin karena tema-nya mengingatkannya pada beberapa peristiwa sewaktu nyantri bertahun-tahun lalu.
Kendati belum menulis cerpen yang bakal dikirimkan untuk lomba tersebut, ia sudah membayangkan cerpennya bakal terpilih menjadi salah satu juara atau paling tidak masuk kategori terpilih yang kabarnya akan dibukukan.
Ini bisa jadi untuk menyemangati diri sendiri dalam proses menulis nanti atau lebih dari itu; dengan dibukukan salah satu cerpennya, setidaknya ia dapat membuktikan pada ayahnya bahwa lewat hikayat-hikayat—yang acap kali ia sisipkan pada cerpen-cerpennya—pun merupakan salah satu bentuk dakwah, mulang, menyebarkan cerita-cerita sarat kebaikan yang bisa jadi menginspirasi seseorang berbuat kebaikan. Karena bagaimanapun, kendati ayahnya tidak secara langsung mengatakannya, sepertinya ayahnya tetap berharap ia dapat seperti teman-teman seangkatan mondoknya yang di antaranya kini ngimami di musala atau setidaknya ikut mulang ngaji di TPQ.
Sementara itu, entah mengapa, ia belum bisa memenuhi harapan ayahnya. Mungkin karena ia telah menempuh jalur yang lain, jalur yang menurutnya lebih menyentuh kesadaran dan rasa, jalur cerita.
Maka, sembari berharap semoga Gusti Allah mengabulkan harapannya, ia mulai menulis:
Entah bagaimana cara kerjanya, ia tak mengerti, yang jelas kantuk yang ia tahan-tahan sedari tadi, sekonyong-konyong ngeclap begitu mendengar suara kiainya itu sampai pada kata hikayatun saat membaca sebuah kitab di depan para santri yang tampak ngapsaih, memaknai kitab masing-masing di malam yang mulai larut itu…
Doplangkarta, 10.37, 17/7/2020.